Mengapa Mereka Harus Kita Ganggu?



JAWA POS, Jumat WAGE 31 Juli 1987
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Minggu lalu, dua peristiwa pahit menimpa sejumlah mahasiswa asing yang sedang belajar bahasa Indonesia di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang. Karena hendak melancong, kira-kira tujuh dari mereka, ditemani oleh dua mahasiswa S1 IKIP Malang, mendatangi terminal angkutan kota, mencari colt untuk disewa. Sungguh sial mereka, karena beberapa pasang tangan jail ternyata terulur terlalu panjang. Tangan-tangan itu bukannya membantu, tetapi mencubit dan memegang payudara sehingga menimbulkan rasa amarah yang saat itu dikeluarkan hanya karena mereka tidak mau salah tindak. Tetapi, mereka amat marah. (Masalah ini sudah diangkat ke forum resmi tanggal 29 Juli 1987).

Kejadian ini tidaklah sendirian. Sebuah peristiwa yang mungkin lebih menyedihkan terjadi pada salah seorang di antara mereka. Di siang bolong, ada dua pemuda mencoba menciumnya. Gadis asing ini begitu terkejut ketika kepalanya dipegang dan pemuda itu mencoba merebahkannya (seperti adegan film saja) sehingga tidak berteriak dan hanya berusaha melepaskan diri saja. Tetapi, sekalipun ia tidak berteriak, jelas ia menjadi marah. Demikian juga teman-temannya.

Masih ada beberapa peristiwa kecil yang menjengkelkan, yaitu adanya sapaan-sapaan yang kurang sopan yang dilontarkan oleh pemuda-pemuda (yang tampaknya terpelajar) yang dimulai dari “Good morning Angel”, hingga “I love you”, kemudian mengikuti dari belakang ke mana gadis-gadis asing ini pergi.
Mengapa mahasiswa asing yang sudah jauh-jauh datang ke Indonesia untuk mengenal bahasa dan budaya kita dipermalukan seperti itu? Mengapa peristiwa pahit ini harus terjadi di kota Malang, kota nomor dua terbesar di Jawa Timur, setelah Surabaya; mengapa terjadi di Malang yang sejuk, yang mestinya pemuda-pemudanya tidak dihinggapi darah panas. Dan, mengapa pula hal itu terjadi di Malang, yang dari tersebarnya spanduk dan papan nama macam-macam perguruan tinggi, bolehlah dibilang sebagai kota mahasiswa.

Perbedaan Budaya

Sebetulnya peristiwa yang sama sering juga mengenai gadis atau wanita muda kita. Dalam salah satu kisah “Selingan” di Jawa Pos, pernah terjadi di suatu keramaian di Taman Surya, di depan Kantor Kotamadya Surabaya, seorang wanita muda jatuh pingsan karena diremas payudaranya dan tidak berani berteriak. Kasus lain, wanita muda yang berdesak-desak antre selalu didesak dan “dijawil” pantatnya. Seorang gadis yang duduk dengan aman di bus tiba-tiba merasa ada tangan “molor” dari belakang. Apa reaksi mereka ? Ada yang karena begitu kaget atau takutnya sehingga diam saja seperti wanita muda yang pingsan itu. Tetapi ada pula yang marah dan memaki lelaki pemilik tangan jahil itu. Dan, ada pula yang memaki sambil memukul.
Tetapi, menghadapi peristiwa seperti itu meskipun marah besar, wanita muda kita jarang yang mengadukannya kepada polisi. Setelah memaki atau memukul dan membuat laki-laki jahil itu malu, mereka tidak memasukkannya ke dalam hati. Kita bahkan selalu masih dapat berkata, “Untung...”.

Wanita muda asing tidak demikian hatinya. Mereka marah karena betulbetul tersinggung harga dirinya. Kalau mereka disapa oleh orang yang tidak mereka kenal, mereka selalu akan membalas karena mereka diajari agar bersikap ramah terhadap orang Indonesia (yang kata mereka ramah-ramah). Tetapi, sebetulnya hati nurani mereka merasa terganggu. Mengapa?

Sekelompok anak kecil 2(semuanya perempuan) melihat wanita muda kulit putih lewat. Anak-anak itu segera berhenti bermain, melihat ke arah wanita tersebut dan mengucapkan “Selamat siang”. Padahal, mereka tidak akan berhenti bermain apalagi berselamat siang, apabila seorang wanita muda Indonesia yang tidak mereka kenal lewat di dekat mereka. Di sini wanita muda asing itu merasa dirinya dianggap sebagai objek, sebagai tontonan. Padahal, anak-anak SD itu sama sekali tidak bermaksud mengganggu atau menggoda. Ataukah, mereka diajari untuk menyapa wanita asing yang mereka temui?

