Jawa Pos, Senin KLIWON 24 November 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Kritik terhadap kebijaksanaan pendidikan
nasional bukanlah berita baru. Sudah sejak beberapa tahun pendidikan nasional
mendapat berbagai kecaman, antara lain : “Mutu lulusan makin tahun makin
menurun”, “Lembaga pendidikan tidak berhasil memproduksi lulusan yang siap
pakai”, dan “Pengangguran adalah akibat sistem pendidikan yang tidak
direncanakan berdasarkan lapangan kerja”.
Kritik memang mudah dilancarkan dan sering
tidak ditunjang oleh data penelitian yang sahih. Misalnya, dengan mengatakan
mutu lulusan makin menurun, kriteria mutu lulusan dan alat evaluasinya tidak
pernah disebut-sebut. Apakah lulusan “tempo dulu” yang berpredikat “hebat”
masih menyandang gelar yang sama sekarang, sejalan dengan perkembangan ilmu dan
kemajuan teknologi? Dilihat dari jumlah siswa, pernyataan tersebut juga bias.
Berapa jumlah siswa di zaman sebelum perang dan bagaimana intelegensi mereka
yang mendapat kesempatan untuk belajar atau kelompok elite itu? Lalu, bagaimana
keadaan siswa pada masa ini? Siapapun, yang kaya, yang miskin, yang pandai
maupun yang bodoh bisa mendapatkan jasa dari pendidikan nasional.
Pendidikan nasional (dikhususkan:pendidikan
guru) selalu menjadi kambing hitam. Pendidikan nasional dikatakan menyebabkan
pengangguran. Pendidikan nasional tidak menghasilkan lulusan siap pakai. Juga
masalahnya: siapakah yang harus memberikan data mengenai lapangan kerja dan
segala jenisnya? Haruskah Depdikbud yang mengerjakannya? Kriteria “siap pakai”
juga menimbulkan skeptisme: siap pakai ke sektor yang mana?
KEBUTUHAN SISWA
Pernahakah kita meneliti apa sebetulnya
kebutuhan siswa? Setelah siswa lulus SMA mereka berbondong-bondong mendaftar ke
perguruan tinggi (PT). Apakah yang hendak mereka raih?
Penelitian terhadap faktor manusia ini memang
agak diabaikan. Kita sibuk mengubah kurikulum materi, menyesuaikan pendidikan
dengan negara-negara maju (atau mengukur keberhasilan dengan bandingan negara
maju). Tetapi kita mengabaikan kebutuhan siswa.
Cobalah kita tanyakan kepada siswa yang
ratusan ribu, berapa persen yang sebetulnya sadar akan faedah bersekolah.
Kalaupun mereka sadar akan fungsi sekolah, tahukan mereka, pekerjaan apa yang
mereka harapkan setelah lulus atau lepas sekolah?
Mereka yang mempunyai cita-cita pun sering
harus mengalah karena tidak mendapat kesempatan untuk belajar sesuai dengan
cita-cita mereka. Mungkin yang berbahagia adalah mereka yang dapat menerima
kenyataan, yaitu bersekolah sesuai dengan tempat yang tersedia dan kemudian
mencari pekerjaan apa saja yang dapat memberinya nafkah. Bagi mereka pendidikan
formal hanyalah loncatan untuk mendapatkan gelar, dan setelah itu, dengan gelar
itu mereka mengikuti in-service-training di tempat kerja baru.
Salahkah sistem pendidikan dalam hal ini ? Apakah hal ini diakibatkan sistem pendidikan tidak berhasil memproduksi tenaga
siap pakai?
TENAGA
SIAP PAKAI: MANA MUNGKIN?
Kita jangan bermimpi! Kita yang sekarang sudah
mantap dalam pekerjaan dan kedudukan seringkali lupa bahwa pada waktu kita baru
lulus kita juga dicap “kurang becus” meskipun dalam pendidikan kita mendapat
nilai-nilai yang baik. Ada yang menyadari kekurangannya, ada yang tidak. Lebih
banyak lagi yang cepat melupakan masa-masa kurang enak tersebut. Hanya melalui
pengalaman dan latihan selama bekerja tahap demi tahap kita mencapai kemantapan
yang sekarang. Tidak ada seorang pun yang begitu lulus sudah mencapai
kemantapan (atau, ia tidak mengalami perkembangan sama sekali sejak itu?).
Bedanya, pada waktu kita lulus, lapangan pekerjaan masih tersedia banyak,
sedangkan lulusan baru harus berebut dengan mereka yang telah mempunyai
pengalaman.
