Jawa Pos, Rabu WAGE 16 Juli 1986
Oleh : Wuri Soejatmiko
Pada waktu anak-anak masih kecil ada anak
tetangga yang selalu sakit-sakitan. Setelah berbulan-bulan ke dokter dan ke
banyak orang pinter akhirnya tetangga saya dinasehati untuk mengganti nama
anaknya. Istilahnya si anak tidak kuat memikul nama tersebut sehingga
sakit-sakitan. Dengan mengadakan selamatan, nama anak tetangga itu diganti.
Percaya atau tidak, anak tetangga itu kemudian tidak sakit-sakitan lagi.
Menurut tradisi memang mengganti nama atau menyederhanakan nama (karena nama
yang digunakan sebelumnya terlalu berbobot) penting artinya. Menurut logika,
anak tersebut mestinya mengalami perbaikan kondisi kesehatan sehingga tidak
sakit-sakitan lagi.
Tradisi mengganti nama ini tampaknya juga
masih ada hingga zaman pembangunan ini. Kalau anak kita sendiri mengalami
sakit-sakitan dan kemudian ada orang pintar yang menyarankan untuk menggantikan
nama itu, rasa-rasanya untuk tidak mematuhi nasihat tersebut juga memojokkan
kita. Bagaimana kalau fatal?
Tradisi mengganti nama rupanya tidak hanya
mengena pada anak yang sakit-sakitan. Perusahaan yang mengalami kemunduran juga
seringkali diusahakan dicarikan nama baru sehingga bisa mumbul kembali. Dan
kini, dalam sistem pendidikan kita tampaknya juga terjadi hal yang sama.
Sekolah kejuruan kurang diminati dan karena itu perlulah diganti namanya. SMEA
akan dijadikan SMKTA (Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Atas) Program Studi
Ekonomi, misalnya kalau kita percaya kepada tradisi, perubahan nama tersebut
suat hal yang harus kita tatap dengan penuh harapan.
Namun saya percaya kebanyakan dari kita
cenderung pesimis kalau hanya mengandalkan penggantian nama belaka. Apalagi
kalau baca (JP 11 Juli 1986) bahwa pengembangan dan pendayagunaan sekolah
kejuruan masih terbatas karena kesulitan fasilitas dan dana. Apakah kita
serahkan kepada tradisi ganti nama saja?
Untuk memasarkan sekolah kejuruan harus kita
tengok mengapa sekolah kejuruan kurang diminati. Saya melihat ada dua faktor
yaitu eksternal dan internal. Yang internal meliputi tujuan institusional dan
pengelolaan program, sedangkan yang eksternal meliputi lowongan kerja dan
budaya.
TUJUAN
INSTITUSIONAL
Sekolah kejuruan tidak mempunyai tujuan
institusional yang jelas. Lulusannya hendak dihararapkan untuk menjadi apa?
Sekolah kejuruan yang mestinya bersifat terminal dan menghasilkan lulusan yang
langsung dapat bekerja, diberi juga kesempatan atau istilahnya dijanjikan,
untuk dapat melanjutkan ke sekolah umum atau perguruan tinggi jenjang gelar.
Sifat institusional yang ambivalen ini tidk
kecil dampaknya. Untuk dapat mencapai tujuan melanjutkan ke sekolah umum atau
perguruan tinggi jenjang gelar, atau non gelar sekalipun, siswa harus diberi
sangu kemampuan-kemampuan dasar yang ada di sekolah umum. Yang SMKTP diberi
matematika, fisika, biologi, dan lain-lain yang diperlukan untuk ujian
persamaan. Yang SMKTA demikian juga, paling tidak bahannya harus setingkat
dengan SMTA umum agar dapat bersaing dengan lulusan SMA. Dengan diberikannya
mata pelajaran yang teoritis, tujuan institusional sekolah kejuruan sendiri
tidak mungkin tercapai. Waktu, tenaga dan usaha untuk mencapai kemampuan
trampil yang diperlukan untuk menjadi tenaga trampil terampas untuk belajar
teori. Akhirnya, lulusan sekolah kejuruan tidak dapat disebut trampil tetapi
dalam bidang teori juga kalah bersaing dengan lulusan sekolah umum.
