Ambisi Orang Tua Dan Karier Anak


Surabaya Post, Sabtu 20 November 1982


Oleh : Wuri Soedjatmiko
Juara tinju dunia (WBC) kelas welter, Sugar Ray Leonard, 26 tahun menyatakan mengundurkan diri karena terancam kebutaan setelah berhasil mengumpulkan harta sedikitnya 10 juta dolar. Semuanya itu belum akan diperolehnya dalam waktu hanya lima tahun apabila ia dulu menaati keinginan ibunya untuk menjadi penyanyi. Mungkin sebagai penyanyi ia pun tidak pernah menjadi perhatian dunia sampai kapan pun.

Seorang anak yang serba bisa di sekolah oleh nenek dan orang tuanya diharapkan untuk menjadi  seorang dokter kelak. Memang di sekolah angka-angka yang dicapainya menunjang kemungkinan tersebut. Tetapi ia ingin menjadi guru dan dengan mengecewakan ambisi orang tuanya ia kemudian memasuki IKIP jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Sekarang ia sudah ABD (All But Dessertation) di Cornell University. Anak tadi adalah Dede Oetomo yang dikagumi oleh setiap guru maupun temannya sebagai anak amat cemerlang. Seandainya ia mengikuti ambisi orang tuanya gelar dokter pasti diraihnya karena ia memang pandai dan serba bisa. Namun ia sendiri mempertanyakan apakah ia bakal menjadi dokter telaten dan baik bagi pasien-pasiennya atau menjadi dokter yang tidak masuk hitungan di antara sekian ratusan ribu dokter lainnya?

Seorang gadis yang sekarang sudah di perguruan tinggi, malah merangkap dua PTN sekaligus, pernah tidak didukung niatnya untuk belajar di perguruan tinggi tersebut oleh ayahnya. Ia boleh saja melanjutkan sekolah, namun ayahnya yang kaya tidak bersedia mengeluarkan uang sesen pun. Seandainya gadis yang tidak mau disebut namanya ini tunduk pada tekanan orang tuanya yang tidak berambisi anak gadisnya menuntut pendidikan tinggi bakatnya ini akan terbuang percuma dan jadilah ia seorang di antara jutaan perempuan yang tergantung pda orang tua atau kelak menggantungkan nasibnya pada sang suami.

SEKOLAH DAN KEBUTUHAN

Seorang anak dikatakan bakal sukses dalam sekolahnya apabila sekolah dapat memenuhi kebutuhannya. Manusia primitif mungkin hanya membutuhkan pemuasan fisik dan rasa aman.

Kebutuhan ini makin meningkat bersamaan dengan perkembangan manusia dalam masyarakat. Manusia mulai membutuhkan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok, untuk dihargai. Setelah bersekolah manusia membutuhkan pengetahuan, rasa estetik dan pengakuan akan dirinya. Karena itu setiap anak akan merasa “berhasil” apabila ia pada suatu saat kelak mendapat pengakuan masyarakat akan keakuannya: bahwa ia benar-benar ada dan bukan sekedar satu di antara sekian juta yang tidak diperhitungkan.

Orang tua demikian pula halnya. Sebagai manusia ia bukan saja ingin anaknya menjadi orang yang berhasil. Di dalam hati kecilnya ia pun mempunyai kebutuhan pengakuan masyarakat bahwa sebagai orang tua ia berhasil menjadikan orang anaknya tersebut. Sebagai orang tua atau manusia dewasa ia melihat posisi-posisi yang pada saat itu didewakan masyarakat. Dokter, insyinyur adalah posisi meyakinkan yang diperoleh lewat pendidikan formal. Sedangkan setelah lulus, menjadi pegawai negeri dan pejabat adalah status yang juga meningkatkan hakekat keberhasilan orang tua. Ambisi lainnya adalah kemampuan menyeklahkan anak ke luar negeri bagi orang tua yang kaya raya. Sebaliknya orang tua yang melarat pun mempunyai ambisi. Apabila anaknya dapat menjadi orang yang melebihi status dirinya, atau menjadi orang kota (entah sebagai apa), itu pun bukti keberhasilannya.

