Jawa Pos, Jumat WAGE 22 Mei 1987
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Pada saat ini kebanyakan orang tua sudah
mengenal tes IQ, karena sejak SD ada sekolah yang sudah menggunakan tes
psikologi yang mengukur kemampuan intelejensi anak sebagai ukuran prediktif
dalam penerimaan siswa baru. Kemudian, setelah di SMA dan menghadapi
penjurusan, anak-anak itu sekali lagi diminta mengerjakan tes yang mengukur
kemampuan kecerdasan dan bakat serta minatnya. Tidak banyak yang tahu,darimana
skor IQ itu diperoleh, bahkan juga tidak mereka ketahui bahwa skor 120 untuk
suatu tes tertentu dan skor 140 untuk tes lainnya bisa saja mempunyai
interpretasi yang sama. Ada orang tua yang sudah berbangga, kalau anaknya
mempunyai skor IQ yang tinggi, tanpa suatu usaha belajar yang nyata juga tidak
membuat anaknya berprestasi. Dan, kalau anaknya ini mengalami kegagalan, yang
disalahkan adalah sekolah dan gurunya.
Memang, setiap orang tua menginginkan anak
yang sempurna. Tidak ada orang tua di mana pun juga yang senang mempunyai anak
yang bodoh. Lebih-lebih, tidak akan ada yang senang apabila anaknya ternyata
bukan saja bodoh, tetapi cacat mental atau tuna grahita. Siakp orang tua
seperti itu adalah normal. Setiap orang tua berharap dapat membanggakan anaknya
yang pandai, yang sukses, yang menonjol, menang dalam perlombaan ini dan itu.
Tetapi, senang atau tidak, selalu ada
anak-anak yang entah karena kelainan khromosom, radang otak, malnutrisi, atau
tidak mendapat perhatian selama pertumbuhan, kemudian menunjukkan kelainan
dibandingkan anak-anak sebayanya pada umumnya. Ada yang jelas-jelas
memperlihatkan kelambanan sampai yang terus-menerus berliur mulutnya, tetapi
ada pula yang kelihatan aktif seperti anak-anak normal, aktif dan cepat,
apabila ditanya ia sudah menjawab sebelum pertanyaan selesai diucapkan. Anak
seperti ini bahkan dianggap anak jenius, tetapi yang membedakannya adalah tidak
adanya perhatian, ia tidak pernah dapat berkonsentrasi barang sejenak pun dan
amat egosentris.
Bagaimana sikap orang tua apabila salah
seorang anaknya tidak memenuhi harapannya ? bagaimana perasaannya, dan juga
reaksinya kalau anaknya cacat mental ? ada orang tua yang berusaha
menyembunyikan anaknya yang cacat, ada yang menghindari pembicaraan mengenai
anaknya yang cacat ini, ada yng tidak sabar dan menyalahkan atau
membodoh-bodohkan si anak, tetapi ada pula yang dapat menerima kenyataan dan
memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berkembang.
Namun, baru-baru ini Prof. Dr. Titi Sajono,
ketua Federasi Asia bagi Anak-anak Cacat Mental, menyatakan bahwa anak-anak
tunagrahita ringan sebaiknya dikembangkan melalui kelas biasa bersama anak-anak
normal. Pendapatnya ini sejalan dengan laporan Haring (1971) yang mengatakan
bahwa 75% anak cacat mental ternyata dapat menguasai dasar keterampilan
akademis dan penyesuaian diri dalam lingkungan biasa, bahkan setelah tahun
60-an pendidikan anak cacat secara terpisah mulai diragukan efektivitasnya.
(Kompas, 11 Mei 1987). Apakah makna pernyataan ini bagi orang tua ?
PENERANGAN BAGI ORANG TUA
Mempunyai anak tunagrahita, sama juga halnya
mempunyai anak cacat fisik, merupakan beban bagi kebanyakan orang tua. Banyak
yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tidak mustahil mereka ini
kemudian bertemu dengan orang yang sok tahu yang memberinya nasihat
macam-macam, yaitu ke orang pintar atau meminumkan daun-dedaunan yang sulit
dicari atau pasrah dan memberikan kasih sayang yang bersifat melindungi si anak
malang hingga besar.
