JAWA POS, SELASA KLIWON 8 APRIL 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
SARA itu bagai api dalam sekam. Pada saat aman
sama sekali tidak tampak fenomenanya. Beberapa kalangan bahkan dapat memastikan
bahwa pembauran (kebersamaan) telah berlangsung dengan baik, terutama di
kalangan intelektual. Tetapi, sebaliknya fenomena SARA itu begitu pekanya
sehingga hasutan sedikit saja akan memungkinkan suatu kelompok kehilangan
rasio. Apakah yang membuat seseorang atau sesuatu kelompok mengucilkan kelompok
lainnya?
Pengalaman
Masa Lalu
Richard W. Brislin yang menulis panjang lebar
mengenai bentrokan antar budaya yang terjadi karena interaksi tatap muka
mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu sangat berperan pada sikap seseorang
terhadap kelompok di luar kelompoknya sendiri.
Bahasa adalah salah satu penyebab suatu
kelompok mengucilkan kelompok lainnya. Contohnya, kalau ada seseorang
mengenakan baju baru maka temannya akan menggodanya, “Wah, masih bau Cina”. Itu
kalau yang mengucapkannya orang Jawa. Lain lagi kalau yang mengucapkannya orang
Peranakan Cina. Ia akan mengatakan, “Wah, masih bau encik/encim”. Dengan ucapan
yang terakhir ini kelompok Peranakan Cina telah mengucilkan kelompok Cina Totok
sebagai kelompok yang berjual kain. Bagi kelompok Jawa, Cina termasuk Cina
Peranakan maupun Totok.
Masih berhubungan dengan bahasa adalah
timbulnya istilah-istilah yang seringkali dipakai tanpa kesadaran bahwa istilah
tersebut dapat menyakitkan kelompok lain. Misalnya, kangkung cina untuk
menyebut daun kangkung yang besar-besar dan kangkung jawa untuk yang daunnya
kecil. Asalnya, karena kangkung cina ditanam di kebun dan dikelola oleh tukang
sayur Cina, sedangkan kangkung jawa diambil dari pinggir sungai oleh tukang
sayur Jawa. Tetapi bagi yang tidak mengenal “sejarahnya”, istilah kangkung cina
dan kangkung jawa itu cukup menyakitkan.
Hal lain yang sangat berpengaruh pada sikap
seseorang terhadadap kelompok di luar kelompoknya adalah pendidikan oleh orang
tua. Anak cenderung mengambil alih sikap orang tua. Orang tua yang konservatif,
yang menegakkan aturan keluarga dengan hukuman dan pukulan, cenderung
menghasilkan anak-anak yang tidak toleran terhadap orang lain. Biasanya orang
tua yang konservatif juga tidak bersikap positif terhadap kelompok lainnya.
Misalnya ada orang tua yang melarang anaknya bergaul dengan anak-anak dari
kelompok sosial yang lebih rendah. Orang tua yang bertahun-tahun hidup di
kampung, begitu meningkat statusnya akan pindah ke pemukiman baru atau ke rumah
di pinggir jalan besar dan melarang anak-anak mereka bergaul dengan anak
kampung. Hal ini menunjukkan bahwa bukan antaretnis saja ada masalah, antara
kelompok berstatus sosial menengah dan ke bawah atau antaraatas dan menengah
pun ada garis pemisahnya.
Hal lain yang juga sangat berpengaruh adalah
pendidikan di sekolah, dan pendidikan oleh media massa. Menurut penelitian
Stephen dan Rosenfeld (1978) terbukti bahwa sekolah-sekolah yang mempunyai
aturan ketat dan hukuman terhadap siswa yang melanggar disiplin, yang bersikap
negatif dan rasialis terhadap kelompok di luar kelompoknya.
Pengaruh media massa juga besar. Pada
saat-saat belakangan banyak yang terlihat usaha-usaha untuk menghadirkan cerita
asimilasi yang berarti “kawin campur” yang sama sekali tidak realistis.
