Mengintip Kesangkilan Pembinaan Bahasa Indonesia



Jawa Pos, Rabu Wage 20 Agustus 1986
Oleh : Wuri Soejatmiko

Dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dan negara-negara berkembang lainnya, bangsa dan negara Indonesia sungguh boleh berbangga karena telah mempunyai satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. India misalnya, tidak berhasil  menetapkan antara bahasa Tamil dan Hindi sebagai bahasa nasional, sehingga akhirnya mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Demikian pula bahasa Filipino yang diangkat dari Tagalog tidak berhasil menggantikan bahasa Inggris di forum resmi. Malaysia yang 90% pendudukanya orang Melayu dan memakai bahasa Malaysia sebagai bahasa nasional, tetap menggunakan bahasa Inggris seperti terlihat pada waktu Perdana Menteri Malaysia, Mathir Mohamad, ketika berpidato dan disiarkan di teve.

Meskipun demikian, bangsa Indonesia kurang mensyukuri kelebihan ini. Kesadaran untuk dapat menggunakan bahasa baku bila diperlukan, belum ada. Ini terbukti dengan kurang diperhatikannya usaha-usaha yang dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (disingkat Pusat Bahasa). Ejaan yang disempurnakan (EYD) telah berusia 14 tahun, tetapi masih banyak pemakai bahasa Indonesia yang belum dapat membedakan awalan “di” dari preposisi “di”. Inilah yang menurut Anton Moeliono belum tersistemnya kita dalam menggunakan bahasa Indonesia. Tiap individu mempertahankan kebiasaan masing-masing tanpa mengingat kepentingan nasional untuk memiliki suatu bahasa yang tersistem.

BERHASILKAH PEMBINAAN BAHASA TVRI?

Suatu usaha untuk memantau pendapat mengenai Pembinaan Bahasa Indonesia (PBI) yang diselenggarakan TVRI saya lakukan secara sangat terbatas. Responden yang terbatas itu terdiri dari 10 dosen bahasa Inggris, 1 sarjana teknik, 1 sarjana hukum, 28 mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dan 7 siswa SMA.

Pada waktu ditanya tentang frekuensi mereka mengikuti siaran PBI, diketahui bahwa hanya 6,4% yang selalu mengikuti tiap-tiap minggu; 17% mengikuti kira-kira 2 kali sebulan: dan 57,4% menyaksikan siaran tersebut kalau ada waktu; dan 19% sama sekali tidak pernah menyaksikannya.

Bagaimana kalau menemukan kata baru dalam bacaan? Ternyata dari jawaban mereka diketahui bahwa 53,2% berusaha mencari tahu makna dari kata atau istilah baru tersebut, dan 59,6% menyatakan senang menggunakannya dalam menulis atau berbicara.

Namun pernyataan ini tidak sejalan dengan hasil tes mengenai keakraban mereka terhadap kata atau istilah baru yang disiarkan oleh PBI-TVRI. Hasil tes tersebut adalah:

Responden                         Keakraban dengan kata/istilah baru
  25,5 %                                 0 % betul
  57,5 %                                22 % betul
     6,4 %                               30 % betul
     8,5 %                               56 % betul
       2 %                                67 % betul
       0 %                                >
67 % betul

Dari hasil ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemirsa yang diteliti cenderung melupakan istilah atau kata baru yang mereka pelajari melalui PBI-TVRI.
Ejaan sudah seringkali disentuh oleh siaran yang sama. Masih ada lagi penerbitan-penerbitan dan sekolah formal. Tetapi kenyataannyajuga masih mengecewakan seperti terlihat di bawah ini:
Responden                         Kemampuan Mengeja
85 %                                      < 50 % betul
12,8%                                       62,5 % betul
2,2 %                                        66,7 % betul
0 %                                       
> 66,7 % betul
< = lebih kecil
> = lebih besar

Anton Moeliono telah banyak berjasa dalam menciptakan padanan kata bagi istilah asing yang dipinjam oleh bahasa Indonesia dengan menggali khasanah nusantara atau menciptakan kosa kata baru. Tetapi kebanyakan responden lebih suka menggunakan kata pinjaman yang lebih mudah mereka ingat karena mereka ingat karena mereka sudah terbiasa menggunakannya. Seorang mahasiswa teknik lebih menyukai kata “drainase” daripada “penyaliran” atau “tata salir” karena kata pertama sudah dikenal akrab oleh semua mahasiswa teknik pengairan. Kata “pretes” bagi mahasiswa IKIP berarti “tes awal” atau “tes penjajagan” tetapi bagi mahasiswa teknik berarti percobaan (uji coba) sebelum praktek. Karena itu istilah “pretes” lebih disepakati daripada kata atau istilah tersebut diindonesiakan.

