Jawa Pos, Senin Kliwon 17 Februari 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Beberapa waktu yang lalu saya bersama seorang
teman diserahi tugas yang cukup berat yaitu membelikan kenang-kenangan bagi
tiga orang penceramah bangsa asing. Dari rumah kami telah mempunyai ancer-ancer apa yang hendak kami beli
dengan jumlah uang yang kami bawa. Ternyata masalahnya tidak sederhana. Sampai
di toko souvenir benda yang kami cari tidak tersedia seperti kami harapkan.
Yang ukuran terkecil saja harganya di atas target, itupun hanya sebuah. Yang
besaran malah dua kali harga ancer-ancer.
Dan mulailah usaha kami menelusuri toko demi toko...
Pertama kali kami berpikir untuk membeli
batik. Tapi apa? Kemeja batik harganya sesuai, tetapi ukurannya yang repot.
Begitu terlalu besar atau terlalu kecil, pemberian tersebut pasti akan tidak
mempunya nilai apa-apa. Taplak meja atau seprei batik? Kok rasanya tidak bakal
menimbulkan kesan. Kemudian terpikir oleh kami untuk membelikan peta Indonesia dari batik. Eh,
ternyata harganya kok jauh di bawah ancer-ancer.
Apa kata orang nanti?
Kami lalu mendatangi toko wayang kulit. Mereka
punya beberapa tetapi sayangnya kok tidak terawat. Lalu kami kembali ke toko
pertama. Barangkali di sana ada kerajinan yang bagus. Sebuah lampu meja dari
ukiran memang bagus sekali. Tetapi kemudian kami teringat, apa tidak sulit
membawa “kayu yang besar dan berat itu?”.
Setelah empat jam dalam keraguan dan toko-toko
sudah mulai mau tutup karena hari telah malam, kami terpaksa harus memutuskan
karena pemberian itu harus diserahkan keesokan harinya dan kami tidak mempunyai
waktu lagi. Kami masuk ke sebuah toko souvenir yang kebetulan mempunyai barang
yang cocok dengan selera kami dan juga pas dengan duit yang tersedia. Tiga buah
perahu karet Kalimantan dengan bentuk persis sama akhirnya kami beli.
Keesokan harinya kenang-kenangan tersebut
disampaikan. Adalah kebiasaan orang Barat untuk membuka suatu pemberian di
depan yang memberi. Yang pertama memang menunjukkan rasa senangnya dengan
beberapa puji-pujian (entah sungguh, atau tidak). Ketika yang kedua, membuka
dan sama.. mungkin ia kehilangan akal untuk bersilat lidah. Dan ketika yang
ketiga membuka, ia hanya mengesampingkannya dengan ucapan terima kasih sambil
berbicara topik lain.
Teman saya mempunyai pengalaman lain lagi.
Pada suatu hari seorang dosen bangsa asing meminta bantuannya mengantar ke toko
kue. Dosen itu hendak memberikan sebuah kue tar ulang tahun kepada istri
pejabat tempatnya bekerja. Pada saat memilih-milih, ia menunjuk sebuah tar
kecil dengan diameter 10 cm. Teman saya itu terkejut tentu saja. Dalam budaya
Indonesia, mengirim kue tar ulang tahun paling kecil ya yang diameternya 20 cm.
Tetapi dosen itu berdalih,”Buat apa besar-besar. Nanti tidak ada yang makan...”.
Si dosen asing berpikir demi praktisnya dan teman saya itu berpijak pada
prinsip keselarasan sosial: ya bagaimana pantasnya kalau orang kirim kue. Apa
nanti mau dimakan, atau mau diberikan ke tetangga, atau mau diapakan saja semua
itu bukan urusan yang memberi. Yang memberi harus menyediakan “yang terbaik”
menurut apa yang pantas.
Perbedaan budaya ini juga dirasakan oleh
seorang dosen saya, bangsa Indonesia, yang sudah lima kali ke AS dan mestinya
sudah tidak “gegar budaya” lagi menghadapi orang sana. Tetapi ketika pada suau
hari ia pergi dengan teman baiknya bangsa Amerika dan hendak dibawakan
oleh-oleh martabak dan ditanya: “Apa separuh bisa habis?”, dosen yang
sehari-harinya amat humoris ini menjawab, “O.. seperempat juga masih terlalu
banyak”. Dalam hati ia memikirkan bagaimana akan membaginya dengan
anak-anaknya.