PENGELOLAAN
Kita semua tahu bahwa sekolah kejuruan adalah
sekolah yang mahal karena alat-alat praktek dan laboratorium serta bengkelnya
membutuhkan satu set untuk setiap siswa. Alat-alat yang mahal ini bukan dibeli
pada permulaan mendirikan sekolah saja, tetapi yang penting adalah perawatannya
sehingga dapat digunakan untuk beberapa angkatan. Karena itu harus ada dana
untuk merawat, di samping siswa dan guru harus pula berdisiplin tinggi dalam
menggunakan alat praktek tersebut.
Selain dana untuk perawatan, ada juga dana
untuk pengembangan. Sekolah kejuruan yang tidak mengikuti perkembangan kemajuan
teknologi juga tidak dapat mengeluarkan lulusan yang berbobot. Apalah artinya
sebuah sekolah kejuruan yang mentereng tetapi setelah lima atau sepuluh tahun
alat-alat prakteknya sudah separuh rusak dan tertinggal sepuluh tahun dari
kenyataan di luar?
LOWONGAN
KERJA
Minat untuk memasuki sekolah kejuruan menjadi
berkurang karena sekolah kejuruan tidak menjamin lulusannya untuk mendapatkan
pekerjaan. Gajinya pun, kalau ada, kecil sekali.
Sekolah kejuruan seringkali tidak didirikan
berdasarkan kebutuhan lapangan. Banyak sekolah kejuruan yang sudah tidak dapat
menyalurkan lulusannya tetap saja dibuka hanya karena sudah berdiri. Beberapa
sekolah kejuruan swasta yang tidak melihat manfaat pendidikannya dan hendak
menutup sekolahnya tidak diizinkan. Makin lama citra sekolah kejuruan makin
rendah dan menjadi tempat penampungan mereka yang tidak mampu ke sekolah umum.
Tentu saja hal ini tidak seluruhnya benar!
Padahal yang masuk sekolah kejuruan justru
adalah mereka yang ingin cepat bekerja, karena harus membiayai adik-adiknya
atau sudah memperkirakan bahwa dana untuk pendidikan lebih tinggi tidak ada.
Bagaimana kalau mereka yang memang sudah membutuhkan pekerjaan ini ternyata
setelah lulus tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai?
BUDAYA
Salah satu penghambat lainnya adalah budaya
kita yang masih menyanjung-nyanjung gelar dan bukannya prestasi. Sarjana nol
tahun mendapatkan gaji yang lebih tinggi daripada karyawan dengan pengalaman
lima atau sepuluh tahun yang kenaikan gajinya secara berkala tidaklah berarti.
Siapa lalu yang tidak ingin ke perguruan tinggi saja?
Budaya kita lainnya adalah sifat
ketergantungan kita. Kalau lowongan pekerjaan tidak ada, kita tidak berusaha
untuk wiraswasta. Takut mulai dari bawah atau usaha kecil-kecilan. Begitu tidak
bisa kerja pada perusahaan, dunia sudah menjadi gelap baginya. Padahal mana
bisa lowongan kerja memberikan kesempatan bagi semua lulusan. Kalau hanya
puluhan mungkin sebuah lembaga pendidikan masih bisa menghubungi perusahaan
atau pemberi kerja tertentu. Tetapi bagaimana kalau lulusan telah menjadi
ribuan atau puluhan ribu?
KURIKULUM
1984
Kita boleh percaya bahwa nama memberi efek.
Kita juga boleh berharap akan keajaiban yang bakal dibawa bersama Kurikulum
1984. Namun dengan 60% teori dan 40% praktek; apalagi kalau prakteknya tidak
dapat memberikan kesempatan merata pada saat bersamaan tanpa ada yang harus
“menganggur” menanti kesempatan, dapatkah kita berhasil membuat trampil siswa?