Pendidikan juga tidak mungkin membuat
perencanaan yang paralel dengan lapangan kerja, karena pendidikan dibuat
mengacu kepada kemajuan teknologi. Padahal dalam waktu lima hingga sepuluh
tahun, pada saay lembaga pendidikan meluluskan dan memantapkan kurikulumnya,
mutu pendidikan sudah ketinggalan dibandingkan dengan kemajuan teknologi yang
lebih baru. Untuk mengikuti perkembangan teknologi diperlukan bukan hanya biaya
yang besar tetapi juga tenaga pengajar yang terus berkembang. Ditinjau dari
sudut siswa, materi yang harus mereka peroleh juga makin banyak, karena tidak
mungkin ilmu yang lanjut diperoleh tanpa dasar ilmu-ilmu sebelumnya.
Apa yang dapat dilakukan pendidikan formal
hanyalah mempersiapkan siswa untuk “siap latih” dalam lapangan kerja yang baru,
kalau ada.
PERENCANAAN
PENDIDIKAN
Sungguh mudah untuk mengatakan agar
jurusan-jurusan yang sudah jenuh menutup diri. Namun, proses menutup suatu
lembaga pendidikan mempunyai dampak psikologis yang tidak kecil. Pada saat
penerimaan mahasiswa baru ditiadakan, mahasiswa yang duduk di semester-semester
lebih tinggi akan mengalami keresahan. Juga para dosen mengalami tekanan psikologis
menghadapi pengangguran secara bertahap. Kecuali ada kebijakan untuk
meningkatkan atau mengalihkan profesi, amat dikhawatirkan terjadinya
pengangguran intelektual yang meresahkan.
Kalau pun sebuah atau beberapa jurusan hendak
ditutup, mestinya tindakan itu dilakukan dengan memikirkan segala dampak dan
sekaligus jalan keluarnya. Misalnya, dengan mengalih programkan semua mahasiwa
dan memberikan tugas belajar bagi semua dosen yang terlibat agar dapat
meningkatkan diri dan berpindah profesi. Kritik memang mudah diucapkan tetapi
yang menjadi masalah justru: adakah jalan keluarnya?
Selama ini izin untuk mendirikan
jurusan-jurusan baru memang terlalu mudah diberikan. Fakultas-fakultas
pertanian didirikan di kota-kota besar sehingga mayoritas mahasiswa adalah anak
kota yang pada akhirnya tidak bersedia bekerja di daerah terpencil. Bukan itu
saja. Sebuah PT mempunyai fakultas psikologi dan menampung banyak mahasiswa,
maka beberapa PT sekaligus juga mengadakan fakultas yang sama, tanpa memikirkan
ke mana semua lulusan itu nantinya mencari kerja. Padahal yang sekarang amat
dibutuhkan adalah guru. Meskipun gajinya kecil, tetapi lapangan kerjanya
tersedia. Sayangnya, rencana untuk mendirikan IKIP atau FKIP kurang diminati:
tidak bisa “top”.
Di tingkat sekolah menengah, izin untuk
mendirikan SMA diberikan terus bahkan di daerah-daerah terpencil pun ada SMA.
Soalnya mendirikan SMA adalah yang termurah ketimbang sekolah kejuruan yang
membutuhkan alat-alat praktek. Masalahnya adalah dana. Kita terlalu terbentur
pada dana dan kemudian juga tenaga pengajar.
SISWA
KURANG DIBERI KESEMPATAN
Tidak jarang pendidikan swasta yang kreatif
terbentur peraturan. Jauh-jauh sebelum di PTN ada program diploma, PTS sudah
mempunyai lembaga pendidikan yang praktis untuk mengisi kebutuhan di lapangan
kerja seperti lembaga sekretaris, lembaga ajun akuntan, lembaga elektronika,
dan sebagainya.sebelum ada program diploma, lembaga-lembaga ini tidak mendapat
tempat: untuk dimasukkan ke sekolah kejuruan tidak bisa karena jenjangnya di
atas SMA, untuk dimasukkan ke PT juga tidak ada jalurnya. Sekarang dengan
adanya program diploma, lembaga-lembaga ini dijadikan (diakui sebagai) fakultas
non gelar.
Usaha-usaha lembaga pendidikan swasta yang
tidak mendapat pengakuan tetapi tetap berjalan dan berhasil juga terlihat dari
pendidikan-pendidikan setingkat STM yang menggunakan kurikulum mandiri.
Misalnya pendidikan ahli kayu di Semarang yang langsung melibatkan siswa
membuat perabot kayu hingga menjualnya.
