KOMPAS, Kamis 7 Oktober 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Seorang ibu yang sarjana muda pendidikan
menyekolahkan anaknya di sebuah SMA Negeri. Siswa kelas tersebut berjumlah 82
dengan tiga atau empat siswa duduk dalam satu bangku. Sementara paling ideal
satu kelas 40 anak. Ketika ditanya mengapa ia tidak memindahkan saja anaknya ke
sekolah lain ia menjawab “sekolah di sini adalah status”. Kepandaian yang
sebenarnya dapat diperoleh di kursus-kursus. Ibu ini tidak berdiri seorang
diri. Banyak orang tua yang kini berpendapat sama. Bahkan guru sekalipun mulai
mempertanyakan apakah seorang anak yang pandai memperoleh kepandaiannya dari
sekolah atau dari les/kursus.
Pendapat seperti ini tidak ada pada dua
dasawarsa yang lalu. Pada saat itu dalam masyarakat masih berlaku asumsi bahwa
pelajaran tambahan untuk mata pelajaran sekolah hanya diperlukan oleh anak-anak
yang kurang pandai atau bodoh. Anak-anak yang merasa dirinya tidak bodoh
mempunyai perasaan harga diri untuk tidak mengambil pelajaran tambahan.
Nilai-nilai dalam masyarakat mulai berubah
sekitar sepuluh tahun terakhir. Pada saat itu mulai ada guru yang “sengaja”
mengajar demi anak yang pandai saja dan karenanya banyak anak yang mengambil
pelajaran tambahan di sore hari. Agar siswa yang les cepat kelihatan
kemajuannya, siswa tersebut mendapat soal ulangan sehari sebelum diujikan di
kelas.
Perbuatan yang tidak terpuji ini cepat
mendapat reaksi dari orang tua siswa, sehingga kepala sekolah mengeluarkan
berbagai peraturan sehubungan dengan pelajaran tambahan tersebut. Pelajaran
tambahan harus diketahui oleh kepala sekolah. Guru tidak dibenarkan memberi
pelajaran tambahan pada siswanya sendiri. Peraturan tersebut dikeluarkan dengan
sanksi-sanksinya. Peraturan kepala sekolah tersebut antara lain mempersulit
pendataan siswa sekolah formal yang mengambil pelajaran tambahan. Banyak siswa
dan guru menutup masalah pelajaran tambahan ini. Siswa-siswa yang ketahuan
teman-temannya mengambil les pada gurunya “diperas” untuk mensuplai soal
ulangan kalau tidak ingin dilaporkan kepada kepala sekolah.
Tidak hanya yang bodoh atau kurang saja yang
mengambil pelajaran tambahan. Tujuan mengikuti pelajaran tambahan ini juga
beralih dari ingin mendapatkan pengetahuan tambahan menjadi ingin mendapatkan
nilai rapor yang bagus.
Pelajaran tambahan kemudian berkembang menjadi
bisnis pendidikan. Kira-kira lima tahun yang lalu mulailah dikenal les privat
atau rombongan kontrakan yang dibayar satu semester atau satu tahun sekaligus.
Bimbingan tes untuk memasuki perguruan tinggi mulai dirintis dan tahun lalu
mulai bermunculan bimbingan tes untuk masuk SMA. Guru-guru favorit bahkan
mengajar dua kelompok pada saat dan ruang yang sama. Jika pada saat tertentu ia
menerangkan kelompok yang satu. Kelompok lainnya diberinya tugas. Demikianlah
ia membagi waktu dan perhatian kepada masing-masing kelompok.
Siswa
kejuruan dan mahasiswa
Data sesungguhnya tentang siswa yang mengikuti
pelajaran tambahan sukar diperoleh. Dari data resmi sebuah SD yang tergolong
bermutu dikatakan ada lima persen siswanya mengambil pelajaran tambahan. Mereka
ini diberi izin oleh kepala sekolah karena dipandang “kurang mampu”. Di SMP
jumlah siswa yang mengambil pelajaran tambahan – menurut data resmi tidak
banyak.
