Indonesiana : Saya Bingung, Saya Kaget, Saya Kagum



JAWA POS, SENIN PON 30 Juni 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Pada waktu membaca spanduk “Diskusi Indonesiana” dengan pemrasaran budayawan, ahli ilmu sosial dan sastrawan, yang tidak kurang dari Akhudiat, Hotman M. Siahaan dan Budi Darma serta tercantum pemandu Thea Kusumo, terus terang saya jadi bingung. Banyak teman memang mengatakan betapa mereka menyukai rubrik ini. Bahkan ada yang membukanya pertama kali begitu majalah Tempo sampai di tangan. Saya bingung karena dalam kepicikan saya, saya terus terang membaca Indonesiana yang dimuat di majalah Tempo terakhir kali.. kalau mata masih tak mau diajak kompromi dan sebabnya ketika Indonesiana terbit pun saya hanya meliriknya sebelah mata.. melecehkan.

Bingung saya tadi berubah menjadi kaget ketika saya dengar dari Dede Oetomo yang baru dua tahun pulang dari Cornell University bahwa Indonesiana menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa Indonesian Studies di Cornell. Indonesiana ternyata dianggap sebagai potret masyarakat Indonesia. Edan! Tergelitiklah rasa ingin tahu saya, lalu saya simak “Indonesiana” dalam beberapa edisi terakhir Tempo sebelum berangkat.
Tiba dua menit sebelum waktu yang dicantumkan di spanduk saya mempunyai kesempatan untuk memilih mau duduk di mana saja. Ternyata acara memang baru dibuka setengah jam kemudian. Maksudnya diadakan santai-santai dan baik peserta maupun pemrasaran duduk ndeprok. Thea Kusumo yang memang cantik kelihatan makin anggun di panggung tengah. Mungkin suasana lebih tepat kalau disebutkan tradisional daripada santai. Makanan disajikan dalam tampah besar-besar dan minumannya air sinom. Duduk dengan resah (karena mengenakan rok dan sebentar-sebentar tangan kena kaki orang lain atau sebaliknya) saya dengan antusias menantikan bagaimana para ahli membahas Indonesiana.

AKHUDIAT: TRADI-KOMEDI DAN TRADISI

Indonesiana merupakan kolom humor dan kisah pengalaman unik yang sebelumnya juga ada di tradisi. Tukang dongeng di desa yang melihat hadirin mulai jemu akan menggunakan selingan cerita humor untuk menggugah ketawa dan mengendorkan urat syaraf. Di Sunda dikenal si Kabayan, di Jawa Timur, Joko Bodo, di Sumatera, si Lebai Malang. Dalam pewayangan juga ada Petruk-Gareng (Hotman menyebutnya Punakawan), di Ketoprak Pentul Tembem dan di Ludruk si Besut. Ada persamaan antara keduanya, yaitu fungsinya (sebagai selingan yang menghibur) dan isinya (kisah heroik, magis, khayal dan kritik terselubung). Bedanya, yang Indonesiana dituangkan melalui media cetak sedangkan yang tradisi bersifat lisan.
Akhudiat mengakui bahwa ia menikmati Indonesiana sebagaimana tragi-komedia Chekovian, yaitu pembaca disuguhi penelanjangan kepura-puraan. Indonesiana meskipun sama-sama lucu dengan Mati Ketawa Cara Rusia, tetapi... lain (sarkasme tidak hadir dalam Indonesiana?).

HOTMAN M.SIAHAAN: SEMBURIANA

Sebagai seorang ahli ilmu sosial Hotman tidak melihat Indonesiana sebagai sekedar lelucon tetapi lebih merupakan kritik sosial dan pemaparan “pemerkuasaan” (istilah halus pemerkosaan?) yang seharusnya membuat para pembaca yang sadar akan nasib masyarakatnya. Celakanya, semua itu: yang menyedihkan dan yangmemarahkan disodorkan kepada pembaca dalam gaya dagelan punakawan sehingga siapa pun yang dikritik bisa ikut ketawa dan merasa tidak dikritik.

