Membenahi Mutu Bacaan: Tanggung Jawab Siapa?



Jawa Pos, Senin WAGE, 3 Januari 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Buku, majalah, atau surat kabar dan bacaan pada umumnya dapat dianggap sebagai senjata yang paling ampuh untuk membentuk manusia menjadi baik atau buruk. Pembangunan mental suatu bangsa dirintis lewat bacaan ini. Opini masyarakat, ilmu pengetahuan, berita, hiburan bahkan gosip sebagian besar diperoleh lewat bacaan ini. Karena itulah kita dapat memahami kekecewaan Sekjen Departemen P dan K, Soetanto Wijoprasonto, betapa penerbit masih menyesuaikan mutu buku dengan selera masyarakat yang masih rendah. (Jawa Pos, 30 Desember 1982).

Namun, siapakah yang sebetulnya bertanggung jawab terhadap pembenahan mutu buku tersebut? Dapatkah rangsangan hadiah-hadiah bagi buku terbaik yang diadakan setahun sekali diandalkan untuk membenahi mutu buku bacaan populer maupun ilmu pengetahuan siswa-siswa kita?

****

Penerbit dan pengarang buku menyediakan bacaan disesuaikan dengan kebutuhan mereka agar bukunya terbaca.

Alasan tersebut sangat logis karena penerbit mana yang mau usaha dengan merugi dan pengarang mana yang mau menulis dengan pengetahuan tidak akan dibaca hasil karyanya? Penerbit dan pengarang mengadakan bahan bacaan haruslah dengan mempelajari kebutuhan pembacanya. Redaksi, surat kabar, misalnya, tidak akan menggunakan penyajian berita ulasan atau berita hasil penyelidikan (investigative news) apabila diketahuinya bahwa pembacanya tidak tergolong pada mereka yang siap memahami tulisannya.
Jika ia salah mendeteksi kebutuhan dan jangkauan kemampuan membaca pelanggannya, surat kabarnya tidak akan terbaca sekalipun ia mengetahui bahwa berita ulasan dan hasil penyelidikan sangat bermutu. Karena itulah terdapat berbagai jenis surat kabar dengan berbagai “mutu” menurut standar pengamat ahli.

****

Penerbit yang baik malah seharusnya memahami masyarakat pembacanya: tradisionalkah, bagaimana kebudayaan dan sosial mereka. Jika fakta yang disajikan, haruskah fakta tersebut dilemparkan sebagaimana adanya, atau ditutup mana yang kiranya dapat memperuncing SARA, ataukah dengan berita tersebut ia justru hendak membentuk opini masyarakat atau menimbulkan kontemplasi di benak pembacanya? Jika fiksi yang disajikan, penerbit harus memilih bobot cerita. Ia harus tahu betul apakah pembacanya membutuhkan kisah-kisah hiburan (membaca demi kesenangan) atau kisah sastra yang sulit, sastra yang mudah dan sebagainya.

Bacaan yang bersifat menghibur tidak dapat diukur dengan standar ahli sebagai picisan, karena tanpa cerita-cerita ringan tersebut banyak orang yang mengalami kegelisahan dan kekosongan-meminjam istilah Dr. Budi Darma dalam Basis Des. 1982- tidak tahu bagaimana menghilangkan kegelisahan dan kekosongan tersebut. Pembaca golongan ini apabila tidak mendapatkan hiburannya akan mengalami tekanan jiwa karena pola masyarakat kita bergeser ke arah individualisme dan makin kurang pula orang-orang lain yang mau mendengarkan keluhan-keluhannya. Atau dalam waktu dekat kita bakal membutuhkan psikolog dan psikiater dalam jumlah ribuan untuk mengatasi problematik tersebut. Mengapa kita harus merampas “barang mainan” orang dewasa ini?

****

Tetapi bukankah seperti dikatakan di atas, buku adalah senjata ampuh suatu bangsa untuk pembangunan mental penduduknya? Tidak salahkah para penerbit apabila terus menerus memanjakan pembacanya?
Selera pembaca memang harus dibina dan pembinaan ini merupakan tanggung jawab banyak pihak. Pertama-tama selera membaca dapat dibangun dari rumah ketika anak masih kecil dan belum bersekolah.
Orang tua yang pandai memilihkan buku anaknya serta merta juga membentuk selera baca anaknya. Buku-buku bergambar tanpa tulisan pun sudah merupakan makanan mental yang menentukan. Dari situ anak bersekolah. Di sekolah guru memberikan sumbangannya. Guru dapat mengajak anak mengunjungi perpustakaan dan membuat laporan yang paling sederhana sekalipun: laporan terhadap bacaan yang dilakukan siswa di perpustakaan. Mungkin kalimatnya belum lengkap atau alur ceritanya masih kacau, tetapi siswa kecil ini sudah belajar bahwa membaca bukanlah sekedar membaca tetapi ada sari yang harus didapatnya.

Kepala sekolah juga pustakawan bertanggung jawab terhadap pengadaan buku yang membangun selera. Pemilihan yang menunjang untuk mendapatkan informasi mengajak siswa untuk membaca buku-buku ilmiah populerdi samping fiksi.

Juga kesediaan Kepala Sekolah dan Pustakawan untuk membuka perpustakaan juga di luar jam sekolah sangat menentukan.

Perpustakaan yang dibuka hanya antara jam 08.00 hingga 12.00 praktis tidak berfungsi.
Sistem open-shelf yang membolehkan siswa mengambil sendiri buku yang dibutuhkannya memang merepotkan tetapi jelas lebih menarik daripada closed-shelf yang sering mengecewakan karena buku yang hendak dipinjam ternyata tidak memenuhi selera baca siswa. Ketakutan akan buku yang cepat rusak atau hilang haruslah dikikis. Siswa harus dididik memeliharra buku yang menjadi milik bersama dan kesadaran akan milik bersama inilah yang lebih harus ditanamkan.

Dan pemegang peran utama tentu saja adalah pemerintah.

Kebijakan terhadap pengadaan bahan bacaan berada di tangan pemerintah, tentu saja dengan segala bantuan keuangan yang dapat, diberikannya kepada penerbit. Demikian juga perencanaan sumbangan buku kepada sekolah juga berada di tangan pemerintah. Tanpa bantuan pemerintah badan penerbit swasta tidak akan mencukupi biayauntuk menutup kebutuhan bacaan yang ideal.

****

Membenahi  mutu buku sangat erat hubungannya dengan membenahi selera masyarakat pembacanya. Dan membenahi selera baca masyarakat membutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang tekun. Suatu perencanaan jangka panjang harus dibuat untuk peningkatan tersebut. Dan di atas segalanya para orang tua, guru, dan para cendekiawanlah yang harus memulai memberikan contoh menggiatkan kegemaran membaca dan selektif dalam membaca untuk kemudian menentukan mutu bacaan.

Penulis adalah
Staf pengajar Unika Widya Mandala Surabaya yang pernah juga bekerja sebagai wartawan Jawa Pos