Jawa Pos, Selasa PON 6 Januari 1987
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Masyarakat AS mulai mengkhawatirkan mutu
pendidikan anak-anak mereka. Menurut Dr. Paul Tedesco, salah satunya adalah
dengan adanya dampak televisi. Di AS, TV bukan hanya satu siaran dan bukan
hanya milik pemerintah. Berbagai stasiun televisi tersedia bagi mereka dengan
berbagai variasi siaran, mulai pagi hingga malam, dan berlanjut terus. Televisi
bukan hanya menyita waktu belajar anak. Karena sifat siaran televisi yang harus
singkat, padat, tetapi jelas, setiap pertunjukan televisi dibuat untuk dipahami
dengan mudah. Hal ini membuat materi televisi sederhana dan tidak membuat anak
berpikir seperti halnya membaca buku.
Dalam membaca buku, sebenarnya berbagai
keterampilan kognitif diasah. Pertama, bagaimana tulisan ditransferkan menjadi
pemahaman, bukan hanya materi tetapi bahasa pu harus dipahami. Dalam proses
memahami tadi, dalam membaca, seseorang melakukan usaha untuk
menghubung-hubungkan antara yang sudah terbaca, sedang dibaca, dan akan dibaca,
sedemikian sehingga materi bacaan tadi menjadi satu kesatuan. Kalau yang dibaca
terasakan sulit, ia dapat mengulanginya. Hal ini, tidak dapat diperoleh dari
menonton televisi. Siaran televisi yang tak dapat diulang harus disajikan
dengan mudah, sehingga “siap dicerna”. Dan, justru karena kemudahan yang
diberikan oleh televisi, anak-anak menjadi segan untuk repot-repot membaca buku
aslinya. Menurunnya kemampuan membaca ini, sangat dirasakan bagi anak-anak AS.
Sisi lain adalah komputer. Setiap orang yang
bekerja dengan komputer akan mengakui kemudahan yang diberikan oleh komputer
dengan adanya program-program yang begitu canggih, tetapi sekaligus membuat
otak manusia menjadi mesin.
Anda pernah belajar statistik lewat komputer?
Tidak susah, kan. Setelah anda memasukkan program, anda hanya tinggal pijat
tombol dan pilih bagian mana yang hendak anda ketahui. Semua keterangan dan
penjelasan tersedia dengan mudah sekali. Kemudian, kalau anda hendak
mengerjakan data, prosesnya juga mudah. Pijat tombol, membaca layar (terminal
TV), pilih, pijat tombol lagi, dan seterusnya.
Padahal, anak-anak AS mulai kecil bahkan dari
TK dihadapkan dengan belajar menggunakan program komputer. Kita yang di
Indonesia sudah kewalahan dengan anak-anak kita yang kurang tangkas berhitung
dan amat bergantung pada kalkulator tangan, anak-anak AS malah lebih parah
lagi. Semuanya ada di program komputer. Kreativitas bukan lagi sesuatu
kebiasaan berpikir anak-anak AS.
Pendidikan anak-anak AS juga terlalu spesialisasi.
Adanya beberapa mata kuliah saja yang harus diambil secara wajib dan mata
kuliah lainnya merupakan pilihan spesialisasi, ternyata sama sekali tidak
menguntungkan. Di luar bidang spesialisasi itu, mereka tidak tahu apa-apa.
Begitulah keadaan pendidikan AS sejak awal
tahun 50-an hingga kini, menurut Dr. Paul Tedesco dari Northeastern University,
Boston, Massachussets, ketika berceramah di FPS-IKIP Malang. Karena semua hal
inilah, maka kini ada suatu tekad di AS untuk memperbaiki mutu pendidikan dimulai
dari mutu pendidikan guru-guru sekolah dasar (elementary school).
Mutu guru, pada beberapa dekade ini dinyatakan
makin merosot. Demikian juga, minat masyarakat untuk menjadi guru. Dengan
pensiunnya guru-guru senio, setiap tahunnya AS mengharapkan 26% dari lulusan
sekolah menengah mau melanjutkan ke pendidikan guru. Namun, hingga saat ini
baru 6% yang bersedia. Semua ini disebabkan oleh rendahnya penghargaan
masyarakat terhadap guru. Bayangkan, kalau seorang guru baru lulus mendapat
$14.000 setahun, dengan ijazah yang sederajat bekerja di tempat atau bidang
lain ia dapat memperoleh $21.000. siapa yang bersedia menjadi guru?
