Guru Wanita Lebih Banyak Dari Pria – mengapa dirisaukan?



Kompas, Senin 19 Juli 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Permasalahan lebih banyaknya guru wanita dari guru pria pada mulanya diungkapkan oleh rektor IKIP Surabaya Prof Slamet Dajono (Kompas 16 Juni 1982), ditinjau dari jumlah calon mahasiswa yang mendaftar. Nampaknya masalah ini cukup menyulitkan. Ada masalah guru wanita yang tidak mau ditempatkan di desa yang terpencil, ada masalah guru wanita yang ikut suami. Belum lagi guru wanita yang menikah dengan suami kolot yang melarangnya bekerja.

Peran Pria dan Wanita

Sebenarnya tidak mengherankan bahwa guru wanita – terutama guru TK dan SD – jauh lebih banyak dari guru pria. Guru Tk dan SD berhubungan langsung dengan anak-anak yang bukan hanya memerlukan diajar tetapi juga diasuh.

Pada masa-masa lalu – kini masih juga – anak laki-laki dan perempuan dididik untuk membedakan jenis permainan dan peran berdasarkan perbedaan jenis kelaminnya. Anak perempuan diberi boneka, anak laki-laki diberi mobil-mobilan atau pistol.

Anak perempuan bermain masak-masakan, menjadi guru, menjadi ibu bagi bonekanya. Sedangkan anak laki-laki bermain segala permainan yang kasar: perang-perangan, kejar-kejaran, berkelahi, main kelereng. Kalau ada anak laki-laki bermain boneka dan masak-masakan ia diejek teman-temannya sebagai banci. Sama halnya anak perempuan yang lebih senang bermain kelereng atau perang-perangan dengan anak laki-laki temannya akan dikatakan “kasar” atau “seperti laki-laki”.

Pembagian tugas ini berlangsung hingga kini. Karenanya lumrah apabila kemudian lebih banyak wanita yang merasa terpanggil menjadi guru bagi anak-anak usia TK dan SD.

Bahwa guru wanita TK dan SD jauh lebih banyak dari guru pria bukan hanya dialami dunia pendidikan di Indonesia. Menurut data tahun 1960 (E.A. 1975: IX:735) di AS terdapat 2,5 juta guru tetap dengan catatan bahwa profesi guru merupakan profesi terbesar bagi kaum wanita dan profesi kedua (setelah teknik) bagi kaum pria.

Dari jumlah tersebut lebih dari satu juta, dengan mayoritas wanita, adalah guru pada jenjang pra sekolah dan SD. Jumlah guru sekolah menengah pertama hampir berimbang antara pria dan wanita sedangkan jumlah guru pria di sekolah menengah atas agak lebih banyak dari guru wanita.

Perimbangan serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA kita. Jumlah mahasiswa calon guru di bidang studi bahasa, sastra, pendidikan didominir wanita. Tetapi, bidang studi matematika, fisika, teknik didominir pria.

Cita-cita guru, merana

Tidak dapat diketahui dengan tepat berapa persen mahasiswa yang belajar di SPG atau IKIP memang betul-betul mempunyai cita-cita menjadi guru.

Dari pengalaman mewawancarai 22 orang calon mahasiswa baru Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unika Widya Mandala Surabaya hanya ada enam orang yang mengatakan ingin menjadi guru. Dari enam calon itu tidak dapat diketahui kesungguhan jawaban tersebut. Mungkin hanya empat saja atau mungkin juga ke enamnya. Yang lain mengatakan: ingin belajar bahasa Inggris dengan baik, ingin menjadi penterjemah, ingin menjadi sekretaris, ingin menjadi manejer, dan lain-lain.

Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa banyak mahasiswa yang tidak bercita-cita menjadi guru, pada akhirnya juga menyukai pekerjaan tersebut dan kemudian bekerja sebagai guru.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa profesi guru bukan merupakan prospek yang menggairahkan. Gaji kecil, pekerjaan berat yaitu berdiri dan buka suara sepanjang masa tugas. Belum lagi kalau digoda siswa yang usianya tidak beda banyak dengan mereka yang baru lulus. Penghargaan murid dan masyarakat hampir tidak ada. Masyarakat tidak pernah berterimakasih terhadap apa yang diberikan guru pada anak-anaknya. Tetapi kalau ada kesalahan sedikit saja pada guru, mereka segera menggosipkannya, melaporkannya, bahkan mendatanginya dengan marah-marah. Seolah guru itu haruslah merupakan profil sempurna dan bukan manusia yang dapat bersalah.

Hal ini pula yang menyebabkan orangtua yang profesinya guru tidak mendidik anak-anaknyauntuk mewarisi profesinya. Mengapa pula ia harus membiarkan anak-anaknya mengalami nasib seperti yang dialaminya? Bukankah cukup dirinya saja yang berkurban? Di pihak lain anak-anak yang melihat sikap orangtuanya yang apatis terhadap profesinya, juga pasti tidak akan bercita-cita menjadi guru atau paling tidak ia akan berkata: “jangan sampai saya masuk IKIP!”