Sekitar tahun 60-an, di Indonesia masih baru
ada beberapa sekolah anak tunagrahita, dan adanya masih di kota besar yang
mempunyai fasilitas psikologi seperti Bandung, dan Jakarta. Di Surabaya atau
Malang belum terdengar ada sekolah seperti itu. Karena tidak tega melepas
mereka ke tempat sejauh itu anak-anak yang cacat mental ini kemudian dibesarkan
di tengah-tengah keluarga yang amat mengasihinya, tetapi malah membuatnya tidak
berkembang sama sekali. Anak-anak itu sampai dewasa menjadi tanggung jawab
sepenuhnya orang tua atau saudara-saudaranya.
Akhir-akhir ini, telah banyak sekolah
tunagrahita didirikan baik yang negeri maupun yang swasta. Memang belum terlalu
populer, tetapi sudah banyak anak tunagrahita disekolahkan disana. Biasanya,
setelah seorang anak menunjukkan kelambanan berpikir, atau mengalami kegagalan
di sekolah, guru memberitahukan kelainan ini kepada orang tuanya. Mereka
kemudian disarankan untuk mengonsultasikan anak tersebut ke seorang psikolog.
Dari guru, psikolog, atau orang tua yang sama-sama mempunyai anak tunagrahita,
itulah orang tua anak yang terbelakang itu mendapat informasi, sehingga dapat
mendaftarkan anak mereka ke sekolah-sekolah tuna grahita yang memberikan
harapan baru bagi orang tua. Bagi yang di asramakan, terlihat sewaktu pulang
dalam liburan pertama anak sudah dapat membersihkan diri sendiri, membersihkan
kamar tidur sendiri, mencuci piring dan gelas mereka selesai makan. Bukan main
senangnya hati orang tua melihat anaknya yang tadinya selalu harus ditolong,
sekarang sudah dapat ke toko dan menghitung uang kembali yang diberikan toko
kepadanya.
HARAPAN YANG BERLEBIHAN
Dengan mengirimkan anaknya yang terbelakang ke
sekolah tunagrahita, sebetulnya banyak harapan dicurahkan orang tua kepada
sekolah itu. Dulunya orang tua hampir putus asa karena anaknya tidak dapat
menuliskan bulatan (simbol O) atau garis (simbol 1) di buku tulis, atau setiap
hari mendapat laporan yang tidak menyenangkan dari guru. Seringkali ibu harus
habis kesabarannya dalam menjaganya membuat tugas rumah. Bahkan, seorang guru
les dipanggil untuk mengajar di rumah dan tidak berhasil. Sekarang, terutama
setelah anak mereka dapat naik kelas dan duduk di kelas empat atau lima, tidak
jarang orang tua pun kemudian berharap bahwa anak mereka yang tadinya tidak
dapat menulis maupun membaca itu akan dapat sepandai kakak atau adiknya yang
normal. Mereka berharap anaknya akan menjadi anak normal. Mungkinkah hal ini ?
tidakkah orang tua terlalu tinggi menggantungkan harapannya ?
APA YANG DAPAT DILAKUKAN?
Tetapi, sejauh mana pengobatan dapat
menyembuhkan kelainan pada khromosom atau otak ? sejauh ini dunia kedokteran
masih belum dapat berbuat apa-apa terhadap dua penyebab cacat mental ini. Yang
dapat dilakukan kedokteran barulah mendeteksi adanya kerusakan pada otak atau
kelainan khromosom akan terjadi pada anak berikutnya atau tidak. Dokter ahli
saraf mungkin dengan obat-obatan dan terapi dapat memindahkan aktivitas
intelektual dan emosional anak ke bagian lain otak yang tidak rusak, melatih
bagian ini untuk mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan bagian otak
yang rusak tadi.
Pendidikan dan perhatian yang positif (seperti
anak normal, mereka ini juga membutuhkan perhatian dari orang tua, saudara, dan
guru) dapat membantu anak yang cacat mental untuk mengembangkan apa yang telah
dilakukan oleh dokter ahli saraf. Guru yang sabar, yang menggunakan alat
peraga, benda dan situasi nyata dalam mengajarkan konsep yang untuk anak normal
dianggap sederhana, amat diperlukan anak-anak ini. Tetapi, berharap agar anak
yang cacat mental ini akan menjadi normal pada suatu saat, adalah suatu harapan
semu. Mereka dapat diharapkan bisa “mandiri”, tetapi menurut porsi kemampuan
mereka. Pendidikan dapat memberikan bekal keterampilan-keterampilan yang
berfaedah bagi mereka agar dapat membantu dirinya sendiri dan mencari nafkah
sesuai dengan kemampuannya.