Pada kesempatan lain ia pernah mendapat
souvenir dari suami-istri Amerika yang teman baik sekali. Persahabatan itu
bahkan berlanjut hingga kini. Ketika hendak pulang dari AS ia diberi dua buah
botol kecil yang bertutup gabus. Ia memang tahu bahwa ada botol-botol kuno atau
antik yang dikoleksi. Tetapi kedua botol ini sama sekali tidak kelihatan antik.
Ditanyakan kepada orang Amerika lainnya, mereka juga tidak ada yang tahu ada
botol yang merupakan simbol kebudayaan. Tetapi dosen saya yang memang luas
wawasannya ini kemudian mengartikan bahwa ada kemungkinan botol merupakan
simbol keabadian. Bukankah botol yang ditutup gabus dan dibuang ke laut akan
tetap utuh hingga ada orang yang menemukannya? Kedua botol tersebut tetap disimpannya
hingga kini.
Ia juga mempunyai pengalaman lain lagi dengan
pemberian atau kenang-kenangan ini. Beberapa belas tahun yang lalu ia pernah
memberikan sebuah peta Indonesia dari kain batik kepada seorang teman Amerika.
Ketika baru-baru ini berkunjung ke rumah teman itu, ia melihat peta tersebut
sudah kurang baik dan ia mengatakan hendak menggantinya lain kali. Teman itu
betul-betul menolak, karena pemberian itu mempunyai makna besar baginya dan ia
menyukainya sekali. Yang satu itu tidak sama maknanya dengan yang baru yang
mungkin lebih baik.
Dari beberapa contoh itu terlihat bagaimana
makna suatu pemberian sangat diwarnai oleh kebudayaan. Orang Indonesia selalu
memberikan yang terbaik bagi yang hendak diberi. Kalau tidak pantas, ya lebih
baik tidak memberi saja. Orang Indonesia selalu berpikir: “Bagaimana nanti
pemberiannya diterima oleh pihak sana?”. Dan ia kemudian membuat
patokan-patokan tentang apa yang disebut pantas. Hal ini pula yang akhirnya
terlihat nyata dalam masyarakat. Kalau keluarga pembesar atau orang kaya raya
mempunyai hajat pernikahan, maka kado-kadonya pasti mentereng. Orang yang sama
yang datang ke hajat sebuah keluarga yang kurang mampu dapat dipastikan kado
yang dibawanya akan “menyesuaikan”.
Bagi orang Barat, pemberian diukur dari dirinya
sendiri. Karena orang AS hampir semua hidup berdiet kalori rendah agar tidak
kegemukan, mereka pun kalau memberi kue tar atau martabak atau makanan apapun
yang secukupnya saja. Mereka tidak biasa dengan makanan berlebih yang dapat
diberikan kepada tetangga, atau tetangga bisa tersinggung. Orang Barat juga
sering menentukan pemberian dari makna yang datang dari dirinya sendiri seperti
halnya botol tersumbat gabus tadi.
Tetapi bahwa makna pemberian itu diwarnai oleh
kebudayaan, tampaknya juga tidak selalu begitu. Ada sebuah kejadian di mana
seorang anak Indonesia memberikan hasil karya yang disukainya kepada teman
baiknya orang AS. Ia berpikir seperti orang Amerika, tetapi ia kecewa karena
temannya tidak menghargai pemberian yang menurutnya tak ternilai itu.
Makna sebuah pemberian memang dapat
bermacam-macam dan sukar ditebak. Apa yang dikira oleh si pemberi sudah
berharga ternyata dapat saja disepelekan oleh yang menerima.
Yang dapat disarankan hanyalah si pemberi
harus mempunyai keyakinan yang mantap. Apabila ia yakin telah memberikan “yang
terbaik” menurut ukuran kantong dan penilaiannya, ia tidak usah berpikir yang
tidak-tidak. Tetapi untuk menentukan kriteria “yang terbaik”, seyogyanya ia
mengenal budaya orang yang diberi dan konteks situasi lainnya, seperti: “siapa”
yang hendak diberi, bagaimana relasi antara mereka, tujuan pemberian, dalam
pengertian yang luas.
Sedangkan apabila diri kita adalah si penerima
pemberian, berusahalah memahami makna pemberian itu dengan berwawasan luas
seperti dosen saya itu.