Kurikulum 1984 adalah hasil godokan PPSP,
suatu proyek dengan keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Dapatkah semua
sekolah kejuruan mendekati kondisi PPSP ? tidakkah untuk membuat siswa trampil
seharusnya praktek 60% dan teori yang 40%? Seberapa jauh kita dapat berharap
pada perubahan kurikulum?
BEBERAPA ALTERNATIF
Perubahan nama dan perubahan kurikulum
mestinya diikuti oleh beberapa hal di bawah ini:
- Tujuan
institusional sekolah kejuruan haruslah tunggal, yaitu untuk mendidik
lulusannya trampil bekerja. Mereka setidak-tidaknya haruslah siap latih
(setelah lulus dengan 3 bulan latihan sudah menjadi tenaga siap pakai) dan
kalau mungkin siap pakai (siap terjun di lapangan kerja).
Tidakkah mereka boleh melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi? Tentunya boleh, tetapi janganlah mengarahkan mereka ke sekolah umum. Pendidikan lanjutan bagi lulusan sekolah kejuruan mestinya adalah spesialisasi atau S-O, atau pusat-pusat latihan. - Dana untuk perawatan dan pengembangan tidak boleh diabaikan dalam perencanaan anggaran tahunan. Apabila perlu, subsidi untuk sekolah umum (selain SD yang wajib belajar) dikurangi untuk dialihkan ke pendidikan kejuruan. Atau, mengaktifkan peran swasta dalam pembangunan sekolah kejuruan.
- Pendidikan
kejuruan haruslah dilakukan dengan planning. Memang telah dikatakan bahwa
akan diadakan studi kelayakan dalam mendirikan jurusan/program studi.
Tetapi sejauh mana studi kelayakan yang memakan biaya mahal ini nantinya
akan diwujudkan dalam kenyataan?
Sampai di mana keberanian kita untuk menutup sekolah kejuruan yang telah jenuh ? Beranikah kita melelang alat-alat praktek sekolah kejuruan yang telah jenuh tersebut untuk kemudian dibentuk menjadi sekolah kejuruan baru ? Sampai sejauh mana birokrasi pemerintah dapat “gerak cepat” ? - Hambatan
lain yang harus disingkirkan adalah budaya. Masyarakat dan pemberi kerja
masih terus terpaku pada gelar dan kurang menghargai orang-orng kreatif
yang berpengalaman tetapi tidak mempunyai gelar sarjana. Yang betul adalah
prestasi harus menjadi kriteria nomor satu.
Siswa kita juga
terlalu bergantung pada orang yang lebih tua, lebih berpangkat dan lain-lain.
Hal ini disebabkan karena guru selalu mau menang sendiri. Guru merupakan sumber
informasi yang tidak mau kalaj: salah satu benar, gurulah yang benar. Dengan begitu siswa setelah lulus pun tidak
terbiasa untuk mengambil tanggung jawab dan memilih untuk bersikap kreatif.
Alangkah baiknya
kalau selama pendidikan siswa dilatih untuk membuat /memproduksi alat-alat
praktis yang dapat dijual untuk keperluan pertanian atau rumah tangga atau
industri rumah. Bagi yang program studi kerumah tanggan dapatlah di organisasi
pembuatan pakaian jadi, pakaian bayi atau sulaman atau kue-kue dan sebagainya.
Untuk dipasarkan, atau akhir semester diadakan bazaar yang menjual
barang-barang karya siswa.
Hasil wiraswasta ini
selain dapat digunakan untuk membiayai praktek, juga dapat diberikan sebagian
siswa sebagai keuntungan. Selain itu, dan ini yang lebih penting, siswa belajar
menciptakan kerja sendiri sehingga kalau sudah lulus nanti tidak pasrah menjadi
pengangguran.