Kesimpulan penelitian yang terbatas ini memang tidak dimaksudkan sebagai patokan yang mencerminkan pola pemakai bahasa Indonesia secara menyeluruh. Tetapi gambaran yang terbatas itu bisa saja digunakan untuk menggelitik peneliti tingkat nasional dalam mengevaluasi hasil kerja pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia: betulkah efektif ?

BAHASA NONBAKU

Dalam membina bahasa Indonesia ada motto: “Gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Ungkapan ini berarti:
1.         Gunakan bahasa baku dalam kesempatan formal, dan
2.         Gunakanlah bahasa pergaulan dalam situasi dan kondisi yang sesuai
Pandangan seperti ini sudah jauh berubah dari pandangan sekitar sepuluh tahun yang lalu, misalnya, yang menuntut digunakannya bahasa Indonesia baku di mana pun dan menganggap dialek adalah bahasa yang “rusak”.

Kalau dulu para guru bahasa Indonesia memaki surat kabar karena bahasanya yang nonbaku, pada masa ini sudah dapat diterima varitas bahasa yang disebut varitas bahasa koran, yang berbeda dengan varitas bahasa sekolah atau varitas bahasa jurnal atau varitas bahasa percakapan. Hal ini sejalan dengan beralihnya ancangan dalam ilmu bahasa dari monolitis (linguistik murni) ke dialistis (prinsip sosiolinguistik). Yang pertama hanya berpegang pada satu bahasa baku yang benar, sedangkan yang kedua memperhitungkan faktor partisipan (pembicara-pendengar/pembaca) situasi formal-nonformal, hubungan sosial, sikap psikologis partisipan, dan lain-lain.

Diterimanya varitas bahasa koran tentu saja membawa pengaruh besar terhadap bahasa para pemakai bahasa Indonesia. Bahkan pengaruhnya jelas lebih besar daripada pembinaan bahasa yang disiarkan TVRI atau penerbitan-penertiban Pusat Bahasa. Misalnya, dulu dikenal kata “himbau”. Kemudian secara konsisten Kompas dan Tempo memakai “imbau”. Apakah reaksi masyarakat? Mereka merasa perlu mengubah kebiasaan dari “himbau” menjadi “imbau” karena mereka pikir yang terakhir inilah yang baku.

Betulkah kesimpulan masyarakat itu? Mari kita lihat. Pemakai “himbau” adalah:
-          TVRI
-          Buku Ejaan Kata dan Istilah Indonesia (Bulan Bahasa 1984)
-          Masyarakat pada umumnya
-          Media massa pada umumnya

Pemakai kata “imbau” adalah :
-          Kompas dan Tempo
-          Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta
-          Anton Moeliono (Ketua Pusat Bahasa)

Sikap para guru bahasa Indonesia tidak konsisten apabila ditanya siswa mereka. Hal ini tidak dapat disalahkan karena acuannya juga membingungkan. Mana yang baku? Kalau penerbitan Bulan Bahasa 1984 (lihat hal.14) jelas-jelas menyebutkan “himbau” sebagai bentuk yang baku dan “imbau” sebagai nonbaku, mengapa Anton Moeliono yang dikenal selalu berbahasa baku menggunakan “imbau”? Sulit bukan untuk menentukan sikap?

PEMOTONGAN KATA DAN MEKANISME LAIN

Sebagai bahasa yang dibakukan yaitu bahasa yang bersistem, bahasa Indonesia mempunyai sistem pemotongan kata. Misalnya, “meng-abai-kan” dan bukannya “me-ngabai-kan”, tetapi “me-ngeluar-kan” dan bukannya “meng-eluar-kan”. Yang pertama berasal dari kata dasar “abai” dan karenanya bunyi sengau melekat pada awalan “me”, sedangkan yang kedua bunyi sengau menggantikan bunyi “k” dari kata dasar “keluar”. Jadi pemisahan kata didasarkan pada bentuk kata dasarnya.