Nama-nama yang digunakan “menggelikan” kedengarannya dan masalah yang diangkat
ke permukaan bukan hanya antaretnis, tetapi sekaligus antara etnis-etnis dari
kelompok status sosial yang berbeda. Atau banyak lawakan di teve atau di gedung
bioskop yang menampilkan seorang Cina dengan logat keseleo-keseleo. Lucu memang
dan mengundang banyak tawa. Tetapi artinya bagi pendidikan sikap antarkelompok
nihil bahkan negatif. Lelucon di teve diangkat masyarakat ke dalam kehidupan
sehari-hari dan kelompok lain akhirnya merasa terhina. Dengan cerpen atau
cerber “asimilasi” yang tidak realistis timbul suatu pendapat umum yang sama
sekali keliru bahwa pembauran berarti kawin campur. Padahal pembauran
seharusnya diartikan kehidupan antarkelompok yang penuh pengertian. Lelucon
yang menertawakan ciri-ciri suatu kelompok mengangkat tawa di antara kelompok
yang lain, tetapi merupakan penghinaan bagi kelompok yang dikenal.
Stereotip.
Stereotip adalah bentuk generalisasi terhadap
suatu kelompok, termasuk pernyataan akan ciri-ciri yang melekat pada kelompok
tersebut. “Etnis Cina adalah pedagang” merupakan salah satu stereotip atau
penggeneralisasian. Tentu saja tidak semua orang Cina mempunyai bakat alam
dagang. Saya sendiri berkali-kali mencoba dagang baik kecil maupun besar,
selalu gagal.
Kebetulan stereotip yang disebut di atas
sifatnya netral bahkan dapat dikatakan agak memuji. Tetapi ada stereotip lain
yang melekat pada stereotip yang telah disebut tadi, yaitu “Orang Cina itu
tukang suap”. Yang terakhir ini negatif sekali, sehingga sifatnya lebih ke arah
prasangka antar kelompok.
Stereotip ini ada kalanya merugikan, tetapi
ada kalanya juga dapat digunakan sebagai patokan untuk bergaul “secara aman”.
Misalnya, stereotip yang melekat pada orang Jawa Tengah adalah “halus dan tidak
menyukai teguran langsung”. Kelompok lain yang mengetahui (mengenal) stereotip
ini dapat berhati-hati apabila bergaul dengan orang-orang Jawa Tengah. Paling
tidak, dengan mengikuti pesan stereotip tadi, ia akan berhasil bergaul dan
diterima oleh masyarakat Jawa Tengah dengan selamat.
Prasangka
Stereotip yang negatif atau prasangka
merupakan sikap negatif bahkan cenderung memusuhi. Biasanya sikap seperti ini
tumbuh karena prasangka tersebut bukanlah diperoleh dari pengalaman sendiri,
tetapi dari sumber kedua. Bentuknya bermacam-macam, dari yang jahat hingga yang
tak kentara.
Yang paling jahat adalah rasialisme oleh
sekelompok masyarakat yang merasa kelompok lain “bukan manusia”. Untunglah
rasialisme seperti ini tidak ada di Indonesia. Indoktrinasi Nazi atau komunisme
dapat melahirkan rasialisme jenis ini. Misalnya, pada waktu Nazi, yang bukan
bangsa Aria murni bukan manusia dan boleh dimusnahkan. Komunisme di
negara-negara yang mulai dikomuniskan melahirkan anak-anak kecil yang tega
melaporkan ayah atau ibunya karena mereka yang berbeda paham (kelompok luar)
bukanlah manusia yang boleh diberi hak hidup.
Bentuk prasangka lainnya adalah rasialisme
simbolis yang merupakan perasaan tidak senang terhadap kelompok luar yang
dianggapnya “mengancam” nilai-nilai dasar dan status quo mereka. Modernisasi
(pendidikan, pengobatan, KB) dapat dianggap sebagai hal-hal yang mengancam
tradisionalisme. Bukannya penduduk di daerah terpencil tidak menyukai petugas
atau guru atau dokter yang bermaksud memajukan daerah mereka, tetapi mereka
merasa terancam dan berusaha menolak mereka.
Ada lagi bentuk prasangka yang tidak kentara.
Kelompok ini tidak menyukai kelompok lain tetapi mereka tidak mau mengakuinya.
Mereka berusaha untuk terlibat dalam kehidupan antarkelompok, tetapi tidak mau
terlalu terlibat. Misalnya, kelompok “kaya” yang tidak keberatan menjadi orang
tua asuh tetapi tidak mau lebih daripada menyumbang sekian puluh ribu rupiah
per tahun.