Tetapi, ada kalanya hambatan terdapat di
sekolah tunagrahita sendiri. Pernah ada suatu kasus, seorang anak sudah
mengalami kemajuan-kemajuan tertentu, kemudian mogok sekolah karena di sana ia
sering dipukul temannya. Orang tuanya berhati lemah dan menarik anak ini dari
sekolah (mungkin mereka pikir kasihan anak sudah debil, tidak dapat membela
diri, masih dipukuli). Anak ini segera mengalami kemunduran dan sekarang
setelah dewasa menjadi beban orang tua dan saudara-saudaranya. Karena itu, demi
kepentingan anak itu sendiri, orang tua harus juga berhati tegar dan berusaha
mencari jalan keluar bersama guru dan kepala sekolah, dan bukan menyerah kepada
permintaan anak.
ANAK TUNAGRAHITA DI KELAS BIASA
Ada segi positif dan negatifnya, menempatkan
anak tuna grahita di kelas anak-anak normal.
Positifnya, seperti dikatakan Prof. Dr. Titi
Sajono, adalah bahwa mereka (tuna grahita ringan) dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan anak normal, dapat mengembangkan kemampuan sosialisasi secara
wajar, dan kemampuan akademisnya lebih terarah. Hal ini tidak dapat disangkal.
Anak-anak yang bersekolah di sekolah tunagrahita telah ditentukan target
perkembangannya sehingga tidak mungkin berkembang lebih dari target. Di sekolah
biasa, kemungkinan untuk membuat loncatan di luar target ada. Coba saja amati
anak-anak yang dipindahkan dari sekolah biasa ke sekolah luar biasa, maka akan
terlihat kemunduran-kemunduran emosional, di samping terlihat adanya kemajuan
dalam beberapa keterampilan manual.
Negatifnya, anak yang bersekolah di sekolah biasa
akan terlihat paling bodoh. Ulangan selalu mendapat nilai paling buruk,
mencatat tidak selesai, dan sering kali mengundang godaan teman sekelas dan
kejengkelan guru yang kurang paham akan persoalan anak tuna mental. Tekanan
psikologi ini dapat saja membuat anak agresif atau depresif, berganting dari
sifat dasar anak tersebut. Tetapi, yang paling terpukul adalah orang tua, dan
secara tidak disadari, akan mempengaruhi sikapnya terhadap perilaku anak itu
sehari-hari (melindungi secara berlebihan atau marah-marah karena malu).
Jika kita memegang prinsip kompetensi bahwa
setiap orang asal saja diberi waktu yang cukup pasti akan dapat mencapai
kompetensi yang ditargetkan, mestinya anak-anak debil pun dapat bersekolah di
sekolah biasa. Namun, ada beberapa hal yang meminta pertimbangan:
- Sudahkah sekolah formal biasa siap menerima keragaman (heterogenitas) siswa yang pandai sekali hingga yang debil? Dulu, PPSB (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) menggunakan sistem modul, sehingga anak yang amat cerdas dapat menyelesaikan sekolah menengah dalam 5 tahun. Tetapi, sekolah biasa pada umumnya masih menggunakan pelajaran klasikal. Tidakkah hal ini sebaliknya, merugikan anak-anak yang normal, apalagi yang cemerlang ?
- Sudahkah kita mempunyai guru-guru sekolah biasa yang terlatih dan sabar menghadapi anak-anak debil, tetapi juga dapat membagi tugas kepada anak-anak normal sebagai pengajaran pengayaan ?
- Tidakkah sekolah luar biasa atau sekolah tunagrahita lebih cocok bagi anak cacat mental, karena sekolah ini lebih memberikan bekal keterampilan sehingga anak cacat mental dapat bekerja setelah lulus. Padahal, apa yang dapat mereka kerjakan setelah lulus SD, misalnya ?
Pada pendidik dan ahli pendidikan memang
seyogyanya membesarkan hati orang tua yang mempunyai anak terbelakang. Tetapi,
sebaiknya janganlah memberikan harapan kepada orang tua secara berlebihan.
Dunia kedokteran belum dapat membuat mujizat penyembuhan kerusakan otak secara
sempurna, dan selama ini kelainan khromosom belum dapat diobati. Karena itu,
orang tua boleh dan harus berharap untuk membuat anaknya bisa mandiri, tetapi
jangan terlalu tinggi berharap bahwa sekolah tuna grahita atau pendidikan anak
tunagrahita di sekolah biasa akan mengubah anaknya menjadi anak normal.