Jawa Pos, Jum’at WAGE 2 Mei 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Peran wanita dalam masyarakat Indonesia telah
mengalami perubahan besar sejak permulaan abad ini. Pada masa hidup R.A
Kartini, hanya sedikit sekali wanita ningrat yang mendapat kesempatan
bersekolah. Kalau pada saat itu Kartini dan saudara-saudaranya Roekmini dan
Kardinah berhasil meraih ijazah guru, hal itu dilakukan dengan belajar sendiri
dari bahan-bahan yang dimintakan oleh Annie Glaser dari sekolah guru di Batavia
dan Surabaya agar mereka dapat mengikuti ujian persamaan.
Pada saat ini, wanita telah bersekolah dengan
hak yang sama dengan pria. Kalau dulunya, Kartini terpaksa tidak diizinkan
sekolah oleh ayahnya, Bupati Jepara yang progresif, karena tekanan
sosial-budaya masyarakat pada zaman itu, pada masa ini tekanan seperti itu
sudah tidak ada lagi. Tetapi betulkah cita-cita dan ramalan Kartini tentang
emansipasi telah terwujud?
Pada saat abad ke-20 hampir berakhir,
isyu-isyu mengenai penempatan guru atau tenaga sarjana wanita sangat sulit
karena kedudukan mereka yang “ikut suami”. Kita juga melihat kemajuan karier
wanita yang sudah bersuami masih amat bergantung pada “kebaikan suami”, karena
suami-suami mereka mempunyai pandangan yang luas dan penuh pengertian. Kita
juga mengetahui adanya banyak sarjana wanita yang tidak mengamalkan ilmunya
untuk masyarakat karena merasa kedudukannya setelah menikah adalah di rumah
dengan suami yang lebih dari sekedar mencukupi finansial keluarga.
Kita juga sadar bahwa kebanyakan wanita karier
menghadapi konflik dalam dilema antara rumah tangga (sebagai isteri, ibu,
tukang masak, sumber cinta kasih yang tak boleh mengering dan kadang-kadang
sepihak sifatnya) dengan karier (yang menuntutnya setia kepada lembaga
tempatnya bekerja atau majikan atau ambisinya sendiri).
Dalam melepaskan diri dari konflik antara
rumah tangga dengan karier ini, wanita di Barat telah memilih jalan yang tegas.
Seandainya karier yang diutamakan, mereka memilih tidak menikah atau kalau
menikah mereka tidak menghendaki anak. Wanita karier Indonesia akhir-akhir ini
beberapa sudah mengikuti jejak seperti itu. Artikel di media massa dan film
juga sudah mulai mengambil tema sejenis. Pertanyaannya: itukah peran yang
dikehendaki dari dan oleh wanita Indonesia?
Peran wanita Indonesia yang dikehendaki tidak
dapat dipisahkan dari arah perubahan masyarakat Indonesia secara menyeluruh;
perubahan nilai-nilai dalam pendidikan, budaya, pekerjaan, keluarga, individu
dan komposisi desa kota serta perekonomian negara yang masing-masing juga
saling berinteraksi dalam pencapaian suatu keputusan akan terlaksananya suatu
kebijakan dan tindakan.
Pendidikan
Kalau kita melihat kenyataan pada masa ini,
jumlah anak usia sekolah yang memasuki SD dan jumlah lulusan SMTA yang tidak
dapat semuanya tertampung di PT tetapi yang tidak tertampung pun tidak mendapat
tempat di lapangan kerja, bahkan juga terungkap belasan ribu sarjana yang
menganggur, maka sistem pendidikan dan kesilauan masyarakat akan gelar yang tercapai
lewat pendidikan harus berubah. Jika sistem SD hingga SMTA tetap berwujud
kegiatan rutin dan pendidikan berhenti dengan diperolehnya gelar, maka dua
puluh lima tahun atau lima puluh tahun lagi, pengangguran dari segala lapisan
pendidikan akan sangat mengerikan. Pada saat ini, kaum pria tidak akan lagi
bersedia berbagai kesempatan dengan kaum wanita. Maka dalam masyarakat
Indonesia yang akan datang peran wanita akan dikembalikan ke dapur dan kalau
mungkin dipingit. Kalau mau bekerja, gaji mereka akan ditawar serendah mungkin,
dua atau tiga dibanding satu dengan kaum pria.