Yang lainnya, bentuk prasangka berjarak.
Misalnya, seseorang bergaul dengan baik sekali dengan kelompok lain tetapi akan
segera marah-marah kalau anaknya pacaran dengan kelompok lain itu. Dalam
masyarakat kita dapat dilihat hubungan pembauran yang baik di antara relasi
dagang, misalnya. Mereka saling menjamu dan mungkin dapat akrab sekali. Tetapi
untuk bertindak di luar batas pergaulan bisnis, mereka mengambil jarak.
Tetapi ada pula prasangka yang timbul karena
rasa “tidak senang” yang sesungguhnya. Kelompok terdidik pada umumnya tidak
senang kalau ada orang yang membuang ingus di kolam renang. Meskipun mereka
mengetahui latar belakang “bahwa orang tersebut tergolong tidak/kurang
terdidik” tetapi rasa tidak senang tersebut menjadi prasangka yang meluas
kepada kelompok etnisnya.
Ada pula prasangka yang timbul karena tidak
saling mengenal kultur kelompok lainnya. Sebagai contoh, orang Cina menganggap
dahak itu kotor dan harus diludahkan. Padahal orang Amerika menganggap meludah
di tempat umum itu tidak higienis dan karenanya harus diludahkan di tissue,
yang menurut orang Cina sebaliknya kotor: “ludah kok disimpan”. Suatu pemahaman
budaya terjadi pada saat Deng Xiao Ping berkunjung ke Gedung Putih. Di setiap
pelosok baginya disediakan tempolong (tempat ludah) sehingga kedua belah pihak
tidak merasa terganggu.
“Mengobati”
Prasangka
Jika tidak “diobati”, prasangka yang baru merupakan
reaksi emosional ini dapat berkembang menjadi dorongan akan suatu tingkah laku
negatif , yaitu diskriminasi dan bahkan rasialisme fisik. Pembakaran toko-toko
milik orang Cina merupakan salah satu contoh prasangka yang disuntik (baca:
dihasut) bibit penyakit. Lalu bagaimana mengobati prasangka sehingga dalam
bangsa Indonesia dapat terjalin kehidupan berdampingan antaretnis yang membaur
secara sehat?
Richard W. Brislin mengatakan bahwa
menyembuhkan prasangka haruslah dengan mengetahui berbagai makna atau fungsi
sikap seseorang atau suatu kelompok.
- Prasangka yang dipertahankan agar tidak terbuang dari kelompoknya. Misalnya, seorang pemuda Jawa yang ketahuan teman sekelompoknya memacari gadis keturunan Cina lalu menjawab “ia hanya iseng”. Atau, dalam masalah lowongan pekerjaan yang kurang, ada “kewajiban” untuk memberikannya kepada calon dari kelompoknya sendiri. Atau, orang-orang yang sudah begitu akrab dengan lingkungan persahabatan tersendiri, sehingga mengalami benturan (konflik) ketika harus bergaul dengan orang di luar kelompoknya.
- Prasangka yang dipertahankan untuk membentengi ketidakmampuan dirinya sendiri. Misalnya, seseorang yang selalu gagal dalam usaha lalu mengatakan bahwa kelompok lain adalah orang-orang yang licik. Misalnya, orang tua dari keturunan Cina yang anaknya tidak diterima di PT lalu mengatakan bahwa anaknya korban diskriminasi. Atau sebaliknya, prasangka bahwa orang keturunan Cina main suap karena itu berhasil dalam perdagangan.
- Prasangka yang dipertahankan untuk membela “nilai-nilai yang diyakininya”. Dalam agama, misalnya, ada kelompok yang menentang kelompok lain karena mereka merasa menjadi orang terpilih atau “lebih di mata Tuhan”. Juga orang feodal seringkali beranggapan bahwa kelompok luar adalah “orang rendahan” yang tidak masuk hitungan.
