Jawa Pos, Sabtu LEGI 30 November 1985
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Tanggal 28 November 1985 yang lalu Prof. J.F.
Tahalele, M.A.M, sesepuh Fakultas Pasca Sarjana IKIP Malang, mengajak mahasiswa
S3 sebanyak 7 orang untuk meninjau Departemen Studio Pelayanan Radio, Kaset dan
Video yang merupakan komponen dalam kampus Institut Injil Indonesia di Batu,
Malang. Produksinya yang berupa lagu-lagu rohani dan khotbah (kaset dan video)
berfungsi melayani permintaan gereja-gereja dan juga awam yang hendak
membelinya. Sekalipun alat-alat yang digunakan belum secanggih
perusahaan-perusahaan rekaman swasta atau Pusat Latihan Audio Visual-PU di
Injoko dan Pusat Produksi Media IV di Simpang Dukuh (keduanya di Surabaya), namun
hasil-hasil yang telah jadi dapat dikatakan bagus sekali. Tentu saja kita tidak
dapat membicarakan tentang seni shooting segala. Dengan kamera sederhana dan
alat-alat yang lebih mengutamakan ketrampilan dicampur dengan akal itulah
mereka berproduksi.
Kampus lembaga theologi itu sendiri juga
sangat menarik. Area kampus yang luas di kota peristirahatan Batu itu sungguh
indah. Di kiri kanan jalan setapak terdapat pohon bunga mawar beraneka warna
dan bunganya hampir sebesar mangkok bakso. Juga bunga-bunga lain, seperti bunga
sepatu, bunga ceplok piring dan beraneka bunga-bunga lainnya. Selain itu
terdapat perdu dan cemara dimana-mana dengan latar belakang rerumputan hijau,
rapi sekali. Jelas tampak terurus dan memberikan rasa teduh yang tak
habis-habisnya.
Kalau kita memasuki gedung perpustakaan,
kerapian juga merupakan ciri yang khas. Bangku-bangku tersusun rapi telungkup
di atas meja-meja yang juga berjajar rapi. Ada kesan bahwa perpustakaan itu tak
pernah terjamah. Tapi tentu saja hal itu tidak benar. Para pemakai perpustakaan
telah terbiasa untuk menata kembali (suatu disiplin yang ditegakkan disana)
begitu selesai membaca. Buku-buku juga berderet rapi. Tidak banyak memang,
apalagi yang umum. Mereka sedang mengembangkannya. Begitu mendongak ke atas,
terlihat ukiran ayat suci dalam bahasa Ibrani. Bahasa itu memang diajarkan di
lembaga tersebut. Sebab, bukankah penginjil perlu juga mengetahui sumber asli
dan tidak boleh hanya bergantung pada injil terjemahan?
Lembaga pendidikan itu sendiri sudah hampir
seperempat abad usianya. Dalam waktu dekat pesta perak akan dirayakan. Dalam
waktu yang 3 windu lebih itu sudah 570 lulusan diwisuda dan bekerja di seluruh
pelosok Tanah Air. Tidak banyak memang, kata Rektor Dr. P. Octavianus, tetapi
memang setiap tahunnya lembaga tersebut hanya menerima 60 mahasiswa baru, yaitu
setelah lewat saringan yang ketat dan khas. Hal ini disebabkan lembaga
pendidikan tersebut hanya mempunyai 32 dosen tetap dan setiap dosen bertanggung
jawab membina secara intensif 10 mahasiswa. Beberapa diantara dosen tetap
tersebut adalah pendidik dari luar negeri. Masalah dengan mahasiswa? Tidak ada,
karena mereka semua begitu fasih berbahasa Indonesia.
****
Lepas dari pengalamanmeninjau lembaga
pendidikan tersebut, saya sendiri mendapat suatu kesan lain. Seorang dosen
wanita asal Jerman di lembaga tersebut saya temui di tempat lain, yaitu rumah
peristirahatan Kristen di Junggo (daerah pegunungan dekat Selecta). Ia memimpin
tempat itu bersama dua wanita Jerman lainnya.
Dari sebuah percakapan yang mengasyikkan,
terbetik ungkapan kekagumannya terhadap pendidikan di Indonesia.
Dengan kacamata seorang wanita Barat ia
melihat kemajuan pendidikan Indonesia yang luar biasa pesatnya. Kemajuan itu
mencakup kuantitas maupun kualitas. Pendidikan di Indonesia setelah perang usai
(setelah kemerdekaan, tentunya!) bukan berkembang tetapi melejit dan melakukan
lompatan yang luar biasa. Berkali-kali ia menyatakan kekagumannya.
Ia juga melihat orang Indonesia luar biasa.
Pada waktu dulu ia belajar bahasa Indonesia, ia tidak pernah berhasil sebelum
datang dan menetap di Indonesia selama bertahun-tahun.