Tetapi sekali lagi sangat disayangkan bahwa
keberhasilan suatu pendidikan swasta yang kreatif sering dijiplak oleh lembaga
pendidikan lainnya, begitu terlihat menguntungkan. Dan jiplak-menjiplak ini
kerap kali hanya kulitnya saja. Tujuan utama yang menyebabkan lembaga yang
pertama didirikan dilupakan begitu saja.
Contoh lain adalah Program MBA (Master of/in
Business Administration) yang merupakan program spesialisasi dan juga tidak ada
jalurnya dan tidak ditata dengan terencana, dikhawatirkan nantinya akan tumpang
tindih dengan fakultas ekonomi jurusan manajemen dengan kehilangan
spesialisasinya.
Banyak contoh lain mengenai kurangnya swasta
diberi peran termasuk status terdaftar setelah berdiri puluhan tahun, bahkan
setelah lulusannya “jadi orang” dan bahkan lulusan lokalnya mendapat pengakuan
di luar negeri.
Semua ini karena kakunya pengakuan?
BUKAN
TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN
Pengangguran tidaklah dapat dikatakan tanggung
jawab sistem pendidikan semata-mata, ada banyak faktor yang membuat lulusan
baru tidak mendapat pekerjaan. Pertama-tama, mereka kalah pengalaman. Dalam
iklan-iklan selalu dicantumkan syarat pengalaman kerja beberapa tahun. Hal ini
dapat dimengerti karena banyak perusahaan dikecewakan oleh lulusan yang diberi
in-service training (yang mestinya mahal) berpindah pekerjaan yang dapat
menjanjikan gaji lebih besar (karena tanpa perlu mengadakan dana untuk melatih
mereka).
Pengangguran akhir-akhir ini juga banyak
disebabkan oleh keadaan ekonomi yang memaksa perusahaan untuk mengadakan PHK.
Sebaliknya, mereka yang di-PHK-kan ini merupakan saingan bagi lulusan baru.
Pengangguran terjadi karena lapangan kerja
memang sudah jenuh. Misalnya, beberapa waktu yang lalu, pembukaan beberapa
plaza di Surabaya menjanjikan lapangan kerja bagi ribuan lulusan SMTA. Tetapi,
akhir-akhir ini dengan merugi dan ditutupnya stand-stand, apakah lapangan kerja
masih ada meskipun beberapa plaza baru masih akan dibuka?
Beberapa pekerjaan bahkan yang banyak tersedia
pada saat-saat ini justru tidak membutuhkan pendidikan keahlian. Artinya,
pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh mereka yang tidak secara khusus
dipersiapkan untuk pekerjaan tersebut, sehingga agak janggal kalau yang
dikritik justru tidak siap pakainya lulusan.
PENYELESAIAN
YANG TEPAT
Saya tidak mengatakan bahwa sistem pendidikan
nasional sudah sempurna sehingga tidak perlu dikritik lagi. Tetapi setiap
kritik yang bombastis, yang tidak didukung oleh penelitian dan dilakukan secara
gegabah hanyalah merugikan sifatnya. Bagaimanapun sistem pendidikan kita sudah
banyak berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
dan kebutuhan masyarakat dan negara. Kita membutuhkan guru sebanyak-banyaknya,
diubahlah kurikulum IKIP agar dapat menghasilkan guru secepat-cepatnya (dengan
program diploma) dan berwenang mengajar ganda (mayor dan minor). Tentu saja
dengan mengorbankan waktu belajar untuk mata kuliah mayor. Kita membutuhkan
saluran bagi drop-outs SMA, disusunlah program B (yang akhirnya ditunda karena
kurang siapnya sekolah-sekolah).
Sudah banyak yang dilakukan oleh sistem
pendidikan nasional tetapi masih selalu dikambinghitamkan. Padahal, adakah data
yang diberikan oleh departemen lain untuk perencanaan Depdikbud?
Kalau pun sebuah atau beberapa jurusan hendak
ditutup, mestinya tindakan itu dilakukan dengan memikirkan segala dampak dan
sekaligus jalan keluarnya. Misalnya, dengan mengalihprogramkan semua mahasiswa
dan memberikan tugas belajar bagi semua dosen yang terlibat agar dapat
meningkatkan diri dan berpindah profesi. Kritik memang mudah diucapkan tetapi yang
menjadi masalah justru adakah jalan keluarnya?
Sumber ilustrasi: https://www.satujam.com/tujuan-pendidikan-nasional/