Peminat pelajaran tambahan terbanyak adalah
siswa kelas tiga SMA. Di kota-kota besar siswa kelas tiga SMA yang mengambil
pelajaran tambahan berupa les privat, rombongan maupun bimbingan tes
diperkirakan melebihi 50 persen.
Selain siswa SD, SMP dan SMA masih ada siswa
sekolah kejuruan yang mendatangkan guru untuk membimbingnya mempelajari semua
mata pelajaran sekolah. Juga ada mahasiswa perguruan tinggi yang bertindak
serupa. Hanya mereka bukannya mendatangkan guru melainkan mengikuti les privat
atau kursus. Misalnya ada mahasiswa Akademi Bahasa Asing atau IKIP Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris yang mengikuti kursus bahasa Inggris atau les privat
kepada seorang dosen agar dapat mengikuti pelajaran menyeluruh. Meskipun jumlah
tersebut tidak besar, kenyataan seperti ini cukup menarik perhatian juga. Tidak
cukupkah kuliah di perguruan tinggi sebagai bekal pengetahuannya atau malukah
ia bertanya di depan teman-temannya atau masih adakah dosen yang tidak bersedia
menjawab pertanyaan mahasiswa?
Ancaman
bagi sekolah formal
Hadirnya bisnis pendidikan berupa les privat
dan bimbingan tes secara besar-besaran mulai dirasakan mengancam wibawa sekolah
formal. Seorang kepala sekolah SMP di Surabaya menjadi amat tersinggung ketika
sebuah kursus bimbingan tes meminta agar formulir pendaftarannya disebarluaskan
di antara siswa SMP tersebut. Kepala sekolah tersebut berpendapat bahwa dengan
ikut serta menyebarkan formulir bimbingan tes berarti ia mengakui bahwa mutu
sekolahnya rendah dan tidak cukup untuk ujian saringan masuk SMA.
Merupakan kenyataan bahwa seorang siswa yang
angkanya cukup atau kurang di sekolah formal tiba-tiba meningkat setelah
mengikuti les di luar sekolah atau di bimbingan tes. Siswa dan orang tua siswa
cepat mengambil kesimpulan bahwa pelajaran tambahanlah yang menaikkan angka.
Karenanya tidak sedikit siswa yang memilih belajar untuk ulangan les atau
bimbingan tesnya daripada ulangan sekolah apabila kedua ulangan tersebut
diadakan pada hari yang sama. Apalagi akhir-akhir ini muncul pendapat siswa
bahwa sebodoh apa pun seorang siswa kelas tiga SMA pasti lulus!
Ancaman terhadap wibawa sekolah formal juga
terasa apabila seorang guru harus menerangkan materi yang sudah didapat
sejumlah siswa sebelumnya di les atau bimbingan tes. Siswa-siswa tersebut akan
ramai sendiri dan mengganggu ketertiban kelas karena mereka “jemu” mendengar
ulang materi yang telah dipahaminya. Karenanya, proses belajar-mengajar tidak
terlaksana sebagaimana mestinya. Ini tidak adil bagi siswa-siswa yang telah
mengambil pelajaran tambahan?
Kepercayaan
masyarakat
Keberhasilan siswa-siswa yang mengambil
pelajaran tambahan di luar jam sekolah ternyata memperbesar kepercayaan
masyarakat terhadap bisnis pendidikan ini. Apakah dengan kenyataan ini sekolah
formal dapat dikatakan gagal?
Pelajaran tambahan adalah pelengkap sekolah
formal. Tujuan institusional kedua lembaga pendidikan ini juga berbeda. Sebagai
pendidikan non formal, les privat atau bimbingan tes boleh saja mengajarkan
kognitif atau psikomotorik melulu.
