Liberty 1498, 22 Mei 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko, Unika Widya Mandala
Banyak kasus dapat dikaji dari penulisan
makalah di perguruan tinggi, terutama makalah yang menjadi prasyarat ujian.
Tidak sedikit mahasiswa yang beranggapan bahwa penulisan makalah ini merupakan
penghambat yang hanya mempersulit mereka saja. Memang menulis makalah bukanlah
hal yang mudah! Sebaliknya, tidak sedikit dosen yang menjadi jenuh karena harus
membimbing penulisan makalah ini. Masalahnya banyak: penuangan dan organisasi
ide atau konsep yang kacau disertai bahasa yang juga tidak kalah
membingungkannya. Tidak jarang dosen harus bertanya-tanya apa yang dimaksud si
penulis. Malah dapat dikatakan beberapa makalah sebenarnya sebagian besar
adalah karya si dosen pembimbing.
Kemampuan
Menulis dan Bakat Menulis
Hingga kini masih banyak orang mengatakan
bahwa kemampuan menulis itu adalah bakat alam. Apabila seseorang sering menulis
dikatakan bahwa ia berbakat menulis.
Tidak dapat disangkal bahwa memang ada
orang-orang tertentu yang dapat menulis dengan mudah dan tanpa belajar dari
siapapun. Penulis-penulis ini adalah penulis alam.
Dalam menulis mereka tidak pernah menggunakan outline (kerangka karangan). Apa yang
ada di benak mereka dituangkan begitu saja ke atas kertas: mungkin sekali jadi
malah: kadang juga harus menghabiskan berlembar-lembar kertas. Tapi penulis
jenis ini tidak pernah merencanakan apa yang hendak ditulisnya.
Penulis yang lain boleh disebut penulis
sekolahan. Sebelum menulis ia harus merencanakannya dengan membuat kerangka
karangan, memikirkan masak-masak pengembangan ide, paragraf, bagaimana memulai
dan mengakhiri tulisannya, dan banyak lagi.
Kemenangan penulis alam adalah bahasanya yang
lincah dan hidup. Karena dituangkan begitu saja dari otak seringkali karyanya
kurang terorganisasikan dibandingkan dengan karya penulis sekolahan.
Apa pun kelebihan dan kekurangan masing-masing
ini hanya membuktikan bahwa kemampuan menulis tidak hanya ditentukan oleh bakat
alam. Kebiasaan dan pengetahuan dapat membuat siapa saja menjadi penulis yang
baik.
Kebiasaan
Menulis Sejak dari Tingkat Satu
Kesulitan menulis makalah ini dapat diatasi
apabila mahasiswa sudah dibiasakan membuat laporan, makalah kecil, singkatan
dsb sejak mereka duduk di tingkat satu perguruan tinggi. Tentu saja dengan
syarat bahwa kepada mereka --juga dari tingkat satu—diajarkan dasar-dasar atau
teori penulisan ilmiah: membuat outline, mengembangkan paragraf, format
karangan, menyitir dari sumber, catatan kaki, punktuasi, dll.
Menganalisa dan menuangkan konsep juga harus
diajarkan sejak tingkat satu. Misalnya dalam kerja kelompok dapat diajarkan
cara-cara berdiskusi, yaitu bahwa diskusi bukanlah debat kusir. Dalam
berdiskusi mahasiswa diajar berpikir sebagai ilmuwan yaitu bahwa masing-masing
boleh mempertahankan konsepnya asal argumentasinya masuk akal. Jadi
masing-masing saling menghargai pemikiran lawan dan melandasi pemikirannya
sendiri dengan data dan argumentasi. Seminar oleh mahasiswa bukanlah mustahil.
Di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, seminar oleh mahasiswa menjadi tradisi
setiap Hari Ilmiah yang diadakan
setahun sekali. Tentu saja kita tidak boleh menilai kemampuan dan mutu seminar
mahasiswa seperti menilai seminar para ahli bidang studi. Kita menilai mereka
sesuai dengan tingkat pendidikan yang mereka tempuh.
Konsep
dan Bahasa yang Ambigu
Mungkin yang paling sering dikeluhkan oleh
para dosen pembimbing penulisan makalah adalah konsep yang kabur yaitu mengutip
sana-sini, membuat pernyataan yang meloncat-loncat disertai bahasa yang sukar
dimengerti. Entah strukturnya yang tidak jelas atau pemakaian kata-kata yang
muluk-muluk yang tidak dimengerti si penulis artinya.