- Prasangka yang lahir dari generalisasi yang dikenalnya, dan mengabaikan adanya variasi dalam kategori yang mendasari stereotip yang dikenalnya itu. Prasangka jenis ini melahirkan suatu lelucon: “berbicaralah bahasa Jerman dengan kudamu, bahasa Inggris dengan pasangan hidupmu, tetapi bahasa Prancis yang kedengaran merayu-rayu. Bahasa Prancis yang dipergunakan orang pesisir juga sama kasarnya dengan bahasa-bahasa lain apabila digunakan oleh kelompok yang sejenis.
Sikap
Toleransi
Mengapa dikatakan bahwa pembauran
(kebersamaan) bukan masalah lagi di kalangan intelektual? Pada umumnya,
kelompok intelektual dari pengalamannya telah belajar akan latar belakang
kelompok lain. Mereka mengakui bahwa orang lain atau kelompok lain berbeda
dengan mereka, tetapi mereka juga dapat menghargai nilai perbedaan itu:
perbedaan itu halal adanya.
Orang yang toleran dapat menggunakan wawasan
yang luas dalam menanggapi suatu isyu. Ia dapat melihat dari berbagai dimensi. Misalnya,
etnis Jawa yang berhasil dalam dunia dagang adalah karena orang toleran, karena
mempelajari keberhasilan etnis Cina antara lain kerja jeras, hemat tanpa
menggunakan modal untuk makan, tekun, dan lain-lain. Padahal kalau ia tidak
toleran ia sudah masuk kelompok berprasangka tipe-dua yang membentengi dirinya
dengan berbagai alasan.
Orang yang toleran terhadap agama lain juga
mengakui agama lain yang berbeda dengan agamanya sendiri dan menghargai
keyakinan orang lain.
Toleransi juga mendorong seseorang untuk
slelau belajar. Misalnya, tentang stereotip. Stereotip amat bergun bagi
seseorang yang hendak berkomunikasi dengan orang dari kebudayaan yang
berlainan. Dengan mengenal stereotip kelompok budayanya, ia menghindarkan diri
dari “kesalahan” yang kecil hingga besar, seperti menanyakan hal-hal yang tabu
dalam kebudayaan lawan bicaranya. Tetapi, stereotip adalah suatu generalisasi
yang tidak selalu benar. Orang yang berwawasan luas dan toleran akan mengecek
kebenaran dari pendapat pertamanya dengan pengalamannya sendiri. Pendapat itu
mungkin salah dan harus diperbaiki.
Bagaimana seseorang dapat memiliki sifat
toleransi? Antara lain, toleransi dicapai dengan saling mempelajari kebudayaan
etnis lain dan menerima bahwa perbedaan dalam kultur adalah suatu hal yang
biasa tetapi harus dihormati. “Kawin Campur” selama ini dianggap sebagai puncak
pembauran . tetapi akhirnya banyak orang kecewa, karena pada pasangan-pasangan
yang “kawin campur” ternyata masing-masing dapat saling menghargai pasangannya,
tetapi hanya terbatas pada individu suami/isteri. Masing-masing tetap kurang
dapat menerima keluarga atau masyarakat dari mana suami/isteri berasal. Apabila
terjadi diskriminasi pada dirinya, ia akan menunjukkan identitas
suami/isterinya.
Langkah pembauran (kebersamaan) seperti ini
belum dapat dianggap langkah seorang yang toleran, yang segera dapat mengambil
sikap menyesuaikan begitu menghadapi situasi yang sulit atau masyarakat yang
tidak sama dengan dirinya.
Toleransi juga suatu sikap “penuh pengertian”
terhadap individu atau kelompok yang “penuh prasangka”. Tidak mudah memang
untuk tidak merasa tersinggung atau menunjukkan sikap senyum-senyum pada saat
mendengarkan lawan bicara mengunggulkan kelompok sendiri atau menanggapi suatu
diskriminasi dengan kepala dingin. Tetapi dari sinilah dimulai kehidupan
kebersamaan yang rukun antargolongan.
Bangsa Indonesia terdiri atas banyak etnis
sehingga persatuan dan kesatuan bangsa hanya dapat dicapai kalau masing-masing
etnis mempelajari budaya etnis lainnya untuk dipahami dan diterima sebagai
sesuatu yang berbeda tetapi patut dihormati karena nilai budaya etnis, apa pun
dan betapa pun berbedanya, adalah sama tingginya.