Jawa Pos, Jumat PON 29 Agustus 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Tim riset Bappenas ke AS untuk meneliti
hambatan-hambatan belajar mahasiswa pascasarjana di sana (Tempo 16 Agustus
1986). Beberapa hambatan yang ditemukan sebagai penyebab utama keterlambatan
para mahasiswa yang sedang bertugas belajar dengan beasiswa adalah :
- Bahasa Inggris. Mereka kurang mampu mencerna kuliah yang diberikan dalam bahasa Inggris sehingga mereka seringkali melemparkan pertanyaan yang tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas.
- Logika. Bila terpaksa berbicara di dalam kelas, mereka mengeluarkan kalimat yang berbunga-bunga hingga maksud yang ingin dikemukakan menjadi kabur. (Hal ini tidak mengherankan karena logika didasari budaya. Logika barat berpola vertikal, sedangkan logika timur sirkular).
- Cara belajar. Mereka seharusnya aktif berpartisipasi dalam kelas dan mandiri dalam menggali informasi di luar perkuliahan tatap muka. (Hal ini juga dilatarbelakangi budaya).
- Komputerisasi. Mereka tidak terbiasa mencari data di perpustakaan karena mereka tidak mampu mengoperasikan komputer perpustakaan.
Dengan adanya hasil riset tersebut, disarankan
oleh Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi UI dan Ketua Kelompok Kerja
Orientasi Lintas Kebudayaan Bappenas, agar para mahasiswa yang tugas belajar
digembleng kemampuan berbahasa Inggrisnya di tanah air dulu, sebelum berangkat
ke AS supaya tidak menghabiskan waktu dan biaya.
Betulkah hanya gemblengan bahasa Inggris yang
dibutuhkan para penerima bea siswa ke AS? Bukankah diakui juga oleh Tim
Bappenas bahwa bahasa Inggris mereka lebih baik daripada bahasa Inggris
mahasiswa Jepang, tetapi yang disebut terakhir mencapai hasil yang lebih cepat
dan lebih baik? Tidakkah kuncinya terletak pada budaya, yaitu mereka yang
berangkat belajar ke AS kurang dipersiapkan untuk berkenalan dengan nilai dan
sikap yang dianut oleh akademisi Amerika.
SINGKAT, PADAT DAN TEPAT
Kalau kita perhatikan diskusi atau tanya jawab
yang terjadi dalam kebudayaan kita, akan kita temukan banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang lebih merupakan “ceramah” ketimbang bertanya. Untuk
merumuskan suatu pertanyaan, penanya memberikan latar belakang yang diutarakan
selama beberapa menit. Akhirnya, pada waktu merumuskan pertanyaan tiba, si
penanya sendiri kehilangan jejak. Salahkah cara bertanya seperti ini?
Dalam kebudayaan timur, hal ini tidaklah
salah. Budaya kita tidak mengenal suatu cara bertanya yang langsung. Untuk
menyatakan ketidaksetujuan, seseorang haruslah berbicara berkelok-kelok untuk
kemudian secara halus dan terselubung mengucapkan pendapatnya. Dalam tindakan,
dapat dicontohkan orang yang bermaksud meminta bantuan meminjam uang. Meskipun
tidak mempunyai uang lagi (karena itu perlu meminjam), ia akan datang membawa
oleh-oleh guna menciptakan suasana yang membuat yang hendak dihutangi tidak
bisa menolak.
Dalam budaya kita juga ada kebiasaan
menggunakan bahasa berbunga-bunga dalam mengemukakan ide, terutama untuk
memberikan kesan bahwa si pembicara mempunyai pengetahuan yang luas. Juga untuk
memberikan kesan bahwa si pembicara adalah seseorang yang pandai mengutarakan
pikirannya melalui bahasa yang tinggi.
Dalam budaya Amerika, hal ini justru
sebaliknya. Mereka selalu menggunakan bahasa yang singkat, padat, tetapi tepat
dan jelas. Lihat saja cara mereka menulis surat yang seringkali hanya terdiri
atas beberapa baris, dan bagaimana kita menulis surat untuk mengemukakan hal
yang sama. Padahal kalau diteliti, kejelasannya, belum tentu surat kita lebih
jelas, atau malah kabur karena terlalu panjang.
PARTISIPASI
AKTIF
Pendidikan di Indonesia tidak
membiasakan/mengajarkan kebudayaan belajar yang aktif. Sebagai anak kecil, kita
malah dimarahi kalau suka bertanya. Orang tua dan juga guru cenderung untuk
menerima saja apa yang diajarkan (diberikan) kepadanya. Asumsi yang ada : orang
tua dan guru adalah sumber informasi satu-satunya yang tidak pernah keliru.
Lalu, tidak pernahkah kita bertanya? Kita
masih sering bertanya, tetapi untuk mengutarakannya kita menjadi berhati-hati,
takut salah. Budaya kita membatasi kita untuk lebih banyak bertanya di dalam
hati dan mencoba mencari sendiri jawabnya, atau puas dengan pertanyaan yang tak
terjawab, yang lewat begitu saja. Suatu contoh yang pernah saya alami ketika
saya melihat seorang kulit putih naik bis kota dengan temannya, bangsa kita.
Melihat orang banyak berkerumun di depan Tunjungan Plaza, si orang kulit putih
itu langsung mengutarakan keheranannya dan menanyakan apa yang ditonton orang
banyak itu. Saya sendiri waktu itu juga bertnya dalam hati, meski saya merasa
pasti, sekalipun ada teman di samping saya, saya tidak akan bertanya
keras-keras (atau saya menganggap hal itu biasa?).
