Kesenjangan Sopan Santun Di Kalangan Remaja


Jawa Pos, Rabu PAHING 16 Desember 1987
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Seorang mahasiswa yang sedang Praktek Pengalaman Lapangan (PPL), suatu hari mengeluh, siswa-siswa SMA sekarang kurang memiliki sopan santun. Berjalan di depan guru, seringkali mereka... wess ... lewat tanpa menyapa. Tidak ada senyum atau kata-kata “selamat pagi” maupun “selamat siang” yang merupakan tanda bahwa mereka melihat kehadiran guru mereka. Komentar saya pada waktu itu, cenderung mengatakan bahwa mereka anak-anak puber yang kabur pola sopan santunnya.

Tampaknya, masalah kesenjangan sopan santun ini bukan hanya spesifik anak-anak SMA yang masih remaja. Mereka yang mahasiswa dan sebentar lagi menjadi sarjana atau cendekiawan dalam masyarakat tampaknya, juga tidak banyak berbeda.

Seorang mahasiswa yang calon guru yang saya bimbingan pada waktu PPL, datang kepada saya. Karena masih terikat tugas belajar, saya hanya menyediakan tiga hari seminggu di luar tugas mengajar. Ada seorang mahasiswa telah melewati masa PPL tanpa sekalipun melapor. Kepada pamong, dikatakannya bahwa saya sibuk. Saya hanya manggut-manggut saja. Pada hari lain, mahasiswa lainnya datang ke rumah memberitahu, “Bu, saya besok praktek untuk penilaian”.

Saya cukup kaget. Tidak ada basa-basi, tidak ada nada bertanya. Bukannya menanyakan apakah saya sebagai pembimbingnya sanggup atau bersedia datang, tetapi saya disodori suatu tawaran yang tidak dapat saya tolak. Saya katakan padanya, “Bukankah sudah kita janjikan bahwa saya tiadk bisa datang hari itu?”
Ia tenang saja ketika menjawab, “Saya cuma memberitahukan saja. Terserah ibu mau datang atau tidak.”
Kaget saya belum selesai tampaknya. Masih ada buntutnya. Ia ternyata tidak muncul setelah PPL selesai dan juga tidak menyapa ketika bertemu di kampus.

Saya jadi usil bertanya kepada rekan saya. Apakah saya yang terlalu peka ataukah saya yang sudah ketinggalan zaman. Ternyata, ada kisah lain lagi.

Sekelompok mahasiswa ditugasi bersupervisi ke sekolah-sekolah. Tanpa membawa surat dan tanpa basa-basi, mereka menghadap kepala sekolah dan berkata, “Pak, kami mau studi supervisi dan melihat manajemen sekolah ini.”

Serta-merta kepala sekolah tersebut naik pitam. “Bagaimana saya mengelola sekolah ini bukan urusan saudara-saudara”. Kelanjutannya dapat diduga.

Dengan beberapa contoh itu, kita memang belum dapat membuat generalisasi tentang sopan santun kaum remaja saat ini. Buktinya, mahasiswa yang pertama cukup peka melihat siswa-siswa SMA yang menurut pendapatnya kurang sopan. Tetapi bahwa pola sopan santun mengalami banyak pergeseran, ternyata tidak hanya dikeluhkan di Indonesia atau lebih sempit lagi di Surabaya.

Sebulan yang lalu terbetik berita dari International Herald Tribune bahwa orang Amerika juga mengeluh mengenai sopan santun di sana. Ada seorang pria melihat seorang wanita tua baru saja naik bis dan tidak memperoleh tempat duduk. Ia berdiri untuk memberikan tempatnya kepada wanita tua itu. Bukan main herannya pria itu ketika seorang pria muda mendadak mengambil kesempatan dan menduduki tempat yang disediakannya untuk wanita tua itu.