Sekelompok pemuda yang sedang bergerombol, melihat cewek bule lewat. Ada saja sapaannya. Mereka bahkan menggunakan sepenggal bahasa Inggris yang mereka ketahui (padahal kalau mereka betul-betul bisa berbahasa Inggris, tidak senekat itu mereka menggunakannya). Kalau sapaan mereka dibalas, mulailah keluar kata-kata film yang mereka ketahui, seperti “I love you” atau “darling” atau entah apalagi yang kebetulan mampir di benak mereka. Apakah mereka ini jahat? Juga belum tentu. Mungkin hanya iseng. Bagaimana menghadapi mereka? Kita bisa menulikan telinga atau menunjukkan bahwa kita tidak menyukai cara mereka menyapa.

Tetapi, di tempat umum berjubel-jubel yang membuat identitas masing-masing individu terbaur menjadi satu, atau di daerah yang terkenal rawan, gangguan bukan sekedar sapaan jahil tetapi sudah berganti menjadi tangan jahat. Menghadapi mereka, kita harus marah atau menghindari dengan menjauhi tempat-tempat rawan. Kalau kondisi mengharuskan kita lewat atau mendatangi tempat yang umum yang berjubel-jubel, bersikaplah tegas (jangan menunjukkan sikap bingung atau “klemak-klemek”) dan jangan genit atau manja di depan umum. 

Sering kita menilai, orang Barat terlalu berani sehingga mengundang gangguan. Kita orang Indonesia memang tidak dilatih mandiri atau berani. Kita selalu diberi tahu “awas jangan ke situ ada hantunya.... jangan bermain di jalan banyak mobil... jangan lewat jalan gelap nanti ada orang jahat... dan sebagainya...”.

Begitulah orang Indonesia selalu menggunakan firasat dalam menilai apakah suatu tempat bahaya atau tidak. Orang Barat yang selalu dididik untuk berani, tidak memiliki firasat yang kita miliki. Sehingga, sering kali, seperti dikatakan di atas, menawarkan diri kepada bahaya.

Tetapi, tangan jahil yang jahat ini tidak pandang bulu, kulit, atau pendidikan. Tidak semua orang yang ada di tempat rawan mau pegang-pegang; dan sebaliknya, ada juga dosen yang senangnya mencubiti mahasiswanya yang muda dan cakep. Ada saja cara dosen ini mencari kesempatan. Lalu, bagaimana menghadapinya? Jauhi saja, dan jaga jarak. Jangan sekali-kali berada sendirian dengan dosen itu. Begitulah yang dilakukan oleh gadis dan wanita muda Indonesia.

Masalahnya, wanita Barat dididik untuk menegakkan harga dirinya. Mereka merasa tertekan kalau tidak melawan dosen yang tidak sopan, tetapi mereka pun tahu bahwa nilai mereka dapat saja bergantung pada sikap mereka di kelas.

Di sinilah, perbedaan budaya yang tajam. Wanita Barat mengira wanita Indonesia yang tidak menyuarakan kejengkelannya plin-plan atau tidak mempunyai harga diri. Wanita Indonesia melihatnya sebagai peristiwa “seorang atau sekumpulan laki-laki kurang ajar” dan bukannya menganggap perbuatan itu sebagai suatu penindasan laki-laki terhadap wanita. Wanita Indonesia tidak pernah merasa ditindas. Meskipun de jure, suami adalah kepala keluarga atau pembuat keputusan, de facto istrilah yang biasanya merupakan pengambil keputusan (melalui suara suami). Juga dalam pekerjaan, wanita tidak beradu suara di depan rapat, tetapi tidak berarti di dalam “diam” ia tertindas. Yang pandai melihat situasi dan kondisi adalah yang “menang”. Dalam masyarakat Indonesia, tidak ada gerakan “Women’s Lib” karena kita memang tidak memerlukannya.
Dilihat dari kacamata Barat, mungkin wanita Indonesia sudah terbiasa menjadi objek, dan kaum laki-laki Indonesia juga terbiasa menganggap wanita sebagai objek. Misalnya peristiwa “nontoni” (laki-laki berkunjung dengan tujuan melihat kecantikan dan ketrampilan wanita yang akan dijodohkan kepadanya). Tetapi, tidakkah selamanya manusia adalah objek manusia lainnya? Dapatkah kita menghindari dinilai (menjadi objek penilaian) orang lain? Bukankah baik laki-laki maupun wanita masing-masing bergantian menjadi subjek dan objek orang lain?

Beberapa Usaha Menjauhi Gangguan

Pada umumnya, wanita Indonesia secara naluri dapat menebak “wajah-wajah kurang ajar”atau orang yang bermaksud jahil kepadanya. Karena itu, biasanya mereka bersikap sadis atau tidak memberi hati atau menjauhi laki-laki seperti itu. Setiap bangsa mempunyai ciri-ciri terselubung ini yang hanya dikenali (tapi tidak dapat dijelaskan secara terinci) bangsanya sendiri. Sulit sekali memang bagi wanita Barat, untuk mengenali ciri-ciri pemuda Indonesia yang kurang ajar, misalnya. Sebaliknya, wanita Indonesia yang keluar negeri juga sering dikelabui pemuda-pemuda buaya di sana karena tidak dapat secara naluri mengenali ciri-ciri kebuayaannya.