Demikian juga dikatakannya banyak orang
Amerika, Australia dan orang-orang dari banyak negara lainnya dalam belajar
bahasa Indonesia, hasilnya baru tampak setelah mereka ke Indonesia. Tetapi di
negara kita, ia melihat banyak orang Indonesia fasih berbahasa Inggris tanpa
pernah ke Inggris, Amerika atau Australia.
****
Berbicara tentang orang asing yang datang ke
IKIP Malang untuk belajar bahasa Indonesia, seorang diantaranya kebetulan juga
diajak ke Batu dan Junggo. Ia mempunyai sebuah cerita lucu.
Pada waktu ia pertama kali belajar bahasa
Indonesia, ia diundang sebuah keluarga di Surabaya. Ia diundang makan bersama
keluarga itu. Pada waktu ditawari untuk tambah, ia menolaknya dalam bahasa
Indonesia tapi masih keseleo lidah...
“Terima kasih, saya sudah kencing”.
Tuan dan nyonya rumah cukup sopan untuk diam
dan memahami maksud tamunya. Tetapi anak mereka yang masih kecil langsung
menjatuhkan tubuhnya ke samping untuk melihat “air” di bawah kursi tamu itu.
Dikiranya betul-betul tamu itu telah “ngompol”.
****
Ada dua pelajaran yang dapat saya petik dari
dua orang Barat itu.
Kita selama ini banyak mengeluhkan kegagalan
pendidikan di Indonesia. Kita menuding kurikulum. Kalau kurikulum diganti masih
gagalk, kita tuding buku materi. Masih gagal lagi, gurunya yang salah.. dan
kalau perlu lembaga yang mendidik guru dituding sekali. Kita melihat kegagalan
itu dengan membandingkan mutu siswa dalam de
oude goede tijd; atau membandingkannya dengan negara maju lainnya. Paling
tidak dengan Jepang. Kita tidak yakin mempunyai kelebihan sendiri.
Kita memang selalu senang melihat kemilau nun
jauh di sana. Kita silau kepada para ahli dari Barat. Kita impor metode dan
juga ahli-ahlinya sekaligus. Padahal kita lupa bahwa di negara kita bukannya
tidak ada ahli yang nomor wahid. Lihat saja orang-orang yang sekarang menjadi
pimpinan, baik di pemerintahan, swasta maupun di lembaga pendidikan. Bukankah
mereka termasuk yang berhasil?
Mungkin masalah kita adalah “bagaimana
meningkatkan persentase yang berhasil”.
Kita silau kepada ahli-ahli bangsa Barat.
Benarkah mereka “lebih” dari pada ahli kita? Ahli-ahli kita adalah lulusan dari
PT yang besar, ternama dan sudah kita ketahui bonafiditasnya; sebaliknya para
ahli Barat tersebut seringkali tidak datang dari PT yang besar dan ternama.
Logikanya, kalau mereka memang jempolan, mestinya mereka tidak mencari
pekerjaan di Timur, di Indonesia yang baru mereka dengar untuk pertama kalinya.
Mereka akan bekerja di negeri sendiri.
Negara Asia lainnya yang lebih lihai adalah
Korea Selatan. Mereka juga mendatangkan tenaga ahli dari Barat, tetapi yang
belakangan ini hanya dijadikan asisten dari pengajar-pengajar Korea, yaitu
mereka yang ditugas belajarkan ke PT-PT besar dan ternama di AS dan kini pulang
untuk mengajar di Korea Selatan.
Saya tidak mengatakan bahwa kita sudah boleh
puas dengan kondisi sekarang. Tetapi lihatlah Nurtanio telah memproduksi
pesawat terbang. Presiden Soeharto juga telah dapat meyakinkan dunia dengan
keberhasilan kita di bidang penanam padi. Mengapa kita tidak mulai bangga akan
diri sendiri dan menggunakannya untuk melejit ke depan?
****
Kita juga lihat betapa orang Barat berani
memakai bahasa Indonesia, meskipun barusepotong-sepotong. Anak-anak kita dan guru-guru
bahasa Inggris takut memakai bahasa Inggris karena takut salah.. takut
diketawai (orang “bule”). Padahal bahasa hanya dapat lancar apabila dipakai dan
membuat kesalahan bukanlah suatu dosa. Dari kesalahan kita juga dapat belajar.
Tidak ada orang berhasil belajar bahasa dengan tinggal membisu.
Takut diketawai berarti kita masih “silau”.
Padahal nasionalisme di mana-mana sudah bangkit. Orang Australia bangga sekali
dengan logatnya yang menurut kita pletat-pletot. Tetapi mereka bilang itu
bahasa sekolahan mereka. Orang Singapore juga tidak permasalahkan “Singaporean
English” mereka. Dan kita ? biarlah siswa-siswa kita berbicara bahasa Inggris.
Jangan mereka terhambat karena takut diketawai...