Seorang sarjana di sana juga mengeluh. Pada suatu hari ia harus pergi berkonferensi dengan dua rekan prianya. Setelah konferensi, ia bermaksud menuju tempat lain sehingga agak banyak pakaian yang dibawanya. Pada waktu tiba di Bandara, dilihatnya kedua rekan prianya hanya membawa dua tas kecil. Tetapi anehnya, mereka juga tidak berbasa-basi mengulurkan jasa untuk membantunya. Dengan santai kedua rekannya berjalan di sampingnya, padahal ia tertatih-tatih payah membawa tas dengan kedua tangannya.
Apakah ini bukan suatu pertanda bahwa pola sopan santun dan nilai-nilai mulai bergeser? Memang, di Amerika kaum liberated women tidak mau dianggap lemah dan sering merasa tersinggung apabila ditolong. Tetapi, antara sesama laki-laki atau wanita saja, bukankah kita biasanya saling mengulurkan jasa?

***

SOPAN SANTUN DARI RUMAH

Kalau seorang remaja menunjukkan tingkah laku yang kurang dapat diterima dalam masyarakat, pertama-tama orang akan bertanya, “Anak siapa itu?”

Mengapa yang pertama-tama ditanyakan adalah orang tuanya? Justru itulah! Sopan santun datangnya dari pendidikan di rumah. Anak yang dibesarkan oleh seekor serigala akan bertingkah laku seperti yang diharapkan dari seekor anak serigala. Kalau anak ini kemudian memasuki dunia manusia, banyak hal yang harus dipelajarinya agar ia dapat diterima sebagaimana layaknya anak manusia.

Yang jadi persoalan justru budaya di setiap rumah tangga belum tentu sama. Ada anak yang tidak dilarang oleh orang tuanya memaki dengan kata-kata yang kotor. Bahkan, ia belajar kata-kata tersebut dari kebiasaan mendengar orang tuanya memakai kata-kata tersebut dan melihat kapan dan dalam situasi apa kata-kata kotor itu digunakan.

Kalau orang tuanya tidak menggunakannya, mestinya ia belajar dari lingkungan dan orang tua tidak pernah memperhatikan bahwa mereka telah memberikan lingkungan yang kurang baik. Mungkin juga orang tua membiarkan ia bermain dengan anak-anak nakal di luar rumah atau menyerahkan pendidikan seluruhnya kepada pembantu yang kurang berpendidikan tanpa memperhatikan dampak negatifnya.

Bukannya kita sepenuhnya percaya kepada teori “tabula rasa” John Locke yang mengatakan bahwa manusia terlahir seperti lapisan lilin yang mulus dan pengalaman mengukirkan goresan-goresan pada lapisan lilin itu. Anak yang lahir telah membawa ciri-ciri yang disebut watak. Ada anak yang terlahir mempunyai watak yang halus, ada yang bertemperamen panas, ada anak yang akal-akalnya selalu licik, dan ada pula yang polos. Tetapi, yang menjadi masalah adalah sejauh mana orang-orang di rumah dapat mengikis atau mengurangi sifat-sifat yang kurang baik dan memantapkan sifat-sifat yang baik. Itulah tugas orang tua dalam membesarkan anak-anaknya agar mereka dapat diterima dalam masyarakat.

Sopan santun pada mulanya memang hasil didikan dari rumah. Anak-anak yang dari rumah sudah dibekali pola-pola itu, di luar rumah akan menggunakannya juga. Pola sopan santun di rumah tercermin dalam pergaulannya di luar rumah.

HASIL PENDIDIKAN

Sehubungan dengan sopan santun, sebetulnya watak tidak banyak perannya : Sopan santun dalam sebuah kultur adalah hasil pendidikan. Cara menyapa, misalnya, berbeda dari satu dengan kultur yang lain. Dalam kebudayaan Barat, sapa menyapa dilakukan secara verbal mengikuti sebuah pola “selamat...”, yaitu selamat pagi, selamat malam, selamat tidur, selamat makan, dll. Dengan kultur lainnya. Kultur Timur lebih menggunakan pola nonverbal seperti senyum, anggukan kepala, membungkukkan badan dan bertanya, “Mau kemana?” yang berbeda dengan pola sapaan di Barat.

Tetapi kalau seseorang kemudian menyimpulkan bahwa orang Timur tidak pernah sapa-menyapa kalau berjumpa atau berpisah, adalah keliru sekali. Datang dari sekolah, seorang anak yang menjumpai ibunya memasak sendiri akan menyapa, “Lapar, Bu...” atau “Masak apa, Bu?” atau “Hmm, sedapnya Bu” sambil melempar tas sekolahnya. Saya sendiri kalau datang lebih dulu di rumah akan disapa anak saya, “Sudah datang, Bu? Bawa oleh-oleh?”