Pemisahan kata ini sudah diajarkan di sekolah formal dan mestinya pemakai bahasa Indonesia yang terdidik sudah tahu sistemnya. Tetapi “tahu” tidak sama dengan “terbiasa”. Pemakai bahasa Indonesia setiap hari dipajankan pada pemotongan yang acak yang mereka baca di surat kabar atau majalah, yang karena kesempitan kolom kurang memperhatikan pentingnya pemotongan tersebut. Tetapi bangsa Inggris, yang sangat berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menggunakan bahasanya, tidak pernah membuat kesalahan dalam pemotongan kata. Padahal sistemnya lebih sulit, mengapa mereka sanggup dan kita tidak?

Mekanisme dalam bahasa tulis juga membuat kita prihatin. Dalam format tulisan ada konsensus bahwa garis baru hanya terjadi pada paragraf baru. Sayangnya pembaca seringkali menjumpai pengetikan garis baru yang bukan berarti paragraf baru...

PUSAT BAHASA MEMANTAU MEDIA MASSA?

Sampai di mana bahasa koran boleh bervariasi dari bahasa tulis formal? Surat kabar memang harus menggunakan kata yang mangkus (efisien) dan sangkil (efektif) karena banyaknya berita yang hendak disajikan kepada pembaca. Karena itu dalam bahasa koran sering terlihat hilangnya afiks atau munculnya kata-kata nonbaku yang lebih akrab dengan pembacanya.

Selain itu, ada juga media massa yang cenderung senang memperkenalkan kata atau istilah baru. Yang kebetulan saya ketahui adalah Kompas, Tempo dan Jawa Pos yang langsung menggunakan kata atau istilah baru secara konsisten dan sering. Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Mempunyai kamus istilah yang sedang populer atau hendak dipopulerkan. Terhadap media massa yang banyak dibaca dan senang memperkenalkan kata baru ini perhatian Pusat Bahasa harus dipertajam. Sebaiknya Pusat Bahasa menugasi beberapa karyawan untuk memantau perkembangan yang terjadi di media massa (termasuk TVRI) dan segera meluruskan apabila ada yang perlu diluruskan dengan cara menulis surat teguran atau pemberitahuan. Tetapi sebelumnya tenaga ahli di Pusat Bahasa sendiri mestinya sudah memahami bahasa Indonesia secara bersistem. Hendaknya semua tenaga ahli yang terlihat juga mengetahui filsafat di balik setiap sistem sehingga suara yang dikeluarkan juga “tunggal”. Bukan seperti contoh “imbau” dan “himbau” di atas.

Juga perlu diteliti apakah acara PBI-TVRI sudah mengena. Responden yang saya teliti menyarankan PBI lebih selektif dalam memilih materi. Misalnya, perlukah pemirsa memahami berbagai perbedaan sandiwara, drama, tonil dan lain-lain. Atau sejauh manakah penyajian “daripada” dan “dari” menjangkau masyarakat pemakai bahasa? Kemudian mengenai bahasa iklan. Apakah pemirsa teve tertarik pada penyajian tersebut, mengingat hanya sedikit pemirsa yang terlibat dalam bisnis periklanan (Ya untungnya penyajinya mempesona dalam penampilannya). Ada juga yang menyarankan, tidak mungkinkah siaran PBI-TVRI dibuat menarik seperti acara pelajaran bahasa Inggris?

Sebagaimana biasanya perencanaan bahasa yang diarahkan dari atas (Pusat Bahasa) tidak selalu membawa hasil yang diharapkan (perencanaan bahasa yang dimulai dari mengumpulkan data-rekaman bahasa yang digunakan masyarakat membutuhkan waktu amat lama dan biaya amat tinggi). Pusat Bahasa berusaha membuat peta bahasa Indonesia yang bersistem, tetapi akhirnya masyarakatlah yang memakai bahasa tersebut. Kesepakatan antara kedua kelompok itu melahirkan bentuk bahasa Indonesia yang bisa diterima. Bagaimana Pusat Bahasa dapat mengetahui apakah perencanaan yang dibuat diterima pemakai bahasa, akhirnya terletak dari cara Pusat Bahasa memantau dan mengevaluasi hasil kerja mereka.


Sumber ilustrasi: http://tiingtong.blogspot.co.id/2015/04/4-jurusan-yang-dikira-gampang.html