Jawa Pos, Selasa KLIWON 4 November 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Buku itu
mirip sebuah cermin; jika seorang dungu berkaca Anda tidak bisa berharap
keluarnya pantulan seorang pelopor. (Geroge Lichtenberg).
Kata-kata mutiara ini diucapkan oleh seorang
filsafat abad ke-19 mengungkapkan agar memilih buku yang hendak dibaca
diperhatikan tingkat kesukaran buku tersebut dan kesesuaian dengan kemampuan si
pembaca. Buku yang terlalu sulit tidak akan tercerna, sedangkan yang terlalu
mudah akan membosankan.
Saya teringat akan ajaran tersebut ketika
membaca imbauan Drs. Myra Sidharta dari UI, dalam pertemuan sastra 1986 di
Jakarta, agar selera baca wanita Indonesia diubah (JP 28-10-86). Gagasannya
didasarkan pada hakikat wanita sebagai penerus kebudayaan (mungkin yang
dimaksudkannya hakikat wanita sebagai ibu dan pendidik). Karena itu, wanita
Indonesia harus mengubah selera baca dari materi yang mengundang konsumerisme
beralih ke bacaan susastra.
Saya sangat setuju dengan imbauan tersebut.
Bahkan saya mempunyai harapan lebih: jangan hanya kaum wanita Indonesia, tetapi
setiap individu anggota masyarakat Indonesia hendaknya meningkatkan selera dan
sikap di segala bidang. Misalnya, selera memilih film untuk ditonton. Yang sexy
dan action (dor-doran dan jotosan) selalu menang dari film yang bagaimana pun
bermutunya tetapi penuh percakapan.
Namun, ada yang mengganjel pada waktu saya
membaca himbayan tersebut: apa mungkin dan bagaimana cara-cara yang disarankan?
Kemudian, mengapa himbauan itu ditujukan kepada kaum wanita Indonesia secara
khusus?
SUSASTRA DAN NONSASTRA
Selera baca memang tidak dapat dipisahkan dari
tingkat pendidikan dan jenis pendidikan yang ditempuh. Seorang lulusan SD,
misalnya, tidak dapat dituntut untuk dapat membaca (dengan pemahaman penuh),
buku-buku yang setingkat dengan materi lulusan SMP atau SMA. Kalau ada anak
usia SD sudah dapat membaca Merahnya Merah Iwan Simatupang,
itulah suatu khusus perkecualian. Tetapi kemampuan membaca, kemampuan berbahasa
dan tingkat pengembangan kognitif anak bergerak paralel.
Seorang sarjana pun yang tidak mempunyai latar
belakang pendidikan sastra (dalam arti luas) tidak akan berselera membaca
majalah Horison, misalnya. Membacanya bisa, tetapi wacana itu menjadi tidak
bermakna baginya. Memahami susastra bukanlah sekedar memahami kata atau
kalimat. Ada stilistika dan permainan bahasa yang sengaja dipasang untuk
membuat suatu karya tulis indah. Belum lagi permainan gagasan. Bahasa susastra
berbeda dengan bahasa awam yang lugas.
Novel dan cerita-cerita pop yang nonsastra ada
di mana-mana berdampingan dengan fungsinya sendiri. Bukan hanya di negara kita,
di negara maju pun kita kenal novel-nocel sejenis seperti buku-buku Barbara
Cartland dan ribuan novel yang lebih “picisan”. Buku-buku itu tidak dapat
diabaikan begitu saja karena mereka pun ternyata memberikan sumbangannya kepada
para pembacanya. Misalnya, dengan membaca cerita-cerita itu kita berkhayal
menjadi pahlawan dan mengidentifikasikan diri dengan tokoh. Dalam buku-buku
wanita, tokohnya yang wanita begitu sempurna sehingga untuk sementara kita
dapat melupakan segala kekesalan pribadi yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari yang mungkin membosankan, karena peran wanita yang selalu nomor
sekian, dan sebagainya.
Apakah kita tidak membuang-buang waktu dengan
membaca cerita seperti itu? Mungkin dengan mencucurkan air mata di lantai, kita
telah memilih cara yang lebih murah ketimbang pergi ke seorang psikiater atau
psikolog. Kalau kita tidak membutuhkannya dengan sendirinya buku-buku itu kita
tinggalkan.
MENGUBAH SELERA, MUNGKINKAH?
Selera menyangkut kehendak memilih sesuatu
yang lebih disukai. Selera diperoleh seseorang secara sengaja melalui
pendidikan (dalam arti luas) dan secara alami melalui lingkungan.
Saya ambil contoh selera akan paduan warna-warna
keras. Lingkungan secara alami memberi masukan kepada individu anggota
masyarakat tersebut untuk meneruskan norma indah yaitu paduan warna keras itu.
Selera di atas mungkin oleh masyarakat lain
dianggap “rendah”. Kelompok ini mempunyai aturan mengenai warna-warna yang
dapat dipadukan dan yang tidak. Paduan warna yang menyimpang dari aturan yang
telah ditetapkan dianggap “selera rendah”. Di sini selera warna telah menjadi
identitas sosial. Kelompok ini menganggap diri mereka dari status sosial lebih
tinggi dan akan mendidikan kepada anak cucu mereka untuk tidak menggunakan
paduan warna selera rendah, agar tidak tergolong atau dianggap yang “status
rendah” itu. Di sini telah terjadi pendidikan secara sengaja.