Suatu hari saya bahkan terkejut mendengar seorang mahasiswa menyimpulkan bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat kebiasaan untuk berpamit. Yah, kita memang tidak pernah mengatakan “Selamat tinggal” (Goodbye). Tetapi dengan mengatakan, “Saya pamit dulu,” ungkapan itu sudah merupakan ucapan selamat berpisah. Kalau orang Indonesia disebut biasa pergi tanpa pamit, namanya “bludas-bludus”, dan itu tidak sopan.

PENDIDIKAN DI SEKOLAH

 Ketika saya bersekolah dari SD hingga SMA, saya ingat ada mata pelajaran budi pekerti, selain mata pelajaran agama. Isi mata pelajaran itu adalah pendidikan bagaimana bertingkah laku untuk menjadi manusia yang dapat diterima dalam masyarakatnya. Dalam berbagai pelajaran terdapat juga etiket pergaulan.
Beberapa waktu yang lalu Depdikbud pernah menerbitkan sebuah buku etiket pergaulan. Mungkin karena isinya yang kurang merata, buku itu kemudian menjadi bahan gosip. Ada yang mengatakan deodoran segala masuk buku. Mungkin penulisnya mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan dengan bau badan temannya dan tidak melihat cara yang aman untuk menyampaikan. Ia kemudian memutuskan bahwa hal itu harus diketahui anak remaja pada umumnya. Kita memang sering lupa bahwa setiap buku adalah buku pegangan, sedangkan pengembangan materinya bergantung pada kreativitas kita sendiri.

Sayangnya, buku itu lewat saja dan pelajaran budi pekerti malah tidak diberikan di sekolah. Anak-anak yang dari rumah sudah belajar sopan santun masih lumayan. Yang rugi adalah anak-anak yang dari rumah tidak diberi sangu pola sopan santun. Mereka ini tidak mendapatkannya baik dari rumah maupun sekolah. Tampaknya dari sinilah tercipta kesenjangan pola sopan santun.

SOPAN SANTUN DAN BUDAYA BANGSA

Sopan santun adalah salah satu aspek budaya. Sekalipun nilai-nilai banyak bergeser, kita selalu menginginkan agar bangsa kita tidak melupakan nilai-nilai tradisi yang baik. Alvin Toffler dalam The Third Wave meramalkan betapa manusia sebagai anggota keluarga akan merasakan kesepian total di masa akan datang. Ramalan itu akan menjadi suatu kenyataan jika kita membiarkan saja pergeseran nilai-nilai terjadi terus seperti sekarang.

Saya rasa tidak ada dari kita yang ingin bahwa rasa respek terhadap orang tua dihilangkan. Orang Barat yang dulunya getol mengirim kakek atau nenek ke rumah jompo, sekarang mulai memperdebatkan bahwa tindakan itu kurang manusiawi. Apakah kita harus melewati masa “hilangnya respek terhadap orang tua” sebelum berargumentasi atas nama kemanusiaan?

Bahasa Jawa dianggap feodal karena memberikan tekanan kepada tingkatan wicara antartingkatan sosial dan tingkatan usia. Namun, tidak berarti dengan memakai bahasa Indonesia kita boleh melupakan bagaimana bersikap terhadap orang di sekitar kita.

Pola pendidikan humanisme mengajak guru untuk memanusiakan siswa, menghargai mereka, dan bersedia meminta maaf kepada mereka kalau kesalahan berada di pihak guru. Guru harus memberi teladan sebagai orang yang berpikiran luas. Kita menganggap anak dan siswa sebagai teman yang sederajat. Namun tidak berarti bahwa anak dan siswa boleh tidak memanusiakan orang tua dan guru, boleh menginjak-injak kepala kita, boleh marah dengan kasar, dan jika perlu tidak bertegur-sapa.

Itulah yang tampaknya mulai terjadi di kalangan remaja kita. Tidakkah hal ini memprihatinkan?