Sinar Harapan, Jum’at 5 November 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Sebuah tes hasil belajar (THB) yang dilakukan
di Sekolah Dasar Katolik di Yogyakarta untuk bidang studi bahasa Indonesia
tahun lalu terdapat kesalahan dalam (cetakan?) kunci atau jawaban yang
diberikan kepada guru. Hendak dikatakan kecil, kesalahan tersebut cukup
menimbulkan kebingungan di antara para siswa. Persoalannya menyangkut perintah
untuk memisahkan sebuah kata yang mengandung diftong menjadi suku-sukunya.
Misalnya menghalau. Siswa yang menjawab meng-ha-lau
disalahkan karena kunci yang diberikan pada guru mengatakan bahwa jawaban yang
benar adalah meng-ha-la-u. Berpegang
teguh pada kunci dan percaya penuh bahwa pembuat soal adalah kelompok guru
ahli, guru bahasa Indonesia tersebut mencoba merasionalisasikannya dengan
mengatakan bahwa itulah kecenderungan pengajaran bahasa Indonesia yang terbaru
di bidang fonologi.
Seorang siswa SMA kelas satu, yang baru
pertama kali mendapat pelajaran Kimia, jengkel karena jawabannya tidak cocok
dengan teman-temannya. Ia bertanya kepada ibunya. Melalui berbagai kesulitan
akhirnya ibunya berhasil menyelesaikan soal tersebut. Tapi apa jawab siswa
tersebut? “Baiklah jawaban ibu betul, tapi tunjukkan mengapa saya tidak dapat
menjawab seperti itu”. Ternyata siswa tersebut lebih mengkonsentrasikan
pikirannya pada angka terakhir daripada cara atau langkah-langkah pengembangan
rumus mau pun kesalahan dalam hitungan yang dibuatnya.
Sejumlah mahasiswa Akademi Bahasa Asing di
Surabaya belajar grammar menggunakan buku Living
English Structure karangan W. Stannard Allen. Buku terbitan tahun 1947 ini
dilengkapi dengan kunci jawaban kalimat demi kalimat. Aktivitas mahasiswa
kemudian beralih dari latihan soal ke ketrampilan membolak-balik buku. Usaha untuk
mempersiapkan di rumah dikalahkan oleh kemudahan yang diberikan oleh buku
kunci. Setelah tes akhir semester, terlihat hasil-hasil yang tidak diinginkan.
Proses
Belajar Mengajar
Ketiga contoh tersebut mempunyai persamaan,
yaitu bahwa buku kunci yang dulunya dimaksudkan untuk dijadikan alat bantu
belajar (mencocokkan) telah berganti fungsi menjadi alat memperbudak manusia.
Bukan hanya siswa, tapi guru dan juga orangtua siswa banyak yang merelakan
dirinya dijadikan permainan buku kunci.
Buku kunci sudah ada sejak dulu dan tidak
menjadi masalah. Buku hitungan karangan Bouwman: Sendi Hitungan dan banyak buku
Aljabar, Goneometri dilengkapi dengan kunci. Juga kumpulan soal-soal ujian
akhir yang dilengkapi dengan penyelesaian, sudah ada akhir tahun 50-an. Buku Living English Structure pun dulu
bukan masalah bagi guru yang memakainya.
Kini secara tiba-tiba ia menjadi masalah,
setelah Menteri P dan K, Daoed Joesoef membawanya ke permukaan. Masalah barukah
buku kunci ini? Atau masalah laten yang kelihatan diam dan tenang tapi mendadak
meledak?
Kira-kira lima atau enam tahun yang lalu
gerutu mulai terdengar pelahan ketika guru-guru SD banyak yang mengajar di
kelas menggunakan buku-buku Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA). Buku jenis ini
memang mencakup materi secara luas karena berbentuk tanya-jawab: pilihan
benar-salah: mencocokkan / memadankan: pilihan berganda. Namun sejak saat itu
siswa secara bertahap berubah menjadi “mesin penjawab”. Misalnya : Karet di....