Hak dan kewajiban guru

Pembangunan bangsa tidak membenarkan kita hanya memikirkan pendidikan anak kota – yang sehari-hari nampak oleh mata para pemikir. Jumlah anak usia SD yang harus dicerdaskan terbanyak justru berada di desa dan pelosok. Di tempat-tempat ini, pengertian akan manfaat belajar masih kabur.

Banyak orangtua yang menyuruh anaknya membolos untuk bekerja di ladang atau sawah karena membayar buruh terasa mahal. Di tempat-tempat ini dibutuhkan justru guru-guru kelas satu: guru-guru idealis dan penuh dedikasi. Namun siapa yang mau ditempatkan di pelosok mengingat guru-guru SD digaji pemerintah daerah? Keadaan pelosok mana yang lebih baik daripada kota? Siapa yang mau merelakan diri terkurung dan terlupakan di sana dengan gaji kadang terlambat beberapa bulan. Tidakkah seharusnya guru desa digaji lebih baik daripada guru kota?

Bahwa nanti, dengan besarnya dan teraturnya gaji, banyak guru yang mau ke desa dapat dilihat dari contoh perusahaan-perusahaan besar di Kalimantan yang mengambil tenaga pendidik dari Jawa dengan gaji yang empat atau lima kali gaji rekan-rekan di Jawa. Perusahaan tersebut menerima sejumlah besar pelamar dan dapat menyaring untuk mendapatkan tenaga yang terbaik.

Baru setelah pemerintah memberikan apa yang menjadi hak guru dapat dibicarakan mengenai kewajibannya. Seorang guru harus terlebih dulu merasa bahwa ia sudah hidup layak dan terjamin, sebelum ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Apabila ia tidak dibebani oleh persoalan bagaimana mendapatkan uang buat keluarganya, ia akan menjadi kreatif dalam pengajarannya. Ia akan dapat mengajar dengan efektif dan efisien dan tidak seperti guru-guru pada saat ini yang karena letih menyuruh salah seorang siswa mencatat di papan untuk disalin teman-temannya selagi ia sendiri melepas lelah di bangku belakang mengumpulkan tenaga untuk jam pelajaran berikutnya.

Guru yang merasa hidupnya terjamin juga dapat dengan bertanggung jawab memimpin siswanya belajar menggemari bacaan dengan memperkenalkan perpustakaan, mengajar mengarang dan memeriksa tugas yang diberikannya.

Jika minat guru untuk mengajar di desa sangat minim, belumlah dapat dikatakan bahwa guru bermental asosial. Guru tidak sama dengan dokter Inpres atau sarjana Butsi. Yang dua terakhir ini setelah masa tugas lima tahun misalnya akan kembali ke kota dengan masa depan yang cemerlang.

Bagaimana dengan guru yang mengajar di desa? Kesempatan untuk belajar lagi tidak ada. Komunikasi dengan penduduk desa tidak bakal mempertajam penalarannya. Ia malah akan ditulari sikap santai kehidupan di desa yaitu tenang dan damai... alon-alon asal kelakon. Tidakkah ia juga berhak atas kehidupan pribadinya?

Kenyataan bahwa lebih banyak wanita yang mau menjadi guru daripada pria tidaklah perlu dirisaukan. Yang perlu dipikirkan pemerintah adalah bertambahnya orang yang bercita-cita menjadi guru yang baik, yaitu yang mau menghadapi siswa masing-masing sebagai pribadi bukan sebagai nomor atau bagian dari kelas.
Guru yang baik juga harus tahu bagaimana membangkitkan minat belajar dan secara kreatif mengenali cara belajar siswa-siswanya. Apabila yang berminat lebih banyak wanitanya, mengapa dirisaukan kalau hal ini memang belum dapat dirombak karena kebudayaan yang masih membagi masyarakat dalam tugas-tugas sesuai dengan jenis kelaminnya? Lalu bagaimana dengan anak yang didesa? Siapa yang harus mengajar mereka?

Di antara anak desa tidak sedikit yang pandai. Dari desa Klagen dan Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur, misalnya, banyak sekali anak lulusan SD – dan di antaranya beberapa ada yang juara se kabupaten – yang tidak dapat melanjutkan sekolah karena terbentur biaya. Setelah menganggur setahun atau dua tahun mereka oleh pencari tenaga kerja dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumahtangga. Dan yang pandai-pandai memang cepat sekali belajar menjadi pembantu rumahtangga yang baik. 

Namun, alangkah baiknya apabila pemerintah daerah mau membuka mata terhadap juara-juara ini untuk diberi bea siswa untuk menjadi guru di desanya. Kesulitan jauh dari orang tua tidak ada. Ia pun sudah mengenal medan desanya. Mengapa pemerintah selalu menghimbau seorang guru untuk ditempatkan di daerah yang jauh dari lingkungannya dan mengabaikan bibit dari desa yang dapat berbakti apabila diberi kesempatan?***