Indonesiana dalam beberapa hal mengemukakan struktur dan kultur masyarakat Indonesia yang berubah. Di mana-mana ada kelonggaran struktur dan kultur sehingga batas-batas antara yang wajib dan hak mengabur. Peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak manusiawi dikisahkan secara kocak dan santai.
Kocaknya Hotman adalah dalam menggunakan kata “sembur” yang sekali bermakna “beraneka ragam” seperti dalam semburnya wajah masyarakat Indonesia yang sedang berubah, tetapi dalam kesempatan lain bermakna “semprot” seperti dalam “adegan-adegan Indonesiana yang disemburkan ke wajah kita....” (Semburnya Semburiana?).

Indonesia, menurut Hotman, dapat merupakan cermin jernih, tetapi bisa juga cermin buram,. Kalau cermin jernih membuat kita ketawa, kalau buram membuat kita mengernyitkan dahi dan marah. Mau ditanggapi secara serius bisa, dianggap lelucon juga bisa. Itulah kekuatan Indonesiana.

BUDI DARMA: TANGGUNG JAWAB MORAL

Salah satu bentuk lelucon adalah dengan menampilkan tragedi sebagai cerita lucu. Kalau sudah begini yang menjadi bahan tertawaan akan merasa sakit hati atau perlu dikasihani. Tidakkah kita bertanggung jawab secara moral untuk tidak mendebat lelucon-lelucon seperti itu?

Apalagi setelah dibukukan, Budi Darma menganggap Indonesiana bisa memberikan gambaran yang menyesatkan, yaitu masyarakat Indonesia ini penuh maling dan malingnya pintar serta brutal (bab “Tangan-tangan Usil”) dan dalam bab “Interseksual” seolah-olah perempuan Indonesia penuh skandal sampai yang tua-tua pun masih menginginkan daun muda. Justru karena sistematisasi tema, menurut Budi Darma, Indonesiana agak menjemukan dan tidak lucu, meskipun banyak orang menganggapnya sebagai banyolan. Mengenai yang terakhir ini sayangnya orang yang beranggapan bahwa Indonesiana lucu tidak dapat memberikan komentar lebih jauh.

Ada 3 pertanyaan Panitia Diskusi “Indonesiana”, yaitu apakah Indonesiana dapat dianggap sebagai:
1.       Keunikan manusia Indonesia dalam menghadapi masalah kehidupan;
2.       Sastra; dan
3.       Berperan dalam pembangunan?

Setiap masalah dapat merupakan suatu hal yang unik tetapi sekaligus universal dan hanya kebetulan terjadi di Indonesia sehingga sulit untuk mengatakan apakah Indonesiana merupakan gambaran keunikan masyarakat Indonesia dalam menyikapi hidup. Indonesiana juga sulit dianggap sastra karena sifatnya yang bukan pendalaman. Kekonyolan manusia Indonesia lebih merupakan kebijakan daripada kebajikan, meskipun ada juga yang menyentuh kemanusiaan seperti halnya kisah No Sakeh si juara lomba lari yang matinya sebagai pencuri sepeda. Perannya dalam pembangunan juga kabur karena kisah-kisah manusia yang disalurkan lewat banyolan tidak dapat menggugah atau membuka mata pembaca dan karenanya tidak membudayakan mereka. Habis dibaca pada umumnya segera dilupakan.

LELUCON ATAU BUKAN?

Indonesiana memang unik karena dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Baru tiga pemrasaran sudah ada tiga interpretasi terhadapnya. Belum lagi pembaca yang tidak dapat memberikan komentar. Betulkah mereka menganggapnya sekedar banyolan segar dan karena banyolan usia lucunya juga singkat sehingga tidak perlu dikomentari atau Indonesiana memang seperti yang dikatakan Hotman lebih merupakan semburiana yang membingungkan? Apakah definisi lelucon sehingga kita dapat menguji apakah Indonesiana lelucon atau bukan.

