Mengaktifkan Siswa Dalam Proses Belajar Bahasa Inggris



JAWA POS, RABU PAHING 2 September 1987
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Doktor Jenice Grow dari Suny Technical Assistance Project yang bekerja sebagai konsultan di IKIP Jakarta berseminar di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang, mengenai pengajaran bahasa melalui pendekatan komunikatif/pendekatan siswa aktif. Yang dipresentasikan sebenarnya sudah dikenal oleh baik guru maupun dosen, yaitu CBSA (cara belajar siswa aktif) yang di bidang pendidikan secara umum dikenal lewat tulisan Prof. Dr. I. Raka Joni. Sedangkan, yang memberikan ceramah pengajaran bahasa Inggris komunikatif melalui sastra bulan Juli 1986 yang datang di PPIA adalah Dr. Jean McConocchie dari USIS dan Harold Leonard Brich Moody dari British Council juga dengan teknik yang memberikan tekanan pada CBSA. Apa yang ditawarkan Janice Grow kali ini?

BIARKAN SISWA BERPIKIR

Membaca merupakan masalah bagi siswa-siswa kita, apalagi membaca bahasa Inggris. Sangat besar dugaan, demikian Dr. Jenice Grow, bahwa kekurangmampuan siswa membaca dikarenakan siswa kurang mampu berpikir pada saat membaca itu. Juga, karena dalam pengajaran membaca, siswa disodori sebuah teks dan sejumlah pertanyaan untuk mengecek pemahaman mereka. Dengan kata lain, pengajaran membaca identik dengan tes kemampuan membaca. Apalagi, kalau pertanyaan faktual yang jawabannya dapat ditelusuri kata demi kata di teks. Sehingga, siswa yang dapat menjawab belum tentu betul-betul paham akan isi bacaan.

Dr. Grow kemudian mendemonstrasikan sebuah teknik yang menarik. Ia mengajukan suatu cara yang mengharuskan siswa berpikir. Teks bacaan tidak dibagikan terlebih dahulu seperti biasanya. Ia, sebagai guru, membacakan teks tersebut, dan petatar, sebagai siswa, mendengarkan dengan baik-baik. Selesai membaca, guru kemudian mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab dengan kalimat utuh (jawaban panjang). Jawaban siswa adalah inti teks yang tadi dibacakan. Baru kemudian, teks dibagikan, dan siswa membaca, menganalisis, mengenali kata-kata baru, dan akhirnya memahami seluruh teks.

Teknik di atas dapat dikatakan serupa dengan apa yang digunakan oleh L.G. Alexander dalam buku Practice and Progress yaitu dengan menyuruh siswa menjawab sejumlah pertanyaan (dengan kalimat lengkap) yang apabila dirangkai menjadi keseluruhan cerita. Bedanya, Dr. Grow menggunakan keterampilan menyimak sebagai pendahuluan untuk mencapai keterampilan membaca.

SUMBANG SARAN DALAM MENULIS

Menulis selamanya dianggap sebagai keterampilan yang paling sulit. Tahapan kesulitan itu adalah mulai mendapatkan ide ke dalam bentuk tulisan dan bagaimana menyajikannya dalam suatu karangan utuh yang mudah dipahami pembacanya.

Janice Grow dalam hal ini memberikan tekanan kepada pengajaran yang komunikatif, yaitu menulis, dan menulis, tanpa menghiraukan kesalahan-kesalahan ejaan, gramatika atau pilihan kata. Ia menyebutkan empat langkah, yaitu menghimpun ide yang terkumpul dengan cepat, merevisi, dan mengedit.

Mengajarkan keterampilan menulis ini dimulai dari pemberian “tugas” oleh guru. Siswa kemudian saling menunjukkan catatan dan mencocokkan perintah dalam tugas, sehingga tidak ada salah tangkap mengenai tugas yang harus dilakukan. Kemudian, siswa melaksanakan tugas dan mengumpulkan ide atau gagasan secara sumbang saran yaitu saling melontarkan ide mengenai “tugas” sedemikian sehingga dengan cepat dapat terkumpul ide yang banyak tetapi terpadu. Sebagai ilustrasi, Dr. Grow memberikan contoh pengalamannya dalam lokakarya guru-guru SPG yang memberikan penekanan pada tugas-tugas. Tugas tersebut dapat berbentuk masuk kampung guna mendengarkan kelompok tukang dongeng dan petatar harus mengarang cerita; meninjau bersama-sama museum, perpustakaan, dan diserahkan kepada mereka untuk memilih topik yang sesuai bagi mereka sendiri.

Setelah ide terkumpul, siswa dapat mulai menulis. Disarankan agar, kira-kira 15 menit, siswa menulis cepat segala yang dapat ditulisnya. Siswa dianjurkan untuk melupakan kemungkinan membuat kalimat, ejaan, atau pemilihan kata yang salah. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa menggabung-gabungkan ide-ide yang ada dalam sebuah tulisan.

Baru kemudian siswa menuju ke tahap ketiga, yaitu merevisi tulisannya untuk disesuaikan dengan tujuan penulisan (apa pesan yang harus saya sampaikan), siapa pembacanya (ilmuwan atau awam, dan sejauh mana penjelasan perlu diberikan), dan ragam bahasa yang cocok (formal, informal, serius, humoristis, dan sebagainya).