Sekolah formal harus mendidik manusia utuh dan
karenanya di samping pendidikan bidang studi, siswa juga diberi pelajaran
afektif berupa Pancasila (PMP). Agama dan psikomotorik berupa olahraga,
keterampilan dan lain-lain. Karena banyaknya ragam mata pelajaran, jam
pertemuan yang tersedia bagi setiap mata pelajaran mayor juga sedikit. Waktu
untuk membuat soal-soal latihan atau drills kurang sekali.
Bandingkan saja dengan waktu yang tersedia di
les privat atau bimbingan tes. Les privat yang mengajar empat siswa memberikan
empat jam seminggu untuk setiap mata pelajaran. Bimbingan tes yang mempunyai
25-30 siswa menjadwalkan lima hari masing-masing tiga jam seminggu. Dengan
mengandalkan teori sudah diajarkan di sekolah formal, siswa dapat segera diberi
keterangan singkat teori yang langsung diterapkan pada soal-soal latihan.
Drills ini yang membuat siswa mengenal cara
yang cepat/singkat dan mudah dalam memecahkan soal. Seandainya sekolah formal
mempunyai jam pertemuan yang sama banyaknya untuk melatih soal-soal bidang
mayor dan jumlah siswa yang tidak terlalu banyak setiap kelasnya, masyarakat
tidak perlu mempertanyakan kesanggupan sekolah formal untuk mencerdaskan
siswa-siswanya.
Bagaimana
siswa yang tidak mampu?
Bisnis pelajaran tambahan merupakan suatu
hambatan bagi pendidikan formal. Jika lebih dari separuh kelas mengikuti
pelajaran tambahan di luar jam sekolah, kelas menjadi kacau karena sebagian
besar siswa tidak tertarik lagi pada pelajaran dalam kelas. Bagaimana nasib
siswa lainnya yang mungkin tidak mampu membayar pelajaran tambahan bagi setiap
mata pelajaran bidang mayornya? Kelompok siswa ini tidak dapat dikorbankan
begitu saja meskipun kita juga sama-sama tidak dapat melarang atau menghalangi
mereka yang kuat membayar pelajaran tambahan.
Perbaikan harus dilakukan pada jenjang sekolah
formal sendiri. Jam pertemuan sekolah formal diperpanjang agar cukup waktu
untuk menerapkan rumus atau teori dalam latihan, drills atau contoh-contoh
realistis. Namun penyelesaian ini terasa mustahil dilaksanakan karena besarnya
biaya dan kurangnya tempat. Ruang yang sekarang ditempati sekolah siang
terpaksa harus diserahkan kepada sekolah pagi. Ke mana sekolah siang
dipindahkan?
Seandainya sikap mental masyarakat tetap belum
dapat diubah dan masih menganggap SMP dan SMA lebih tinggi dari sekolah
kejuruan, mungkin dapat diciptakan SMP dan SMA yang mempunyai dua jalur. Yang
pertama mempersiapkan siswanya memasuki jenjang pendidikan berikutnya sedangkan
yang lain menyiapkan siswanya ke lapangan kerja. Bukan SMP atau SMA yang
memberi kemungkinan bekerja bagi drop-outs, tetapi memisahkan yang kurang mampu
berpikir untuk trampil dalam bidang yang tersedia dalam keadaan siap pakai.
Masalahnya, mampukah setiap SMP dan SMA
menyediakan bengkel atau laboratorium atau dapur tempat praktek yang mencukupi
jumlah siswa? Maukah perusahaan, bengkel atau pabrik swasta milik negara
menampung mereka berpraktek?
Pendidikan non formal sendiri – lepas dari
sekolah formal – adalah baik dan banyak membantu masyarakat. Namun pendapat
yang mengatakan bahwa sekolah formal adalah status, sedangkan kepandaian dapat
diperoleh dari kursus, tidak dapat dibiarkan berkembang. Sekolah formal harus
kembali berfungsi sesuai dengan tujuan institusionalnya. Jika tidak, bagaimana
nasib mereka yang tidak mampu membayar biaya pelajaran tambahan? ***
*Wuri
Soedjatmiko adalah sarjana pendidikan yang kini mengajar di Unika Widya
Mandala, Surabaya