Fakultas Pendidikan Dan Pendidikan Guru



Jawa Pos, Jum’at PAHING 8 Agustus 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Tertegun saya membaca berita utama harian Jawa Pos sehari sebelum Hari Sipenmaru. Direktur Sarana Akademis Dirjen Dikti Prof. Dr. Ir. Sidharta Pramutadi menyatakan bahwa dalam Sipenmaru 1986-1987 ini Fakultas Pendidikan kurang diminati, dan akan diselenggarakan Sipenmaru susulan.

Ada dua hal yang merisaukan hati saya. Penyebutan “Fakultas Pendidikan” dapat diartikan “Fakultas Keguruan”. Apalagi akhir-akhir ini banyak suara sumbang ditujukan kepada lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan guru. Tidak salah! Beberapa hari kemudian (JP 4-8-86) memuat sebuah karikatur yang memberikan gambaran betapa suramnya lembaga pendidikan yang menghasilkan guru itu. Lembaga ini digambarkan sebagai sebuah kursi hitam yang satu kakinya patah dan satu lagi sambungan. Tangga menuju kursi tersebut begitu sepi. Kalaupun ada yang mencoba mendaki, calon tersebut mestinya mempunyai “kepribadian terbelah”.

Kesalahpahaman senada juga dinyatakan oleh tulisan Teguh Prasetyo Wiyono (JP 6-8-86) yang tidak merasa heran bahwa masyarakat menomorduakan IKIP dari lembaga pendidikan non IKIP. Betulkah yang dimaksud Prof. Dr. Ir. Sidharta Pramutadi adalah IKIP? Tampaknya persoalannya menjadi cukup jelas dengan komentar Prof. Dr. Slamet Iman Santoso yang menyatakan bahwa “tidak jelas ahli pendidikan akan dimanfaatkan untuk apa”.

Hal kedua yang merisaukan adalah akan diadakannya Sipenmaru susulan. Ujian susulan bagi PTS memang merupakan hal biasa dan hal ini dimaksudkan untuk mengadakan perimbangan biaya operasi dan pemasukan. Apakah kebijakan seperti ini juga diperlukan bagi PTN? Tidakkah akan menimbulkan kesan yang psikologis kurang menguntungkan bagi mahasiswa FIP?

FAKULTAS PENDIDIKAN BUKAN MENDIDIK GURU

Beradanya FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) dalam satu atap dengan Fakultas-fakultas keguruan (yang juga menggunakan nama Fakultas Pendidikan) di bawah IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) memang membingungkan bagi orang awam. Tidak jarang orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan pun masih mengira kedua jenis fakultas tersebut sama-sama memproduksi guru.
 IKIP terdiri dari enam fakultas, yaitu :

1.       Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
2.       Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS)
3.       Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA)
4.       Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS)
5.       Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan (FPTK)
6.       Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK)

Dan masing-masing mempunyai beberapa jurusan. FIP, misalnya mempunyai jurusan administrasi pendidikan, jurusan kurikulum, jurusan teknologi pendidikan, jurusan bimbingan penyuluhan dan lain-lain, yang tidak ditargetkan untuk menjadi guru tetapi bekerja sebagai administrator sekolah, ahli media pengajaran, ahli pengembangan kurikulum, konselor, dan sebagainya. Kelima fakultas lainnya ditargetkan sebagai lembaga untuk mendidik guru sesuai dengan jurusan masing-masing. Misalnya, di FPBS ada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang mempersiapkan lulusannya menjadi guru bahasa Inggris.

Baik FIP maupun kelima fakultas lainnya di bawah IKIP mempunyai deskripsi yang jelas tentang lulusannya. Konsepnya FIP bukan mendidik guru, tetapi prakteknya seringkali tidak demikian. Di lapangan lulusan BP selain menjadi konselor harus merangkap sebagai guru bahasa Indonesia atau PMP atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Lulusan terbaik dari FIP juga dipersiapkan sebagai dosen di FIP sendiri.

IKIP DINOMERDUAKAN?