Bagaimana dengan selera baca? Tidak jauh bedanya
dengan selera akan paduan warna tadi. Bagaimana kelompoknya menyikapi materi
bacaan? Materi yang bagaimana yang dibaca dalam lingkungannya? Seorang yang
hidup di tengah lingkungan penggemar cerita gosip, mestinya juga menggemari
cerita gosip dan di situlah selera bacanya terbentuk. Kalau ia membaca cerita
lain tipe, ia tidak dapat berkomunikasi dengan masyarakatnya, karena bacaan
dapat menjadi bahan komunikasi.
Untuk mendapatkan selera bacaan yang “lebih
tinggi” ia harus mengalami pendidikan yang memberikan rumusan mengenai materi
bacaan apa yang harus dianggap bermutu. Sekaligus ia belajar materi bacaan mana
yang dianggap “selera rendah”.
Proses pendidikan selera melalui masa yang
panjang. Ada kegagalan, ujicoba , koreksi, dan juga ganjaran apabila memnuhi
harapan. Bahkan selera ini dapat dianggap sebagai produk kebudayaan yang
diperoleh sejak bayi, sejalan dengan saat kita mengajarkan anak menggunakan
bahasa dan memilih nasi...
TIDAK TERBATAS WANITA
Membatasi himbauan itu pada kaum wanita dapat
mengandung asumsi ganda. Pertama, kaum pria berbeda dengan kaum wanita dan
mereka sudah mempunyai selera baca yang tinggi. Kedua, kaum pria tidak perlu
berselera baca tinggi karena mereka bukanlah penerus kebudayaan.
Keduanya tidak dapat diterima. Kita lihat kaum
pria mulai dari anak SD hingga mahasiswa atau bapak-bapak. Selera mereka tidak
jauh berbeda dengan kaum wanita. Kalau wanita menyukai novel pop, majalah
wanita, Gadis, Anita, Cemerlang, dll., kaum pria juga membaca komik, majalah
Hai, (siswa SMP) dan majalah umum seperti Jakarta-jakarta. Kalau ibu rumah
tangga menyukai ruang gosip, kriminal, biro jodoh, dan iklan-iklan, kaum bapak
banyak yang membaca koran merah muda (di sana namanya koran kuning) yang
halaman pertamanya dihiasi atau gambar mayat atau huruf-huruf besar merah muda
dan biru muda ! yang sudah sarjana dan masih menyukai majalah Donal Bebek juga
ada. Rata-rata selera baca kaum wanita dan pria setingkat berdasarkan latar
belakang pendidikan masing-masing.
Tidak dapat juga diterima bahwa kaum pria
tidak perlu berselera baca tinggi karena mereka tidak mempunyai hakikat sebagai
penerus kebudayaan. Apakah sebagai ayah mereka tidak melakukan tugas mendidik
dengan menurunkan nilai-nilai kepada anak-anak mereka? Apakah sebagai anggota
masyarakat mereka tidak mempunyai tanggung jawab menjaga terpeliharanya nilai
budaya?
Dengan begitu, imbauan yang ditujukan kepada
kaum wanita Indonesia semestinya juga ditujukan kepada setiap anggota
masyarakat Indonesia, baik wanita maupun pria.
BACAAN BERMUTU HARUS SASTRA?
Saya memang belum membaca makalah yang
dibacakan oleh Dra. Myra Sidharta sehingga mungkin saja berlainan dengan
petikan yang saya baca. Namun, jika betul bahwa bacaan yang dianggap memenuhi
selera baca tinggi adalah karya sastra, saya kurang setuju.
Seperti yang telah saya uraikan, novel dan
majalah wanita mempunyai manfaat tersendiri. Lagipula, tingkat bacaan tidak
dapat terlepas dari tingkat pendidikan dan latar belakang seseorang.
Di samping itu nilai-nilai dalam masyarakat
berubah terus sehingga bacaan bermutu tidak lagi harus dicari dalam karya
sastra. Saya sendiri belum pernah menelusuri karya sastra Indonesia dengan
mendalam. Namun, secara akal sehat saya berkesimpulan bahwa setiap penulis akan
memasukkan nilai-nilai yang dianutnya. Kalau kita percaya akan keuniversalan
sastra, kita harusmenerima semua itu yang semestinya tidak semua memberikan
arahan bagi pendidikan. Bagi yang pemahamannya kurang, dapat saja karya sastra
bukan tidak memperkaya jiwanya, tetapi malah membingungkannya.
Mengubah selera baca masyarakat Indonesia bisa
saja, tetapi diperlukan suatu usaha dan tekad yang besar. Dari usia prasekolah
anak-anak dibiasakan memperkaya pengetahuannya dengan membaca dan ditingkatkan
terus sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif dan kemampuan berbahasa. Dan
bacaan itu tidak terbatas pada sastra tetapi segala bentuk bacaan informatif,
dan juga argumentatif hingga biografi atau cerita sederhana sekalipun. Usaha
ini saya kira sudah banyak dilakukan oleh keluarga-keluarga kelompok terdidik.
Tetapi, untuk menggerakkannya secara nasional, diperlukan dukungan nasional
pula.