Makna Hari Ibu Bagi Kita Semua



Surabaya Post, Rabu 22 Desember 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Setiap tanggal 22 Desember kita merayakan Hari Ibu. Namun hampir tidak ada ibu-ibu yang merasa dimanjakan pada kesempatan tersebut. Pekerjaan rutin berjalan seperti biasa. Mereka tetap harus memasak, membersihkan rumah atau apa saja yang biasa mereka lakukan sehari-hari tanpa ada “libur sehari” dengan semua pekerjaan diambil alih oleh suami atau anak-anak. Beberapa suami yang romantis mungkin memberi kado atau ada anak-anak yang teringat mencium ibunya. Namun, jumlah mereka tidak banyak. Mengapa demikian?

Pada hakikatnya Hari Ibu yang kita rayakan pada tanggal 22 Desember memang bukan ditujukan untuk menghormati IBU dalam pengertian wanita bersuami yang punya anak. Ibu dalam bahasa Indonesia dapat berarti setiap wanita dewasa yang dihormati atau mempunyai kedudukan terhormat. Misalnya Ibu Guru, Ibu Kepala, Ibu (=Nyonya) Akhmad; Ibu-Anda; Ibu-ibu (=hadirin wanita), dan lain-lain. Tanggal tersebut diambil dari tanggal dibukanya Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama yaitu tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Ditetapkannya 22 Desember sebagai HARI IBU adlaah pada KPI ke-3 di Bandung, Juli 1938 yang tema sentralnya justru adalah tuntutan agar kaum wanita diberi hak pilih aktif. Sebelumnya kaum wanita oleh pemerintah (Hindia Belanda) diberi hak pilih pasif. (Ensiklopedi Umum, 1973,p.583). melihat asal-usul penetapan Hari Ibu tersebut, memang lebih tepatlah kalau hari tersebut dinamakan Hari Wanita Indonesia.

Kini setelah Hari Ibu diperingati sebanyak 44 kali, sebuah problematik timbul meminta pemikiran dan pemecahan: “sejauh mana wanita Indonesia dapat dikatakan lebih maju daripada kaumnya 44 tahun sebelumnya?

****

Kaum wanita di negara-negara maju mungkin merasa iri terhadap emansipasi wanita Indonesia yang berjalan dengan lancar tanpa demonstrasi ataupun pergulatan kampanye. Bidang apapun dimasuki kaum wanita tanpa pertentangan dari rekannya kaum pria yang merasa terancam kedudukannya. Sopir bus di Jakarta sudah ada yang wanita. Teknik sekarang juga bukan monopoli golongan pria. Sarjana-sarjana dan doktor, sekalipun tidak sebanyak rekan pria, diterima bekerja sama dan mendapatkan penghargaan yang setimpal dengan kemampuan kerjanya. Di beberapa negara bagian di AS beberapa profesor wanita kalau sudah mencapai tingkatan tertentu “dipersilakan” meninggalkan kedudukannya atau dipersulit hingga keluar.

Karyawan wanita dengan kemampuan sama di bidang administrasi, misalnya, mendapat gaji lebih rendah dari rekanprianya yang mempunyai masa kerja dan ijazah-ijazah serta prestasi kerja sama.

Tetapi bagaimana kedudukan wanita di dalam keluarga?

Hingga saat ini karier seorang wanita yang telah menikah masih sangat bergantung pada “kebaikan” suaminya. Seperti dikatakan Dr. Sutari Imam Bernadib (Sarinah No.7): “Seorang ibu sebaiknya bekerja karena ia dapat mempunyai uang hasil keringat sendiri. Namun apabila ibu tadi bekerja di luar rumah sebaiknya ia meminta ijin suaminya.” Memang lucu kedengarannya, namun banyak juga kejadian seorang wanita terpaksa harus berhenti bekerja ketika suaminya marah-marah dan menarik ijin kerja si istri. Ada pula suami-suami yang tidak mengijinkan istrinya meneruskan karirnya hanya karena ia merasa sanggup mencukupi biaya rumah tangga dan lain-lain keperluan keluarga. 