Christopher P. Wilson, seorang ahli psikologi sosial mendefinisikan lelucon sebagai “setiap stimulan yang menimbulkan kesenangan dan dialami sebagai sesuatu yang lucu” (1979:2). Ada lelucon yang berisi hal-hal tabu, ada pula yang seksual dan juga lelucon yang menertawakan orang lain atau menertawakan diri sendiri. Apa yang disebut “lucu” oleh pendengar atau pembaca lelucon ditentukan oleh:
  1. Sejauh mana makna yang diberikan (M2) berbeda dengan makna yang dipunyai pendengar/pembaca (M1) dalam menginterpretasikan lelucon tersebut (X), dan karenanya.
  2. Sejauh mana kesenangan, ketegangan dan kegairahan, ditimbulkannya.
  3. Sarana untuk mengakhiri ketidaksamaan interpretasi tersebut dan
  4. Lamanya perasaan senang, tegang dan bergairah terjadi, dan akhirnya.
  5. Sejauh mana lelucon itu tidak membuat marah orang lain begitu perbedaan interpretasi diakhiri.
(Wilson: 1974, 150)

Lelucon sifat lucunya memang singkat dan inilah yang membuatnya berbeda dari karya sastra atau karya seni. Lelucon yang “lucu” adalah yang jarak waktu antara klimaks dan antiklimaks (perbedaan interpretasi berakhir) singkat; dan perbedaan interpretasi itu dipahami oleh pendengar/pembacanya. Bagaimana dengan Indonesiana ?         
 
Contoh dari produksi pertama lahir (30-1-82):
Memo dari Maling:
Pencuri Indonesia, bisa ramah sekali. Awal Januari lalu Kantor Pos Desa Banyuayuh, Kecamatan Kamal, Bangkalan (Madura) kebobolan. Dengan merusak pintu belakang, pencuri masuk. Ia mengobrak-abrik isi kantor.

Ternyata tak ada sesuatu pun yang digondol. Sang maling malah meninggalkan surat ditujukan kepada polisi. Isinya, antara lain: “Bapak polisi jangan gampang mistol maling. Kalau ada maling itu saudaranya Bapak sendiri”.

Entah apa pula yang dimaksudnya. Agar polisi tidak marah, si pencuri mengawali suratnya dengan “Kami minta maaf sebelumnya kepada Bapak polisi, jangan sampai tersinggung hati bapak...”

Menunjukkan adanya dua makna (M) dari “maling” yaitu:
M1 = pencuri yang merusak pintu dan mengobrak-abrik kantor pos. Pembaca mengharapkan ia bermaksud mencuri uang atau alat-alat lain dalam kantor tersebut.

M2 = pencuri yang “jagoan” yang meninggalkan surat peringatan kepada polisi.
Jadi menurut kriteria lelucon (1) contoh tersebut mestinya lucu, tetapi apakah contoh tersebut memenuhi kriteria, (2). Kesenangan mungkin ada, tetapi ketegangan dan kegairahan tidak cukup menstimulasi pembaca untuk tertawa. Sejak awal pembaca sudah dipersiapkan terhadap M2 sehinga M1 sebetulnya tidak ada. 

Bagaimana kalau diubah:
Awal Januari lalu Kantor Pos Banyuayuh, Kecamatan Kamal, Bangkalan Madura kebobolan. Pencuri masuk dari pintu belakang dan mengobrak-abrik isi kantor. Polisi didatangkan dan hanya menemukan sepucuk surat berbunyi: “Pak polisi jangan gampang memukul orang, jangan gampang mistol maling. Maling itu saudara Bapak sendiri...”

Lucunya bisa terdapat pada makna ganda “maling”, “saudara” atau “polisi” bergantung pada pengalaman yang dimiliki si pembaca. Jika ia tidak pernah mempunyai pengalaman buruk dari oknum polisi, cerita itu bisa dianggap lucu karena “kok ada maling yang kocak dan sudi gawe”. Penjelasan tidak diperlukan. Makin dijelaskan makin tidak lucu.

Penyajian cerita-cerita di Indonesiana rata-rata sama sehingga kalau mau dibilang buku lelucon, cuma “Pengantariana” nya Arwah Setiawan yang lucu.

Kemungkinan lain masih ada, yaitu apabila Indonesiana dianggap lucu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, mestinya teori Dr. Wilson yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan inilah yang perlu diteliti.

KRITIK SOSIAL ATAU BUKAN?