Partisipasi aktif merupakan suatu keharusan
dalam cara belajar di AS. Nilai akhir tidak ditentukan oleh ujian akhir
semester melulu, tetapi sebagian oleh partisipasi lisan mahasiswa di kelas. Di
tingkat pascasarjana, profesor hanya merupakan manajer yang hanya menengahi
presentasi mahasiswa apabila mereka tidak dapat melanjutkan diskusi atau
terbentur pada hambatan yang mendasar.
Perbedaan yang mencolok dalam dua budaya ini
membuat mahasiswa Indonesia dinilai kurang dari prestasi yang seharusnya dapat
mereka capai. Karena itu, sebelum berangkat belajar ke AS para calon penerima
bea siswa tugas belajar harus dikenalkan dan dilatih utuk berpartisipasi aktif.
KOMPETISI
Anak Indonesia dididik untuk tidak menonjolkan
diri, dan selalu memikirkan pendapat orang lain untuk menjaga hubungan yang
harmonis antar sesama teman. Budaya ini berkembang terus sehingga mahasiswa Indonesia
yang tidak malu-malu menunjukkan bahwa dirinya tahu segala, tidak diterima oleh
masyarakat sekelilingnya. Karena itu mahasiswa Indonesia tidak terbiasa bekerja
keras dan bersaing. Kalau pandai sekalipun ia akan berkata bahwa ia
hanyalahkebetulan bisa. Mahasiswa yang pandai juga dituntut untuk membimbing
yang kurang pandai, sedangkan yang lamban bisa mengharapkan bahwa mereka pasti
dibantu.
Anak Amerika sejak lahir sudah dididik untuk
menjadi orang nomor satu. (Anak Jepang demikian juga!). apabila di sekolah
mereka mengetahui bahwa sistem kurva normal dan nilainya bergantung pada nilai
teman-teman di seluruh kelas, ia bisa-bisa tidak bersedia meminjamkan
catatannya sekalipun. Dan semua itu diucapkannya dengan terus terang.
Pendidikan di AS juga menuntut kejujuran yang
tinggi. Menyontek atau segala bentuk perbuatan yang tidak jujur dalam dunia
akademis, sama sekali tidak ditoleransi. Ketahuan menyontek dapat berarti tidak
lulus dan ketahuan plagiat dapat berarti diasingkan dari dunia akademis untuk selama-lamanya.
Nilai-nilai dalam pendidikan di AS ini, jika
tidak dikenal dapat menilbulkan salah paham. Di AS mereka tidak dapat
mengharapkan bantuan siapa pun.
BELAJAR
MANDIRI
Dari lahir anak Amerika dibiasakan untuk
mandiri. Begitu pulang dari RS, mereka mendapat kamar sendiri. Dalam
pertumbuhan ,mereka dibiasakan untuk melakukan segala sesuatu sendiri.
Pada waktu menjadi mahasiswa mereka dituntut
untuk belajar mendapatkan ilmu sehingga mereka harus tahu akan segala sesuatu
yang ada dalam tugas-tugas baca, sekalipun materinya belum didiskusikan di
dalam kelas. Karena itu, mahasiswa Amerika terbiasa mengunjungi perpustakaan
(dan perpustakaan mereka memang lengkap).
Mahasiswa Indonesia belum terbiasa mandiri.
Mereka dari kecil biasa bergantung pada guru yang tidak memberikan alternatif
dalam memberikan jawaban. Guru adalah yang paling betul. Kalau ada siswa yang
mempertanyakan jawaban gurunya, si guru bisa marah atau merasa diserang.
Mahasiswa Indonesia bukan hanya tidak terbiasa
dengan komputerisasi di perpustakaan. Mereka memang tidak terbiasa mengunjungi
perpustakaan, karena kurangnya dfosen yang memberikan tugas yang membutuhkan
pencarian informasi dari perpustakaan, selain perpustakaan kita memang jauh
dari lengkap.
Semua itu, ditambah dengan kemajuan teknologi
dan komputerisasi, hanyalah membuat mahasiswa Indonesia yang belajar di AS
mengalami gegar budaya.
LAMA
TIDAK BELAJAR
Sebetulnya, faktor yang paling berat yang
berpengaruh terhadap hambatan belajar mahasiswa tugas belajar ke AS ini adalah
karena mereka sudah lama meninggalkan bangku kuliah dan karena kesibukan tugas
sehari-hari, tidak mempunyai kesempatan memperkaya diri dengan membaca jurnal
atau buku-buku ilmiah. Hal ini menyebabkan kecepatan membaca (apalagi dalam
bahasa Inggris) rendah. Padahal, membaca cepat suatu tuntutan bagi mahasiswa
pasca sarjana, terutama yang studi di AS.
Bahasa Inggris amat diperlukan untuk memahami
dan lebih-lebih berpartisipasi aktif dalam berkuliah. Bagaimana pula, seorang
mahasiswa yang berkuliah di AS dapat membuat tugas-tugas tertulis dalam bahasa
Inggris seandainya bahasa Inggris mereka kurang memadai?
Namun, kalau mau dikatakan penggemblengan
bahasa Inggris saja, juga tidak uckup. Cara belajar di AS tidak memberi
kesempatan bagi mereka yang tidak bisa belajar mandiri. Cara bertanya atau
menjawab baik lisan maupun tertulis menggunakan pola yang singkat, padat, jelas
dan tepat. Belajar di AS berarti siap berkompetisi.
Mempersiapkan calon mahasiswa agar tidak
mengalami kejutan budaya dalam menghadapi cara belajar atau nilai-nilai
akademis yang sama sekali bertolak belakang ini, tidak kalah pentingnya
daripada mempersiapkan kemampuan bahasa Inggris mereka. USIS dan PPIA dengan
biro informasi mengenai belajar di AS, serta kaset video yang mereka punyai,
akan sangat membantu bagi persiapan ini.