Ada baiknya jika sejak saat ini mitos-mitos
bahwa kekayaan, kesejahteraan dan kedudukan harus dicapai lewat pendidikan
formal dihapus dan kita mulai membuat perencanaan yang tidak melupakan bahwa
kesejahteraan dan keberhasilan adalah usaha dan belajar sepanjang hayat.
Budaya
Dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat
tradisional. Kartini yang cerdas, yang bersemangat baja, yang bercita-cita
tinggi mengalah kepada budaya feodal masa itu. Meskipun dikatakan konservatif,
tetapi hanya satu nilai budaya yang dianut masyarakat.
Pada masa ini, masyarakat Indonesia adalah
masyarrakat pembangunan. Nilai budaya manusia pembangunan adalah mandiri, kerja
keras, kompetisi, sukses, ambisius. Untuk menjadi bangsa Indonesia yang maju,
masyarakat Indonesia ingin mempunyai kepribadian sendiri dan tidak ingin
individualis dan kapitalis seperti Amerika Serikat. Karena itu masyarakat
Indonesia harus pula merupakan masyarakat gotong royong, tenggang rasa, berperasaan.
Akibatnya masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat dengan nilai-nilai yang terpecah. Mereka harus selalu berada di
antara kedua nilai itu: musyawarah, kompromi! Wanita karier yang sekaligus
wanita rumah tangga. Boleh berhasil dalam bidang usaha, tetapi jangan
berlebihan sehingga suami dan anak-anak merasa tidak diperhatikan.
Seandainya beberapa dekade lagi nilai terpecah
ini masih melekat dalam budaya masyarakat kita, padahal sistem-sistem lain
sudah berubah, tidakkah ini berarti kemunduran? Dapatkah kaum wanita Indonesia
pada saat itu masih bertahan?
Pekerjaan
Pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin
adalah suatu sistem yang ditentukan oleh nilai budaya bahwa kaum pria lebih
kuat daripada kaum wanita.
Ini didukung oleh kaum wanita yang memanjakan
diri dengan cuti bulanan dan cuti hamil sehingga ada keengganan untuk menerima
tenaga kerja wanita.
Di masa akan datang, wanita harus lebih
berperan dan tidak hanya bermanja-manja karena pada saat itu persaingan dengan
kaum pria, makin ketat dalam mendapatkan kesempatan kerja.
Dalam bidang pekerjaan ini, kaum wanita memang
menghadapi tantangan yang lebih berat. Kalau seorang wanita menjadi pimpinan ia
betul-betul seperti telur di ujung tanduk. Kalau ia menggunakan kebijakan lemah
lembut maka ia akan mendapat cap “lemah” dan diremehkan (kalau pria, katanya
bijaksana), sedangkan kalau ia menerapkan disiplin ketat ia dikatakan sadis dan
kehilagnan feminimnya (kalau pria, katanya, normal dan tegas).
Keluarga
dan Individu
Kebanyakan keluarga pada masa ini masih berat
sebelah menilai tugas wanita. Angka rapor anak jelek, ibu kurang memperhatikan
anaknya. Anak remaja berandalan, ibu lagi yang salah. Suami menyeleweng, isteri
katanya yang kurang pandai berperan ganda sebagai istri, kekasih dan teman.
Sebagai individu, wanita kita juga masih
senang pada ketergantungan. Belanja ke toko minta diantar suami, meskipun si
suami terpaksa harus “menantang angin” di depan toko atau ngobrol dengan tukang
parkir.
Keluarga Indonesia masa depan harus mempunyai
wajah yang lain. Pada saat masyarakat Indonesia memilih nilai-nilai manusia
pembangunan seutuhnya dan mengejar sukses lewat kompetisi, isteri tidak dapat
lagi bersifat tergantung dalam hal-hal yang dapat dilakukannya sendiri.
Rekreasi dilakukan bersama, tetapi tugas rutin dilaksanakan secara bergantian
atau berbagai tugas.
Komposisi
Desa-Kota
Komposisi desa dan kota di Indonesia masih
jauh dari berimbang. Apalagi desa selalu identik dengan kemiskinan dan
keterbelakangan. Peran wanita yang dibicarakan dari tadi lebih merupakan peran
wanita di kota.
