Menyontek: Permasalahan Laten Yang Makin Membara




Surabaya Post, Senin 31 Januari 1983
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Akhir-akhir ini gejala menyontek cukup menimbulkan permasalahan yang menarik perhatian karena ia telah menjadi gejala yang telah membudaya di kalangan remaja yang sekaligus mengandung makna “pemerataan”. Padahal gejala tersebut jelas merupakan hambatan dalam proses belajar-mengajar. Setidaknya, keberhasilan belajar siswa sukar dievaluasi apabila ulangan dikerjakan secara bersama-sama sambil mengintip catatan atau buku pelajaran.

Sebagai akibatnya masalah menyontek tersebut telah mengundang kompetisi antara murid dan guru: siapa yang lebih cerdik! Kekompakan kelas masa-kini banyak melumpuhkan pengawasan. Jika guru berjalan ke depan, murid-murid yang di belakang yang membuka buku. Demikian sebaliknya. Komunikasi selama menyontek dilakukan tanpa suara. Misalnya telunjuk di hidung adalah pilihan A dalam tes obyektif; cuping telinga kanan dipegang berarti B; telinga kiri C; telunjuk di bibir menunjukkan D. Guru yang mengetahui muslihat siswa-siswanya tidak dapat marah karena mereka bekerja dengan tenang dan ia tidak dapat membuktikan kecurangan siswa. Di samping itu masih ada pula cara-cara kuno yaitu menyelipkan “kerpekan” di dalam stockings atau sepatu. Bagaimana kalau soal dibuat kiri-kanan? Dengan serempak sederet demi sederet menukarkan soal hingga pembagiannya menjadi kiri-kiri dan kanan-kanan. Hanya guru yang kreatif dapat melumpuhkan organisasi tersebut dengan mengaduk soal tanpa diberi nomor. Hanya guru sendiri yang mengetahui rahasia pengadukan tersebut. Sayang tidak banyak guru yang mau bersusah-payah begini.

Kisah bocornya soal juga bermacam-macam. Ada yang mendapatkannya dari karyawan penjaga sekolah dengan mendatanginya malam-malam. Ada pula yang meminta rasa solidaritas teman-teman yang mengambil pelajaran tambahan pada gurunya sendiri. Seandainya “rasa solidaritas” tidak mereka punyai, gawatlah nasib mereka. Bukankah mengambil pelajaran tambahan pada guru sendiri dilarang Kepala Sekolah? Kebocoran dapat pula terjadi karena kenaifan guru sendiri. Jika mereka mengajar kelas paralel dan memberi soal ulangan yang sama pasti soalnya akan bocor ke kelas-kelas lain.

****

Bagaimana pendapat para siswa tentang menyontek ini? Shirley seorang siswa SMA kelas satu menganggap menyontek sebagai sesuatu yang halal. Mengapa?

“Mengapa pula Pak Guru memberi pertanyaan – pertanyaan yang begitu sukar dijawab? Kalau saja yang harus kamu pelajari tidak begitu banyak dan masih terjangkau oleh waktu belajar, kami tidak perlu menyontek”.
“Berapa jam anda belajar sehari?”
“Di luar membuat pekerjaan rumah, ya... setengah hingga satu jam. Kadang-kadang kalau sibuk ya sama sekali tidak belajar”, sahutnya senyum-senyum”.
“Banyak sibuk atau tidak sibuknya?”
“Hehe... ya banyak sibuknya. Saya berlatih basket tiga kali seminggu. Akhir-akhir ini saya ikut kegiatan Palang Merah Remaja di sekolah sore hari dan juga berlatih menari untuk Malam Kesenian”.
Martha, siswa kelas tiga SMP, lain lagi permasalahannya. Ia marah kepada temannya yang duduk di sebelahnya karena tidak mau menjawab atau memberi jawaban yang salah apabila ditanya waktu ulangan”.
“Mengapa anda marah? Bukankah ia di pihak yang benar karena mematuhi nasihat guru untuk bekerja sendiri?”
“Huh, jaman sekarang tidak ada tempat untuk orang yang tidak sosial seperti itu! Orang toh tidak dapat hidup sendiri? Kalau seluruh kelas menyontek dan karenanya dapat angka yang bagus-bagus, jadi apa diri saya kalau tidak dapat bantuan?”
Sebaliknya Siani gadis tetangga Martha berkata :
“Saya kapok memberitahu pada waktu ulangan. Pernah yang dikira menyontek justru saya.”

