Bahasa Inggris dan Snobisme



Surabaya Post, Rabu 12 Januari 1983
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Sebuah potret terjatuh ketika saya bongkar-bongkar buku. Potret seorang teman di Sanata Dharma yang selama hampir setahun duduk di sebelah saya. Beberapa kenangan muncul dalam benak saya. Terutama sebuah pengalaman ketika kami sama-sama naik bis pulang ke Surabaya. Bis siang yang naiknya harus meloncat dan cari tempat duduk harus berebut. Saat itu kami tidak dapat memperoleh tempat duduk yang bersebelahan. Beda semenit saja, tempat duduk dua orang terisi. Pria itu emoh diajak tukar tempat. Entah mengapa kami tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris. Eh, tahunya ada yang tersinggung! Alih kode dari bahasa satu ke bahasa lain sering terjadi secara otomatis. Dua teman akrab yang biasanya saling menggunakan bahasa daerah dapat saja tiba-tiba menggunakan bahasa Indonesia apabila pembicaraannya jadi serius. Atau, seorang yang tidak mengerti bahasa yang digunakan terhadap dirinya mendadak dapat mengeluarkan bahasa asing lain yang dikuasainya.

Saya teringat juga keluhan mahasiswa-mahasiswa FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris yang digunjingkan seperti mau pamer kalau mereka berbicara bahasa Inggris di luar kelas. Gunjingan tersebut datangnya dari mahasiswa IKIP juga tapi jurusan lain. Padahal setiap orang yang belajar bahasa asing tahu bahwa kegiatan di kelas 50 persen telah disita guru dan yang 50 persen sisanya harus dibagi oleh jumlah siswa di kelas tersebut. Menggantungkan bercakap bahasa Inggris di dalam kelas, kapan bisanya? Kapan lancarnya?

Bagaimana dengan pelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA? Bukankah ada pula yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris di luar kelas seperti penggunaan bahasa Belanda dulu – adalah ca-cis-cus yang merugikan pembinaan bahasa nasional kita?

Pada waktu kecil ibu saya mempunyai kebun pisang. Ibu selalu mengatakan bahwa untuk mendapatkan buah pisang yang besa-besar beberapa sisir harus dibuang pada waktu seluruh tandan pisang di pohon masih kecil.

Dengan begitu kesempatan tumbuh bagi yang lainnya: pemerataan makanan dan tempat dapat menyebabkan buah pisang gemuk-gemuk. Menanam padi pun sama halnya. Dulu pun saya melihat Pak Tani selalu mencabuti rumput dan tanaman liar yang tumbuh di antara pohon padi agar batang padi dapat tumbuh bagus dengan makanan yang cukup. Dan sekarang ada ayam broiler. Untuk mendapatkan ayam yang gemuk-gemuk, anak ayam diberi makanan istimewa dan dibalok (dikurung dalam tempat kecil agar tidak dapat bergerak). Memang untuk mendapatkan buah atau hasil yang prima segala cara harus kita gunakan.

Namun dengan anak manusia lain halnya. Apabila kita hendak mendidik anak kita untuk menjadi manusia  yang baik budi, kita tidak dapat mengisolirnya dari teman-teman dan pengaruh buruk. Mengurungnya di rumah , atau melarang teman-teman yang buruk adat mendekatinya adalah suatu hal yang mustahil bukan ? apabila kita bermaksud mendidik anak yang pandai dan di dalam sebuah kelas ada penghambat berupa anak-anak yang kurang pandai, lamban atau bodok sekalipun, dapatkah atau halalkah cara kita dengan mengeluarkan semua yang tidak menunjang tujuan kita?

Saya lalu teringat sebuah SMA yang demi status malah memilih anak-anak terpandainya untuk diberi semacam bimbingan gratis. Tujuannya agar mereka ini dapat mengangkat nama sekolah apabila diterima di Proyek Perintis. Saya juga teringat Hitler pada waktu hendak membuat bangsa Jerman yang unggul dan berdarah Aria murni. Cara yang digunakannya adalah memburu setiap insan yang berdarah campuran, membunuhnya, menghambat tercapainya Bangsa Aria yang unggul.

Sekarang kita dihadapkan pada bahasa Indonesia anak SMP dan SMA yang jauh dari memuaskan. Di luar kelas mereka menggunakan bahasa daerah atau logat daerah. Bahkan di dalam kelas dan berbicara pada guru pun sering mereka lupa dan masih menggunakan bahasa santai. Kita melihat gejala ini namun kita pun tidak dapat memaksa anak untuk tidak menggunakan bahasa daerah di luar kelas. Di dalam kelas kita dapat mengharapkan mereka berbahasa Indonesia yang baik? Bagaimana yang baik itu? Dapatkah kita membebaskan diri dari pengaruh bahasa daerah dalam menggunakan bahasa Indonesia?

Bagaimana dengan pengajaran bahasa Inggris? Ini pun dianggap telah gagal. Jangankan di luar kelas. Menggunakan bahasa Inggris selama pelajaran pun sulit sekali keluarnya. Padahal semua guru dan ahli pengajaran bahasa Inggris menyuruh siswanya untuk menggunakan, membiasakan penggunaan bahasa Inggris di luar kelas apabila hendak belajar bahasa Inggris. Lha, apa tidak mengganggu pembinaan bahasa nasional? Tidak pamerkah? Tidak snob-kah apabila siswa SMP atau SMA berbahasa Inggris di luar kelas, di bis, di gedung bioskop dan di tempat-tempat umum?

Membuang pisang untuk memperoleh pisang yang unggul ternyata berhasil. Mencabuti rumput untuk mendaptkan hasil panen padi yang banyak sudah terbukti betul. Dan membalok ayam broiler telah memberikan pada peternak ayam yang gemuk-gemuk dalam waktu singkat.

Tetapi kita juga melihat Hitler tidak pernah berhasil menciptakan bangsa Aria yang murni berapa juta pun manusia dikorbankan untuk tujuan tersebut. Kita pun belum pernah melihat ada orang tua yang berhasil mendapatkan anak yang mulia sifatnya dengan mengisolirnya dari pengaruh-pengaruh buruk.
Atau mendapatkan anak pandai dengan mengeluarkan anak-anak yang kurang pandai atau bodoh dari kelas. Mengapa? Karena mereka ini manusia dan bukan sekedar tanaman atau hewan. Mereka mempunyai kehendak, mempunyai pikiran dan keinginan untuk bebas. Ada yang bila ditekan nrimo, tapi ada pula yang malah jadi binal.

Membina bahasa Indonesia pun juga bukan dengan melarang anak menggunakan bahasa daerah atau bahasa Inggris. Tugas guru bahasa daerah adalah agar siswa-siswanya menyukai dan dapat menggunakan bahasa daerah di luar kelas sekali pun. Guru bahasa Inggris juga ingin apabila siswa-siswanya dapat cas – cis – cus dalam bahasa tersebut seperti halnya guru bahasa Indonesia berharap siswanya dapat dan mau menggunakan bahasa Indonesia dalam segala kesempatan. Semua guru ingin pengajarannya berhasil dan dihargai keberhasilan tersebut. Dan menangislah si guru bahasa Inggris kalau siswa-siswanya dikatakan mau pamer dengan ngomong Inggris di luar kelas....