Wanita di desa? Apakah kita hendak membiarkan
desa tetap “sederhana” dan kita selalu takut bahwa desa akan kena “polusi kota”
?
Kalau kita ingin bangsa kita maju, kita harus
juga membangun desa beserta masyarakatnya dan mengubah juga nilai-nilai desa
menjadi nilai kota. Haruskah kita membiarkan wanita desa terbelakang, yang
menyebabkan kawin muda, kawin-cerai, anak banyak, dan banyaknya
hambatan-hambatan bagi kemajuan serta ketimpangan yang makin mencolok antara
desa-kota dan kaya-miskin.
Perekonomian
Sampai saat ini perekonomian tampaknya
merupakan kunci yang utama dan menentukan bagi semua sistem. BBM di pasaran
internasional turun, APBN uturun dan semua sub-sistem di seluruh negara merasa
dikebiri. Perekonomian naik, semua subsistem ikut maju. Apakah peran wanita
dalam hal ini?
Konveksi, kerajinan bambu, kerajinan rotan,
kulit, keramik dan semua yang meminta kehalusan sentuhan wanita dapat merupakan
sumber devisa non-migas yang besar. Tetapi, pembuatan harus diarahkan kepada
mutu yang terjamin dan terkontrol. Sarjana-sarjana wanita yang tidak dapat
bekerja di luar rumah dapat pula menciptakan lapangan kerja yang berangkat dari
dalam rumah, ketimbang menganggur setelah lulus. Usaha dan belajar sepanjang
hayat tidak membatasi diri pada intelektualisme tetapi semua bidang dapat
dipelajari terus dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan jamannya.
Penutup
Wanita Indonesia harus berkembang dengan
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Jika
wanita sebagai ibu, isteri, wanita karier dapat ikut menghapus kesilauan
masyarakat akan gelar kesarjanaan, dan ikut menciptakan lapangan pekerjaan yang
memberikan kesejahteraan, masalah ledakan lulusan SMTA, sempitnya daya tampung
dan besarnya pengangguran dapat teratasi. Sebaliknya, kalau hal ini tak
teratasi, kaum wanita akan menghadapi ancaman baru: dinomorduakan daripada pria
dalam segala kesempatan di masa akan datang.
Wanita juga dapat berperan sebagai fasilitator
dalam mengubah nilai-nilai budatya yang terpecah, karena perannya sebagai ibu,
isteri, dan mungkin juga guru dalam menanamkan nilai baru yang tunggal. Wanita
dapat berperan mengubah mitos bahwa desa harus dibiarkan perawan, bahwa
orang-orang desa tidak bolh konsumeratif dan karenanya dibiarkan “terbelakang”.
Justru kalau desa dapat dimajukan seperti kota, orang-orang desa akan mempunyai
semangat dinamis dan seluruh masyarakat sama-sama mengalami kemajuan. Mengapa
orang-orang kota boleh nonton video sedangkan orang desa tidak? Mengapa kalau
orang-orang kota boleh makan Kentucky Fried Chicken, orang desa tidak?
Wanita juga dapat menentukan arah keluarganya
dengan memilih hidup tidak bergantung, mandiri dan membagi tugas dengan suami
dan anak-anak. Dengan demikian, wanita karier tidak perlu mempunyai nilai
terpecah, seperti halnya sekarang kaum pria juga tidak merasa terganggu
mengejar karier karena merasa ada beban rumah tangga. Dipikul bersama, beban
yang berat akan menjadi ringan.
Dan wanita, sekali lagi dapat berperan yaitu
dengan menciptakan lapangan kerja baru. Ekspor kerajinan tangan akan memberikan
kemakmuran kepada negara kita, seperti halnya pabrik mainan juga bisa membuat
makmur bangsa Jepang.
Wanita dapat berperan banyak dalam masyarakat
Indonesia yang sedang berubah ini. Perannya dapat menentukan selagi
kedudukannya yang masih dominan secara terselubung. Kalau wanita Indonesia
tidak bergerak, di masa akan datang bukan ramalan Kartini tidak tercapai,
tetapi kengerian/keterancaman yang akan dihadapi wanita kita.
[Sumber ilustrasi]