Dulu, banyak kaum wanitay ang mengambil
profesi sebagai guru. Kini banyak profesi sudah terbuka bagi kaum wanita
seperti bidang hukum, manajer, dokter, dan lain-lain, sehingga kalau dulunya
yang memasuki sekolah pendidikan guru adalah kaum wanita, keadaan ini makin
parah dengan kaum wanita yang memunggungi profesi guru.
Dengan profesi guru yang tidak cerah ini,
terjadilah keadaan, yang menjadi guru sekolah dasar bukan lagi orang-orang
idealis dan pintar, tetapi kelompok minoritas dan kelompok sosial bawah yang
berambisi menaikkan tingkat sosialnya melalui profesi guru tersebut. Hal ini
tidak begitu disukai oleh masyarakat AS. Siapa pun, ingin guru yang nomor satu.
Apalagi, kalau menurut evaluasi di California, ternyata 80% guru-guru tidak
kompeten?
Bagaimana
meningkatkan mutu pendidikan AS ini ? menurut Dr. Paul Tedesco, masyarakat AS
mulai menyadari bahwa anak-anak harus dipacu untuk berpikir kreatif dan ini
dapat ditempuh apabila guru-guru yang mengajar mereka lebih intelektual dan
kreatif. Ada suatu harapan agar guru sekolah dasar diharuskan dari lulusan
graduate school atau master. Selama ini, guru sekolah dasar datang dari tingkat
sarjana muda. Demikian juga, guru-guru yang sudah mengajar ditingkatkan bidang
keilmuannya. Juga kompetensi guru didapat melalui berbagai cara, yaitu dengan
melihat persiapan yang dibuat, hasil pendidikan, dan umpan balik dari konsumen
pendidikan, yaitu para murid. Di samping itu, tentu saja dengan meningkatkan
finansial guru.
Sesuatu yang sekarang sedang diujicobakan di
Northeastern University tempat Dr. Tedesco mengajar adalah mendidik sukarelawan
untuk menjadi guru. Pendidikan tersebut merupakan kombinasi sekolah dan magang
yang dibayar. Jadi, satu tahun bersekolah, satu tahun bekerja, dan kemudian
bersekolah kembali, dan seterusnya.
***
Pendidikan yang suram ini, tampaknya tidak
jauh dari keadaan di negara kita. Anak-anak di Indonesia memang belum terancam
oleh bahaya teknologi canggih, tetapi keluhan akan kemerosotan pendidikan
tampaknya juga terus menerus ditudingkan kepada sekolah dan guru.
Namun kalau kita tidak berhati-hati, keadaan
di AS tak lama lagi akan melanda negara kita juga. Sudah dimulai di kota-kota
besar, beberapa sekolah dengan bangga mengiklankan pendidikan TK menggunakan
komputer. Kursus-kursus juga mulai melanda masyarakat dengan tawaran belajar
komputer. Komputer sendiri sebagai ilmu, sama pentingnya dengan bahasa,
matematika, atau statistik, yaitu sebagai “bahasa”. Namun, kalau komputer
menyebabkan anak-anak kita tidak berpikir atau kalangan remaja puas dengan
keterampilan komputer yang tinggal menjalankan program saja, sungguh
dikhawatirkan, dalam satu atau dua dekade, kita juga akan kekurangan anak-anak
remaja yang bisa berpikir kreatif.
Bayangan pendidikan guru di AS yang sudah
mulai dikritik sekitar tahun 1950-an dan digemparkan dengan peluncuran Sputnik
Rusia mendahului AS, dapat saja segera kita rasakan sebagai suatu ancaman. Seperti
dikatakan Rektor IKIP Surabaya Dr. Budi Darma, M.A. (JP, 22 Desember 1986), 75%
lulusan IKIP memilih jalur kuliah agar cepat selesai. Dengan kebanyakan calon
guru yang sarjana memilih jalur nontesis, berarti mereka tidak pernah meneliti
atau menulis karya ilmiah yang satu-satunya dapat disumbangkan kepada dunia
akademis. Mereka ini adalah calon guru-guru SMA. Padahal, dunia akademis mulai
menuntut banyak membaca untuk terus mengembangkan diri secara mandiri, dan
menulis untuk ikut mengembangkan pikiran dan ide untuk kemajuan ilmu
pengetahuan bidangnya. Kita lihat saja jurnal-jurnal di luar negeri dan
bagaimana keadaan jurnal di negeri kita. Sarjana-sarjana bangsa lain sibuk
menemukan “pembaharuan” atau inovasi, padahal sarjana kita bukan saja masih dalam
taraf “membebek”, bahkan membebek pun, kalau tidak terpaksa, tidak.