Di mana-mana, baik di negara maju maupun berkembang, selalu terjadi rangking dalam dunia pekerjaan atau profesi. Di AS, misalnya arsitektur menempati urutan ketiga setelah dokter dan hakim advokat dan guru menempati urutan 10 menurut skala Duncan. Di Indonesia, arsitektur merupakan profesi yang masih muda dan tidak mungkin menempati urutan ke 3. Bagaimanakah dengan guru? Betulkah guru berada di urutan yang paling tidak disuka?

Penelitian mengenai rangking dalam profesi di Indonesia belum pernah diadakan. Untuk segera mengasumsikan bahwa IKIP adalah kelas dua dalam tanggapan awam juga terlalu gegabah. Pada kenyataannya, semua jurusan fakultas keguruan (selain jurusan seni rupa & kerajinan, jurusan bahasa Jawa, jurusan Seni Tari dan jurusan Bahasa Jerman) telah terisi penuh.  Selain itu, di universitas juga terdapat jurusan nonkependidikan yang terbilang kering. Dan juga terdapat jurusan yang banyak peminatnya yang lulusannya menjadi penganggur intelektual karena lapangan kerja sudah penuh atau lulusan tidak mau bekerja di daerah. IKIP secara keseluruhan bukanlah yang paling tidak disuka.

SIPENMARU SUSULAN UNTUK FIP?

Kalau FIP kurang peminat tahun ini pasti ada sebabnya. Sudahkah FIP mengevaluasi apakah lulusannya selalu mendapatkan pekerjaan sesuai dengan pendidikan yang ditempuh? Sudahkah FIP mengkomunikasikan “pekerjaan” yang dapat diharapkan oleh lulusan sesuai dengan jurusan yang ada?
Tahun kemarin dan tahun-tahun sebelumnya FIP memang tidak pernah mengkomunikasikan tujuan institusionalnya karena lulusan SMTA (Sma umum dan kejuruan) tidak perduli diterima di jurusan mana pun asal masuk PTN. Tahun ini keadaannya berlainan. Calon mahasiswa yang diterima di jurusan kering atau jurusan yang tidak jelas lapangan pekerjaannya memutuskan untuk memasuki lapangan kerja segera setelah lulus SMTA.

Hal ini karena terutama karena SPP sejak tahun ini sudah tidak murah lagi. Bukannya pendidikan mahal menghambat pendidikan, tetapi strategi pemerintah telah berhasil dan mengena. Bukankah selalu dipertanyakan “Mengapa menyerbu PT?”

Tahun ini terdapat banyak sekali lulusan SMTA yang sama sekali tidak mendaftar Sipenmaru dan langsung wiraswasta atau bekerja di perusahaan atau toserba. Mereka ini berpikir realistis praktis disesuaikan dengan kemampuan finansial dan intelegensia, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. FIP, misalnya, mendidik administrator sekolah namun berapa yangdapat bekerja sebagai kepala atau wakil kepala sekolah? Ahli teknologi pendidikan terutama kalau dimaksudkan ahli media pengajaran juga tidak menentu lapangannya. Sebagai ahli media mereka tidak dapat bekerja tanpa kerja sama dengan guru bidang studi. Teknologi maju juga belum dimiliki sejumlah besar sekolah-sekolah kita. Banyak sekolah yang mempunyai OHP (over head projector) tetapi tidak boleh digunakan karena takut rusak. Projector slide ada, tetapi hanya dipamerkan fungsinya. Konselor pun masih belum mendapatpenghargaan yang semestinya. Kepala sekolah kurang dapat mempercaya kolselor yang masih muda itu.

FIP PERLU MENATA DIRI

Adalah sebaiknya kalau FIP mengadakan evaluasi program pendidikan dan lapangan pekerjaan lulusannya. Kalau banyak lulusan memang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang studi/jurusan yang diambil, umpan balik ini bisa digunakan untuk meninjau kembali perlu tidaknya untuk mempertahankan suatu jurusan. Spesialisasi memang bagu, tetapi kurang menguntungkan bagi sarjana yang terlalu spesialis terutama kalau lapangan kerja yang memerlukan spesialisasi belum ada.