Materi kritik sosial semburat (meminjam istilah Hotman M. Siahaan) di sana-sini dengan menunjukkan adanya kepincangan yang maunya ya dibetulkan. Misalnya dalam “Sukarela Wajib” dicatat bahwa: “... kegagalan rupanya belum patut dicatata rapi” (16-10-82); atau dalam “Raker Gusur Pasar” (30-1-82) ditunjukkan kesewenang-wenangan Wali Negeri yang melangkahi musyawarah; atau tidak berdayanya Mantri Hutan dalam menangani maling kayu yang bandel dalam “Hak Permalingan Hutan” (13-3-82).
Namun lebih banyak lagi kisah Indonesiana yang bukan kritik sosial. Misalnya “Korset Susu” (21-5-83) atau “Meracak Becak” (7-5-83) merupakan peristiwa pencurian yang dapat terjadi di mana-mana dan penyelesaian yang gemilang juga telah diterapkan sehingga tidak terlihat adanya masalah. Peristiwa nenek-nenek yang menggaet laki-laki bau kencur juga tidak dapat dikatakan sebagai suatu gejala sosial yang perlu diluruskan karena sifatnya yang individual dan bukan suatu gejala masyarakat yang mengancam. Jumlahnya sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan lelaki hidung belang yang membeli gadis-gadis usia sekolah menengah.

CERMIN KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA?

Kalau Indonesiana mau disebut cermin kehidupan, memang betul apa yang dikatakan Budi Darma, cermin itu “cermin ketawa” yang bisa menyesatkan. Apalagi kalau Indonesiana digunakan sebagai bacaan wajib mahasiswa Indonesian Studies di Cornell University. Dari buku kecil itu seolah-olah dipertontonkan bahwa wanita tuanya cabul-cabul, malingnya lihai-lihai dan peraturan pemerintah semau gue.
Itulah struktur lahir dari kisah-kisah unik di Indonesiana. Namun, kalau digali lebih mendalam, kisah-kisah unik itu menampilkan juga budaya yang khas. Misalnya “pemerkuasaan” dapat dijelaskan bahwa sistem budaya yang ada adalaj preskriptif dengan pihak penentu selalu penguasa. Budaya ini kalau dipandang dari kaca mata orang asing kelihatan jelek (kita pun sering beranggapan begitu). Tetapi kadang-kadang ada juga baiknya. Kalau budaya kita tidak demikian, kita tidak pernah mempunyai bahasa nasional yang namanya bahasa Indonesia. Budaya yang lain adalah “keharmonisan” yang terlihat dari abang-abang becak yang lebih suka setiap malam melepasi roda becak daripada bertempur tatap-muka dengan si maling. Kepercayaan kepada mistik juga budaya Indonesia dan ini digambarkan dalam “wajib Ngemis” (5-10-83) dengan orang-orang yang cukup berada turun mengemis karena takut kena murka Nyi Loro Kidul. (Bukankah Menristek kita yang ilmuwan juga mendatangkan Pawang Hujan?)

Sayangnya, mungkin yang dapat menggali budaya di balik kisah unik Indonesiana hanya orang yang mau menekuninya sebagai bahan studi. Orang kebanyakan lebih melihatnya sebagai apa adanya dan inilah akibatnya: kok begitu masyarakat Indonesia itu... jelek-jelek semua.

CERITA UNIK

Memang sangat tepat kalau Indonesiana disebut sebagai kumpulan cerita unik. Unik di sini adalah unik dalam pengertian sehari-hari yaitu “aneh” dan bukannya terjemahan dari “unique” yang berarti tak ada duanya seperti itu. Yang khas juga ada seperti halnya “Pesuruh Pemilik Sekolah” (16-10-83) yang mengisahkan seorang tukang becak menyumbangkan tanah miliknya untuk tempat didirikannya SMP dan STM Muhammadiyah dan ia sendiri bekerja sebagai pesuruh di sekolah itu sambil mendapatkan ruang tinggal bagi keluarganya (isteri dan 7 anak) sebesar 3 x 3 meter.

Namun seperti dikatakan Budi Darma, semua peristiwa dapat disebut khas tetapi dapat juga universal. Sulit untuk menggeneralisasi Indonesiana sebagai unik dalam pengertian yang terdapat dalam kampus, tetapi betul unik dalam pengertian sehari-hari.

KAGUM

Setelah bingung dan kaget, saya jadi kagum pada Indonesiana terutama melihat dipersiapkannya buku tersebut sebagai komoditi ekspor. Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris seperti yang dibawa oleh Pemandu, Thea Kusumo. Katanya orang Australia pun bisa ketawa meskipun tidak bisa berkomentar. Ya... memang mengagumkan! Yang diekspor adalah obat pengendor urat saraf...