****

Bagaimana pendapat para guru tentang menyontek ini? Ibu K yang mengajar bahasa Inggris dari Manado: “Dalam batas-batas tertentu menyontek masih dapat dimaafkan. Sering seorang siswa yang sudah belajar karena gugup atau terlalu banyak menghafal memerlukan sedikit stimulus untuk memperlancar pemikirannya. Dalam hal ini si siswa hanya memerlukan bahan untuk membantu daya ingatnya saja. Tetapi lebih dari itu saya tidak setuju.”

Bapak P dari Surabaya lain pendapatnya. Ia mengajar Fisika. 
“Kita harus bertindak tegas apabila kita hendak memperoleh mutu siswa yang baik. Dan ketegasan itu harus dirintis dari Kepala Sekolah, misalnya dengan memerintahkan merampas pekerjaan siswa yang menyontek dan memberi nol. Hasil dari siswa yang suka menyontek sungguh menyedihkan. Rumus-rumus yang paling sederhana dan dasar tidak diketahuinya. Bagaimana kita harus mengajar siswa-siswa yang berkualitas seperti itu?”

Ibu E juga dari Surabaya dan mengajar Biologi mengatakan :
“Saya tidak mau dibodohi siswa. Sekali-kali saya aduk soalnya hingga mereka bingung. Semuanya tidak saya beri nomor dan urutan halamannya saya ubah untuk kiri dan kanan. Jalan lain yang saya lakukan adalah membiarkan mereka membuka buku. Tapi membuat soal untuk ulangan open-book ini yang agak sulit. Ulangan seperti ini kadang saya gunakan untuk mengecek apakah mereka belajar atau tidak. Sebab kalau tidak pernah membaca, tempatnya saja tidak bakalan tahu.”

****

Tentu saja tidak semua murid mendapatkan hasil baik karena menyontek. Namun adanya “kekompakan” dan merasa halal dalam menyontek merupakan budaya yang perlu dibenahi. Bagaimanapun sikap ilmiah. Kerapuhan dasar siswa bukan hanya meliputi ilmu tetapi juga moral. Helen Bee dalam bukunya The Developing Child (N.Y.: Herper, 1975) menganalisa pertumbuhan moral anak sebagai hasil belajar. Para ahli teori tradisional mengatakan bahwa anak pada mulanya dikenalkan dengan seperangkat aturan tentang benar dan salah, yang menyangkut hati nuraninya. Anak juga harus mempunyai kemampuan untuk tahan godaan. Para ahli Kognitif beranggapan bahwa anak harus belajar mengevaluasi tingkah laku moral. Sebelum anak berusia 9-10 tahun ia hanya mengenal benar dan salah. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa nilai-nilai itu berubah sejalan dengan anggapan yang ada dalam masyarakat.

Mengenai menyontek, Bee mengatakan bahwa kemampuan mengontrol diri terhadap godaan sangat bergantung pada situasi. Dalam menghadapi kemungkinan tertangkap basah yang kecil hampir semua siswa cenderung menyontek, seandainya risiko besar, bukan anak yang tidak jujur melainkan anak-anak yang berani mengambil risikolah yang melakukannya. Bagaimana dengan ancaman atau hukuman?
Martin Hoffman mengatakan bahwa anacaman verbal atau hukuman fisik pada mulanya memang dapat membantu anak mengontrol diri terhadap godaan. Tetapi anak-anak yang dibesarkan dengan ehangatan dan kasih sayanglah ternyata yang lebih tahan uji. Menurut dia kombinasi disiplin dan kasih sayang, mungkin akan menciptakan anak yang mempunyai kemampuan kontrol diri yang besar.

Diterapkan pada sikap suka menyontek siswa kita nampaknya mereka bukannya tidak dapat mengontrol diri terhadap godaan tetapi pandangan bahwa menyontek itu tidak baiklah yang telah terkikis. Atau, “tidak menyontek itu kuno,” kata mereka. Apabila mengikuti teori tradisional dapat dikatakan bahwa nilai benar atau salah yang mengalami perubahan. Demikian pula apabila kita menggunakan teori Kognitif, nampak juga betapa nilai-nilai moral siswa atau evaluasi terhadap tingkah laku morallah yang telah mengalami perubahan. Karena itu pemecahannya tentu saja tidak dapat dilakukan lewat ancaman atau hukuman. Nilai bahwa menyontek tidak baik itulah yang harus ditanamkan kembali. Memang benar dan salah dalam masyarakat bisa berubah tetapi kesadaran harus ditanamkan bahwa ada juga ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Ketentuan itu antara lain adalah sikap ilmiah dan sikap jujur.