Hal yang nampak lucu dan seolah mustahil
dilakukan oleh calon sarjana muda atau sarjana ini nampaknya sering juga
terjadi. Hal ini sama sekali bukan karena mereka bodoh. Mereka hanya tidak
terbiasa untuk menganalisa dan membuat gagasan yang utuh. Tiba-tiba mereka
harus menulis sesuatu yang besar dan dosen menilai mereka menurut tingkat
mereka di perguruan tinggi. Padahal kemampuan mereka untuk menulis mungkin
masih di bawah siswa-siswa SMA yang biasa menulis makalah. Beberapa SMA
sekarang sudah mulai menyuruh siswanya membuat laporan atau makalah kecil sejak
tingkat satu atau dua.
Yang lebih mengherankan adalah kenyataan bahwa
juga sarjana-sarjana dan dosen sekali pun ada yang tidak dapat menuangkan
konsepnya dengan bahasa yang betul. Misalnya dalam membuat soal ia membuat
pernyataan yang panjang sekali tetapi belum lengkap untuk dikatakan sebuah
kalimat. Tidakkah hal seperti ini akan menyulitkan mahasiswanya untuk mengerti
inti persoalannya? Sahihkah soal tadi?
Banyak
Membaca Menunjang Kemampuan Menulis.
Banyak membaca adalah sesuatu yang dituntut
pendidikan perguruan tinggi. Tetapi yang diajarkan pada umumnya hanyalah
Membaca Intensif. Membaca Ekstensif banyak diabaikan. Apabila diberikan, nilai
kreditnya sangat kecil hingga sering diabaikan mahasiswa. Padahal apa gunanya
perguruan tinggi mempunyai perpustakaan yang baik apabila mahasiswa tidak
memanfaatkannya?
Dan frekuensi mahasiswa mempergunakan
perpustakaan juga sangat tergantung pada tugas-tugas membaca yang diberikan
dosen kepadanya. Begitulah kegemaran membaca mulai terbentuk. Setelah terbiasa,
mahasiswa akan mengunjungi perpustakaan tanpa disuruh lagi.
Apabila mahasiswa sudah membiasakan diri
membaca banyak, ia akan terbiasa juga berpikir terorganisasi. Bahasa yang
digunakannya dalam menulis pun sedikit banyak akan menjadi baik karena
seringnya melihat pola-pola kalimat baku dan ilmiah di bidangnya masing-masing.
Kata-kata yang digunakannya juga bukan kata-kata muluk yang tidak dimengertinya
tetapi ia akan terbiasa menggunakan kata-kata yang betul dalam konteks yang
tepat.
Tidak
Adanya Waktu Untuk Memeriksa Karangan.
Salah satu alasan mengapa sekarang mengarang jarang
dilaksanakan sejak dari SD sekalipun adalah faktor memeriksa yang membutuhkan
banyak waktu. Guru dan dosen saat ini tidak mempunyai banyak waktu terluang
untuk memeriksa pekerjaan esai. Selain jam mengajar yang sarat, guru juga
berhak atas kehidupan pribadinya. Lalu bagaimana mengatasi hal ini?
Ketika masa jayanya organisasi mahasiswa
ekstra kurikular ada suatu tradisi, yaitu mahasiswa tingkat lebih tinggi yang
kebetulan pandai membantu mengajar mahasiswa tingkat lebih rendah. Kebiasaan
seperti ini nampaknya kurang digemari saat ini. Paling tidak di IKIP tidak saya
rasakan kebiasaan seperti ini. Masyarakat dan juga mahasiswa menjadi makin
individualis. Masing-masing memikirkan nasib sendiri.
Tentu saja kita tidak dapat terlalu
mengharapkan bantuan mahasiswa lain yang pandai dengan cuma-cuma.
Dalam masalah memeriksa karangan mahasiswa,
mungkin ada mahasiswa yang pandai-pandai yang dapat diminta untuk membantu.
Tetapi pekerjaan seperti ini janganlah dibebankan kepada mereka begitu saja.
Misalnya, mereka yang membantu koreksi karangan akan mendapat nilai kredit
tertentu (sejumlah kredit tambahan) yang dapat memberikan kualifikasi tertentu
pada bidang akademisnya. Kemungkinan lain adalah mengangkat asisten atau
memberikan uang vakasi yang memadai.
Apa pun usaha yang hendak ditempuh untuk
mengatasi kesulitan mengoreksi karangan atau pekerjaan esai, kebiasaan menulis
mahasiswa tidaklah boleh diabaikan begitu saja.
Semangat ilmiah harus ditegakkan di dalam
kampus. Janganlah sampai terulang adanya mahasiswa yang” mencontoh” makalah
orang lain karena tidak mampu membuatnya sendiri atau mengupah mahasiswa pandai
atau sarjana nganggur membuatkan makalahnya. Hal-hal seperti ini seyogyanya
cepat-cepat kita hindarkan. Bukan dengan memberantas saja. Apa pun usaha yang hendak
dilakukan, hendaklah tidak berupa tindakan. Mental yang harus diubah dan ini
hanya mungkin apabila kemampuan dirasakan memang ada.
Mei 1982.