Jawa Pos, Rabu PON 6 Juli 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Beberapa tahun yang lalu seorang dokter
angkatan sebelum perang pernah mengeluh bahwa dokter-dokter zaman modern telah
kehilangan “seni” dalam mendiagnosis padisen. Dokter selalu tergantung pada
hasil-hasil laboratorium dan merasa tidk perlu lagi mendengarkan
keluhan-keluhan serta membuat diagnosis berdasarkan gejala yang menyertai suatu
penyakit. Kadang-kadang untuk suatu penyakit yang sama sekali tidak berbahaya,
pasien sudah harus mengeluarkan uang puluhan ribu bagi biaya pemeriksaan
laboratorium dan ternyata kita harus bersyukur kalau hasilnya negatif?
Begitulah kita menghibur diri.
Kecenderungan untuk terlalu bergantung pada
hasil-hasil laboratorium sebelumnya telah melanda negara maju seperti AS
sehingga mulai diragukan efisiensinya dibandingkan dengan biayanya yang mahal.
Pemeriksaan pada tingkat yang sangat dini, ternyata tidak memperlihatkan hasil
yang positif. Kanker misalnya, tidak akan tampak gejalanya pada tingkat yang
amat awal. Beberapa kasus serangan jantung yang fatal telah terjadi pada
orang-orang yang check-up secara teratur dan, tidak jarang, baru menjalani
pemeriksaan terakhir sebulan sebelumnya.
Dan keluhan terhadap ketergantungan akan
teknologi mutakhir bukan datang dari dokter lulusan sebelum perang atau awam
saja. Seorang ahli imunologi, mikrobiologi, dan patologi dan pernah menjadi
dekan fakultas kedokteran di New York City, kemudian di Yale University yang
sekaligus juga merupakan seorang penulis esai puitis yang indah mengenai
science, Lewis Thomas, dalam sebuah wawancara di Jurnal Dialogue No.67 (1985),
mengatakan: “Saya kira kami telah menjadi terlalu spesialis, dan terlalu
tergantung pada teknologi kita. Dalam beberapa hal saya tidak yakin bahwa
teknologi, secanggih apa pun, begitu pentingnya bagi perawatan pasien. Banyak
energi dan usaha telah tersia-siakan dalam satu atau lain prosedur diagnostik”.
Selain itu Lewis Thomas juga melihat bahwa dokter makin sibuk sehingga tidak
mempunyai waktu cukup untuk menjalin hubungan manusiawi (personal contact)
dengan pasien. Padahal hubungan manusiawi seperti ini adalah ganjaran yang
paling berharga bagi dokter praktek.
Ada perbedaan antara dokter lulusan sebelum
perang yang mengeluhkan teknologi maju dengan Lewis Thomas. Yang disebut
belakangan ini memang seorang optimis. Ia melihat kesemuanya itu sebagai
pertanda bahwa Ilmu Kedokteran masih muda karena dari tahun ke tahun tes
laboratorium makin bertambah banyak tetapi belum dibarengi dengan perkembangan
yang sebanding dalam kemampuan untuk menyembuhkan penyakit.
Lewis Thomas membandingkan dunia kedokteran
modern dengan kedokteran di masa ayahnya pada permulaan abad ini. Ayahnya yang
dokter sering mengajaknya memenuhi panggilan pasien. Ia tahu tidak banyak yang
dapat dilakukan ayahnya dengan datang. Dunia obat-obatan masa itu masih begitu
sulit diharapkan sebagai dewa penolong.
***
Beberapa waktu yang lalu saya datang untuk
berobat di sebuah rumah sakit besar dengan bangunan fisik yang megah. Bukan
hanya bangunan fisik yang mengagumkan, tetapi juga jenis spesialisasi klinik
yang beragam dari pengobatan umum hingga penyakit mata, penyakit dalam,
penyakit anak, penyakit saraf, unit gawat darurat hingga laboratorium dan
apotik. Sungguh luar biasa modernnya alat-alat yang ada.
Dengan berbesar hati saya yakin bahwa saya
telah datang di klinik yang tepat. Kalau saya harus periksa laboratorium atau
foto sinar-X, saya hanya perlu berjalan di sekitar rumah sakit tersebut. Saya
tidak perlu menunda hari esok atau lusa. Apalagi rumah sakit dibuka hingga sore
hari!