KEBUTUHAN DAN KENYATAAN

Apabila kebutuhan anak dan orang tua berbeda, hanya satu di antaranya yang dapat terpenuhi. Jika anak cukup dapat mempertahankan keakuannya, ditempuhlah sekolah yang menunjang pemenuhan kebutuhan anak. Seandainya orang tua dominan, dengan dua kemungkinan. Bila si anak menerima dominasi orang tua denganrela ia mungkin akan berhasil meskipun taraf keberhasilannya kurang dapat dipastikan. Namun jika si anak “terpaksa” menerima dominasi tersebut pada umumnya kegagalanlah yang menantinya.

Kenyataan lain adalah bahwa hanya anak-anak yang menonjol, yaitu yang pandai, rajin, tekun yang dapat memilih sekolah sesuai dengan kebutuhannya. Banyak lulusan SMA terpaksa dikecewakan dan lulusan seperti ini apabila tidak segera mengubah sikap dalam tempat pendidikannya yang baru, kelak lulus pun ia sukar mendapat pekerjaan. Bagaimanapun hukum “survival of the fittest” tetap berlaku dalam masyarakat.

PERAN ORANG TUA

Agak sepihaklah apabila kita berbicara tentang ambisi orang tua hanya dari segi negatifnya melulu. Walters dan Sieben (1974) dalam penelitiannya tentang berbagai sikap siswa mengatakan bahwa anak-anak  yang sangat menggantungkan diri dalam cara berpikirnya sering kurang ambisius, kurang tekun, kurang teoretis, kurang toleransi terhadap hal-hal yang ambigu. Anak-anak tersebut sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan guru dan orang tua agar dapat berhasil dalam studinya.

Justru pada saat ini jumlah anak yang bersikap seperti itu tampaknya makin banyak. Siswa-siswa yang bersekolah demi status pelajar. Siswa-siswa yang sama sekali tidak melihat ke masa depan, bersekolah dari hari ke hari untuk “kesenangan” atau “kejemuan”. Siswa-siswa tersebut apabila tidak mempunyai orang tua yang ambisius, kegagalannya sudah tidak perlu diramalkan lagi. Persoalannya sampai batas mana orang tua dapat mendominasinya. Haruskah mereka selalu dijaga dalam membuat pekerjaan rumah dan belajar untuk ujian? Haruskah ada sanksi-sanksi dan hukuman yang dikenakan padanya apabila mereka mendapat angka yang kurang memuaskan (orang tua!).

ANTARA TUNTUTAN DAN KEBEBASAN

Membimbing dan membantu anak secara penuh dan terus menerus akan membuat anak tambah tergantung. Mungkin apabila ia belajar dijaga ia akan berhasil. Sekali orang tua lalai atau karena ada kesibukan tidak dapat menjaganya akan jatuhlah si anak. Dan orang tua memang tidak dapat menuntun anak hingga dewasa atau hingga tua.

 Selain itu tidak semua anak membutuhkan bimbingan itu. Anak-anak yang mempertanyakan konvensi dan individualitas pada umumnya kurang bergantung pada otoritas (Ramirez dan Prize Williams, 1974). Ini berarti bahwa orang tua harus pandai memahami anaknya secara individual. Anak yang kurang bergantung dapat mengetahui sendiri kebutuhannya dan tidak ingin ditentukan oleh orang tua sekali pun. Karenanya, orang tua yang memberikan kebebasan padanya sekaligus membukakan jalan kesuksesannya. Tidak bolehkah orang tua mempunyai ambisi terhadap anaknya? Mungkin suatu penelitian perlu diadakan untuk melihat orang tua yang berambisi atau yang tidak berambisi yang lebih menghasilkan anak-anak yang sukses dalam kariernya. Dari contoh yang ditemukan dalam masyarakat banyak juga kesuksesan disebabkan oleh dominasi dan ambisi orang tua. Tetapi banyak juga anak-anak yang kariernya menanjak justru karena tidak menaati atau mengabaikan ambisi orang tua.

Kesimpulannya, ambisi orang tua mungkin diperlukan, tetapi kebebasan anak hendaknya diutamakan. Bukankah setiap orang tua mengharapkan anaknya sukses dan bukannya tergantung hingga tua?