Siswa dengan lancar menjawab: disadap. Tapi ia tidak mengetahui bagaimana cara
atau proses menyadap karet karena gurunya tidak pernah menerangkan dan ia pun
tidak diharapkan akan ditanya begitu. Ia juga tidak tertarik untuk
mengetahuinya. Bagi siswa tersebut asal ia sudah belajar soal 25-60, misalnya,
cukuplah kalau sudah hafal.
Tidak adakah buku pegangan yang berbentuk
esai? Ada, memang, tapi tidak pernah sempat tersentuh. Siswa tidak dibiasakan
membuat inti-sari (singkatan) bacaan tentang bidang studi apa pun. Sejak saat
itu pula buku kunci berperan menjajah siswa-siswa dan juga guru serta orangtua
siswa. Apabila siswa tidak dapat menjawab soal yang dicari bukan buku teori
melainkan buku kunci. Bahkan buku pedoman guru untuk Matematik terbitan
Departemen P dan K yang seharusnya jatuh di tangan guru-guru secara gratis
dapat dibeli di pasar buku loak.
Pengajaran
Dengan Modul
Bukankah pengajaran modul sama dengan
pengajaran yang menggunakan buku kunci karena ia juga memakai lembaran kerja yang berisi soal-soal
sejenis EBTA? Tidakkah siswa juga diperbolehkan menggunakan kunci lembaran kerja?
Hingga saat ini memang ada bedanya. Sebelum
lembaran kerja dibagikan siswa mendapat lembaran kegiatan yang berisi informasi
tentang pelajaran yang akan didalaminya. Kunci lembaran kerja baru diberikan
setelah siswa selesai mengerjakan lembaran kerja yang berisi soal-soal tersebut
untuk dicocokkan, dan direvisi mana yang salah. Jadi kunci masih berfungsi
seperti seharusnya. Lagipula pengajaran modul masih merupakan keistimewaan
PPSP. Jumlahnya yang hanya delapan dan guru-guru yang ditatar sebelum mengajar
di sana memungkinkan prinsip-prinsip modul terjamin kelancarannya. Pengajaran
modul bagaimanapun tidak sama dengan proses belajar-mengajar menggunakan buku
kunci.
Kompetensi
Dan Ketergantungan
Sebab utama dari ketergantungan siswa dan
sejumlah guru terhadap buku kunci adalah menurunnya kompetensi mereka dalam
bidang studinya. Akibatnya mereka kehilangan kepercayaan pada diri sendiri.
Sebagai contoh, apabila ada sebuah soal yang mempunyai dua alternatif jawaban
yang keduanya sama betulnya, kebanyakan siswa dan sejumlah guru menjadi
bingung. Ke mana harus berpegang kalau dasar-dasar pengetahuan untuk memecahkan
soal kurang kuat? Paling-paling yang tidak cocok dengan kunci mestinya yang
salah. Lalu bagaimana kalau kunci yang salah cetak atau pembuat kunci adalah
orang yang kurang berwenang hingga jawabannya menyimpang?
Turun
Tangan
Memang masalah buku kunci tidak sederhana.
Melarang penerbitan buku kunci dengan memperhatikan kompetensi dan
ketergantungan siswa serta sejumlah guru, pada saat ini juga kurang bijaksana.
Menganjurkan agar buku kunci hanya menjadi pegangan guru juga kurang tepat.
Begitu banyak guru yang mengajar tidak jelas (karena dasarnya sendiri mungkin
yang kurang kuat). Paling tidak buku kunci yang baik akan membantu siswa
apabila digunakan dengan betul. Dr. Daoed Joesoef memang telah mengatakan tidak
akan membeli atau merestui penerbitan buku kunci. Namun, tidak dapatkah –
sementara kompetensi dan sikap mental siswa dibenahi – beberapa buku kunci yang
setelah diperiksa dan diketahui cukup memadai sebagai pegangan diberi lampu
hijau agar siswa mau pun guru dapat mempunyai sekedar sandaran untuk sementara
waktu?