Bagaimana, dari guru-guru yang tidak mau repot
dan tidak kreatif ini dapat dididikkan murid-murid yang kreatif? Mana mungkin
diharapkan, dari guru-guru yang cepat puas ini dapat dimunculkan generasi muda
yang bersifat ingin tahu dan berkeinginan untuk menyelidik dan meneliti?
Hal lain yang dapat dipetik dari revolusi
pendidikan di AS adalah bahwa mereka mulai menggarap pendidikan di tingkat
sekolah dasar. Ada suatu harapan untuk meningkatkan mutu guru SD dengan
menuntut syarat kelulusan sarjana. Hal ini dituntutkan dengan pertimbangan
bahwa selain kompetensi ilmu seorang sarjana lebih dapat dipertanggungjawabkan,
juga usia guru pada waktu memasuki dunia kerja (menghadapi murid) juga sudah
lebih masak. Becermin dari kenyataan di sana, bagaimana dengan persyaratan guru
SD di Indonesia ? mereka adalah lulusan SPG yang setingkat SMA. Ditinjau dari
usia, mereka masih dapat disebut remaja atau adolesen. Kita tidak mengharapkan anak-anak usia 18-an menjadi
orang tua, tetapi mereka diharapkan menjadi ibu guru dan bapak guru bagi
anak-anak yang bukan anak-anak sendiri. Dari segi kompetensi, mereka juga belum
siap. Bahkan, lulusan yang mempunyai kemampuan untuk melanjutkan akan masuk ke
IKIP untuk menjadi guru SMP atau SMA.
Tulisan ini sama sekali bukannya dimaksudkan
agar kita selalu melihat ke benua di ujung timur sana. Tetapi, belajar tidak
harus dari pengalaman sendiri. Pengalaman orang lain yang dapat kita bayangkan
akan terjadi pada diri kita, seharusnya juga dapat dibuat bahan kajian. Kalau
becermin di negara Asean saja, yang sama-sama negara berkembang, kita lihat
guru-guru di Thailand. Mereka aktif menyusun materi untuk anak didik mereka.
Guru dan dosen di negara kita, masih lebih suka menggunakan buku impor. Kalau
ada yang menyusun buku teks, dukungan rekan-rekan untuk menggunakan bukunya
tidak ada.
Belajar dari pengalaman bangsa lain, juga
harus mempertimbangkan dasar filsafat di baliknya. Misalnya, mengambil alih
teknologi canggih seperti komputer untuk anak-anak TK, dapatkah itu digolongkan
kemajuan atau kemunduran ditinjau dari hakikat anak sebagai homo sapiens?
Lain halnya kalau kita ikut-ikutan
meningkatkan kompetensi guru dengan sistem magang (yang digaji) atau
meningkatkan usia mereka yang patut mengajar, kita dapat menerimanya dengan
akal sehat sekalipun. Berbeda pula kalau kita ikut-ikutan dengan rasa tidak
suka masyarakat AS, seperti diutarakan Dr. Tedesco, kalau kebanyakan guru datang dari minoritas dan
kelas sosial “rendah” yang mencari peningkatan sosial. Kita tidak boleh segera
menyetujui pikiran seperti itu. Karena, dulu pun ada kelas aristokrat dan
rakyat jelata. Tetapi siapa bilang yang aristokrat lebih pandai daripada yang
rakyat? Bukankah, zaman sudah membuktikannya ?
Secara umum, masalah pendidikan di Indonesia
memang mirip dengan kualitas yang dihadapi pendidikan di AS. Sehingga, tidakkah
kita juga mestinya mulai memikirkan mengobservasi dan mengevaluasi pendidikan
sekolah dasar dan memperkokoh fondasi generasi muda kita.