Jadi, lumrah saja kalau ada wanita asing yang bersikap ramah (terutama karena ingin mempraktekkan bahasa Indonesia sebanyak-banyaknya dengan siapa saja) melakukan kekeliruan bersikap ramah terhadap laki-laki yang bermaksud menarik manfaat dari dirinya. Saran: Jangan bersikap ramah kepada orang yang belum dikenal. Wanita Indonesia yang dikenal sebagai orang-orang ramah (stereotip), tidak pernah bersikap ramah terhadap laki-laki sama-sama Indonesia yang tidak dikenalnya. Jika disapa, jawab seperlunya saja. Orang Indonesia juga tidak saling menyapa kalau tidak kenal.

Disarankan agar orang asing memahami budaya Indonesia tetapi jangan berusaha menjadi seperti orang Indonesia (kecuali  yang sudah bertahun-tahun hidup di tengah masyarakat Indonesia). Tetaplah bertindak dan berpikir seperti diri anda sendiri. Kalau tidak, anda kebingungan dan akhirnya kehilangan kepribadian anda. Apakah dengan demikian berarti seorang wanita muda Barat yang ingin menjaga identitasnya boleh berpakaian semaunya di tempat umum?

Wanita Barat mempunyai kulit yang lebih putih, rambut yang pirang, dan bentuk tubuh yang lebih montok daripada rata-rata wanita Indonesia. Perbedaan, selamanya mencolok dan menarik perhatian. Karenanya, jangan dipertontonkan. “Salahkah kami dengan kondisi yang menjadi latar belakang kami?” sanggah mereka dengan marah. “Kami tidak mau dikatakan ‘mengundang’ dengan penampilan kami”. Jean Paul Satre membahas mengenai hal ini, bahwa orang tdak dapat lepas dari kondisi yang melatarbelakanginya. Tetapi, ia dapat memilih menghindari atau menerima keadaan. Demikian juga dengan wanita Barat yang tidak mau disebut mengundang gangguan (karena tidak ada keinginan seperti itu). Bukan dirinya yang mengundang, tetapi kondisinya. Ia dapat mencoba menjauhi (tempat dan berpakaian yang menetralisasikan kondisinya) atau menerima (toleransi dan adaptasi) sebagai suatu kejadian yang wajar.

Sikap dan Budaya Kita

Tetapi, sebetulnya dengan kejadian itu ada banyak hal yang dapat kita lakukan sebagai orang Indonesia. Setelah kita tahu bahwa orang Barat tidak ingin dijadikan tontonan, diikuti seperti arak-arakan, atau disapa dengan urakan, seharusnya kita didik diri sendiri untuk tidak tergoda melirik kalau ada cewek atau cowok bule lewat. Mereka juga manusia seperti kita. Kalau seorang Ibu Indonesia lewat sendirian tidak ada yang menyapa, mengapa anak-anak atau pemuda-pemuda dibiarkan (atau diajari?) menyapa mereka?

Kita tidak ingin adik perempuan atau anak perempuan atau istri kita dijadikan bulan-bulanan tangan jahat. Kita tidak dapat mengimbau si orang “sakit” untuk menahan diri jangan pegang-pegang. Tetapi, ada yang dapat kita perbuat, yaitu kalau ada tangan jahat hinggap pada tubuh cewek bule (seperti juga pada wanita kita), kita juga mesti menegur si tangan jahil dan bukan malah ikut tertawa atau ikut bersorak. Kita selama ini sering tidak perduli ada kejahatan berlangsung di depan mata kita. Ada orang ditodong di depan kita, kita pura-pura tidak melihatnya dan pergi. Kita sering takut kena getahnya. Tetapi, kalau semua orang mau memikirkan dan membantu orang lain yang sedang mendapat gangguan, gangguan dan kejahatan tidak akan senekat kalau kita bertindak sebagai pengecut yang lepas tangan, menulikan telinga, dan membutakan mata.
Kita juga harus bersikap dewasa dan berlaku sebagaimana layaknya orang kota yang berpendidikan. Kita perlu melihat perbedaan sebagai hal yang wajar, kalau tidak kita akan dianggap picik. Apalagi perbedaan fisik. Jangan bersikap seperti katak dalam tempurung yang hanya tahu dunia kecilnya saja.

Bukannya kita mau memanjakan orang asing, tetapi mereka dengan maksud baik datang dari jauh datang dengan biaya besar ingin belajar bahasa dan budaya kita. Jangan sampai mereka kembali malah belajar sesuatu yang buruk tentang kita dan membawanya untuk diajarkan kepada teman-temannya di negaranya.