Saya datang ke klinik pengobatan umum, tetapi
pada waktu mau membeli karcis diketahui lutut saya yang bengkak, saya
dianjurkan untuk ke bagian saraf. Di bagian saraf, lagi-lagi sebelum diperiksa,
saya disarankan untuk ke bagian bedah tulang. Hanya setelah bersilat lidah
bahwa saya masih dapat berjalan dan tidak mungkin ada tulang yang retak atau
perlu dibedah, akhirnya perawat menyuruh saya berbaring.
Di situlah saya diperiksa dokter. Tidak ada
komunikasi apa pun dengan dokter. Pertanyaan saya dijawab oleh perawat dan
segala perintah diberikan oleh perawat. Dokter yang berwajah sedingin es itu
memerintahkan perawat untuk menyiapkan surat foto. Keesokan harinya hasil foto
pun tidak dikomunikasikan. Perawat hanya mengatakan “tidak apa-apa”.
***
Para pasien memang harus mengerti bahwa
berobat di klinik itu murah dan dokter yang menghadapi puluhan atau ratusan
pasien yang sama setiap hari tidak dapat lagi berpikir bahwa setiap pasien
adalah suatu kasus yang khas. Orang sakit bagi para dokter berwajah serupa,
atau bahkan tidak berwajah sama sekali?
Seperti dikatakan Lewis Thomas yang puitis,
hubungan manusiawi merupakan ganjaran bagi para dokter. Rasa percaya pasien
(disuruh periksa laboratorium, disuruh menjalani penyinaran, disuruh foto,
disuruh beli obat apapun pasien tidak menolak karena pasien mempercayai apa
yang disarankan dokter), rasa terima kasih pasien (senyuman, rasa hormat dan
kiriman-kiriman) dan kesembuhan pasien yang terlihat dari kemajuan
kesehatannya, semua itu melebihi dari materi yang diperoleh dari pasien. Bagi
si pasien, hubungan manusiawi ini dapat menjadi motivator dan stimulator bagi
kemajuan dalam proses penyembuhannya.
Dengan rasa percaya penuh pasien mempercayakan
dirinya kepada dokter. Kalau dokter memberikan sugesti bahwa dirinya akan
sembuh, ia pun mengalami kesembuhan. Senyum dokter memberikan kesejukan dalam
hati pasien untuk lebih percaya dan meminum semua obat yang diberikan. Senyum
dan kata-kata ramah dokter berarti undangan bagi pasien untuk kembali berobat
dan untuk tidak terputus asa.
***
Tetapi dokter pada masa ini bukan saja terlalu
bergantung pada teknologi maju, pada hasil-hasil tel laboratorium dan pada
hasil mesin-mesin yang berharga sejumlah miliar rupiah. Kebanyakan dokter pada
masa ini telah menjadi bagian dari mesin-mesin itu sendiri. Lihat saja dokter
ahli anaestasia yang mendampingi operasi si anak malang Theresia. Ia tidak
merasa perlu hadir karena terlalu percaya pada mesin dan mengabaikan pasien
sebagai suatu kasus yang khas. Kasus ini bukan yang pertama. Ataukah, banyak
dokter pada masa ini telah diperbudak teknologi dan bukan seperti seharusnya
memanfaatkan kehadiran teknologi.
***
Dokter lulusan sebelum perang dan banyak orang
awam mungkin dianggap telah ketinggalan zaman. Kebanyakan dokter modern yakin
bahwa teknologi maju memberikan hasil yang tepat dan akurat yang tidak dapat
diberikan oleh seni duga menduga zaman kuno yang dihasilkan dari memeriksa
gejala luar dan keluhan pasien. Tetapi manusia bukanlah benda mati dan karena
itu banyak hal tidak dapat dijelaskan secara pasti hanya lewat hasil tes
laboratorium. Bagaimana seorang pasien dalam tiga hari mempunyai kadar gula
dalam darah berbeda dari 125 hingga 225, misalnya. Tidak dapat diketahui
mengapa pasien yang memberikan hasil pemeriksaan negatif tiba-tiba meninggal
dunia.
***
Amat banyak yang tidak dapat dijelaskan oleh
mesin-mesin mahal yang modern dan canggih itu. Demikian juga selamanya komputer
belum dapat menggantikan dokter dalam pengobatan. Hubungan manusiawi masih
sangat berperan di masa ini atau di masa yang akan datang, kapan pun!