Memang di dalam kultur kita penentuan seperti itu masih merupakan hak suami. Hal-hal lain yang nyata adalah kesalahan yang ditimpakan kepada istri apabila pendidikan anak tidak beres, sekolah anak mengalami kemunduran, rumah tangga kacau, sehingga prakteknya seorang istri yang bekerja mempunyai tanggung jawab ganda atau lipat tiga: wanita karier, istri, ibu anak-anak dan “pengurus rumah tangga”.

Kemajuan kaum wanita sama sekali bukannya dimaksudkan untuk mengecilkan peran wanita sebagai IBU RUMAH TANGGA. Ibu rumah tangga lain lagi ceritanya. Seharusnya peran ini pun dapat dianggap sebagai karier apabila diberikan penghargaan sebagaimana layaknya. Namun kemajuan jaman, kesulitan ekonomi, dan psikologi wanita tidak memungkinkan wanita untuk puas di rumah saja dengan mengurusi suami, anak dan rumah. Pada saat anak-anak berangkat besar dan tidak memerlukan perawatan fisik lagi dan suami sibuk dengan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk, seorang istri membutuhkan kesibukan dan penghargaan akan prestasinya. Ia juga membutuhkan teman komunikasi yang dapat menetralisasi kerutinan. Beberapa puluh tahun yang lalu seorang ibu rumah tangga mendapatkan kepuasan apabila lantai rumahnya selalu mengkilap, buku-buku ditata rapi dalam rak. Tetapi suami sekarang sehabis membaca buku atau koran pun akan menebarkannya di meja atau di lantai dan anak-anak datang dengan teman-temannya mengotori lantai tanpa memberi pujian pada usaha Ibu mengkilapkan lantai. Pola sudah berubah dan kaum wanita pun melihat bahwa masyarakat kini lebih mengagumi wanita yang mempunyai kedudukan, pendidikannya tinggi, mempunyai usaha bisnis yang menguntungkan dan lain-lain.

Wanita yang bekerja sebenarnya juga mempersiapkan diri terhadap kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya suami kehilangan pekerjaan secara mendadak, kecelakaan hingga invalid atau kematian sekalipun. Siapa pun tidak menghendaki hal-hal tersebut terjadi pada dirinya. Namun wanita bekerja dengan tangkas akan dapat menanggulangi kejadian tidak diinginkan tersebut tanpa harus membiarkan keluarganya terkatung-katung dan menderita karenanya.

****

Pada HARI IBU 22 Desember 1982 ini hendaknya bangsa kita menyadari bahwa karier seorang wanita bukankah hanya kemewahan dan hadiah yang harus diberikan kalau suami mengijinkannya. Wanita dengan segala kecerdasan dan kemampuannya serta ketrampilannya dapat menyumbangkan segala sesuatu bagi bangsa dan negara. Membesarkan anak dan pekerjaan rutin rumah tangga sudah saatnya menjadi tanggung jawab bersama dan bukan lagi mengikuti pembagian tugas tradisional yaitu berdasarkan jenis kelamin bahwa pria bekerja mencari nafkah dan wanita cukup di rumah saja. Bagaimana jadinya apabila guru-guru wanita, psikolog, doktor dan semua cendekiawan wanita mempunyai suami yang beranggapan bahwa karier istrinya berada dalam tangannya dan boleh diteruskan atau dihentikan bergantung pada gelora hatinya?

Saya teringat dua tahun yang lalu pada waktu mendaftar di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, saya diharuskan meminta surat keterangan ijin suami untuk belajar. Saya pada saat itu menggerutu: mengapa suami yang belajar jauh tidak pernah dituntut harus mempunyai ijin belajar dari istri atau anak-anaknya? Bukankah statusnya sama?

Empat puluh empat tahun yang lalu KPI ke-3 menuntut hak pilih aktif bagi kaumnya. Mungkin pada Hari Ibu kali ini kita menuntut dari masyarakat pengertian bahwa kaum wanita berhak penuh mengembangkan kariernya dan sama sekali tidak harus mendapat belas kasihan, kebaikan atau hadiah yang dapat ditarik sewaktu-waktu. Hak tersebut juga harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat bahwa keluarga adalah tanggung jawab bersama dan bukan harus ditimpakan pada kaum ibu saja. Menghormati kaum ibu bukan dengan memanjakannya sehari tetapi memberikan kesempatan baginya mengembangkan segala kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk dibaktikannya kepada Bangsa dan Negara Indonesia.