Tahap terakhir adalah mengedit atau membenahi kesalahan gramatika, ejaan, atau pemilihan kata yang kurang pas untuk konteksnya. Dengan selesainya tahap ini, proyek penulisan terselesaikan.

PENGAJARAN GRAMATIKA TIDAK PERLU

Pengajaran komunikatif memang berbeda dengan pendekatan pengajaran bahasa sebelumnya, karena penekanannya pada makna. Dr. Janice Grow berpendapat bahwa pengajaran bahasa kedua sama prosesnya dengan pengajaran bahasa pertama, sedangkan menurut M.A.K. Halliday bahasa mempunyai beberapa fungsi, yaitu,
1.       Instrumental,
2.       Kontrol,
3.       Interaksional,
4.       Personal,
5.       Heuristik,
6.       Imajinatif,
7.       Informatif.

Bayi sudah mengenal fungsi bahasa yang pertama yaitu fungsi instrumental, ketika ia menangis atau menjerit atau mengucapkan satu atau beberapa suku kata guna mendapatkan apa yang dikehendakinya. Fungsi bahasa yang kedua adalah “mengontrol”, yaitu dengan menuntut orang lain melakukan apa yang diperintahkan olehnya. Bayi kemudian berhasil mengatur lingkungan sosialnya melalui fungsi bahasa interaksional. Setelah agak besar (lebih kurang 2 tahun), balita menggunakan fungsi personal untuk menunjukkan perasaannnya. Kemudian ia selalu bertanya “mengapa begini, mengapa begitu” atau fungsi “heuristik” dan setelah besar lagi si anak menggunakan fungsi imajinatif, yaitu berkhayal. Ketika sudah agak besar anak berkenalan dengan fungsi bahasa yang paling dominan, yaitu fungsi informatif. Fungsi informatif inilah yang juga dominan dalam pengajaran bahasa.

Dalam pendekatan komunikatif, penekanan diberikan kepada kelancaran (fluency) berbahasa dan bukan ketepatan bentuk-bentuk linguistik (ejaan, kata, kalimat). Struktur kalimat bukan lagi dihafalkan menggunakan latihan pola, menirukan, dan menghafalkan pola-pola kalimat tersebut. Tetapi, pengajaran bentuk linguistik diberikan dalam situasi kelas yang bermakna, yang diciptakan oleh guru.

Sebuah contoh pengajaran gramatika dalam pendekatan komunikatif didemonstrasikan melalui tugas membuat definisi. Secara sumbang saran diperoleh seperangkat kalimat mengenai apa yang harus didefinisikan dalam tugas tersebut. Misalnya, definisi mengenai apa yang disebut burung. Akhirnya para siswa diberi gambar sejumlah burung dan mereka diminta mencocokkan mana definisi yang betul dan mana yang tidak relevan (burung dapat terbang, tetapi penguin yang burung tidak dapat terbang, dsb). Tenyata dalam tugas ini siswa secara sambil lalu dihadapkan pada latihan menggunakan “indefinite article, a.”

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semua struktur harus diajarkan secara demikian? Tentunya tidak. Kalau semua struktur diajarkan seperti yang dicontohkan, tidak ada lagi bedanya mana struktur yang dibuat lebih menarik daripada struktur lainnya. Akibatnya, para siswa juga tidak akan mengingat semua struktur yang diajarkan (sama pentingnya atau sama tidak pentingnya).

MUNGKINKAH DILAKSANAKAN DI KELAS KITA?

Banyak kritik terhadap pendekatan komunikatif ini adalah lainnya kondisi pengajaran bahasa di negara kita. Kelas yang besar dengan siswa 40 atau lebih, motivasi siswa yang tidak terarah (semua siswa mengatakan bahasa Inggris mereka perlukan, tetapi waktu untuk belajar bahasa Inggris selalu tersisihkan untuk mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran lain), kualitas guru yang kurang yang menyebabkan guru sering kali tidak dapat memutuskan mana tuturan, idiom, gaya bahasa yang digunakan dan mana yang tidak pernah dipakai atau sudah basi. Kalimat yang gramatikal tepat belum tentu terterima. Mungkinkah pendekatan komunikatif dipakai di kelas-kelas bahasa kita (SMTP dan SMTA)?

Pengajaran menulis dengan pendekatan komunikatif tampaknya dapat dilaksanakan meskipun kelas besar. Siswa dapat mengerjakan tugas yang diterimanya, mengumpulkan ide melalui sumbang saran, menulis secara cepat dan merevisi, serta kemudian menyunting. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana guru dapat setiap kali mengoreksi pekerjaan siswa? Di sinilah siswa sekali lagi dilibatkan secara aktif. Beberapa kriteria ditetapkan, dan guru menunjuk seorang siswa untuk membacakan karangannya di depan kelas dan ditanggapi oleh siswa-siswa lain. Menjelang akhir jam pelajaran guru memberikan tanggapannya sebagai ulasan terhadap pekerjaan siswa maupun tanggapan-tanggapan yang telah dilontarkan. Dari tanggapan teman dan guru, diharapkan siswa belajar sendiri tentang kesalahan yang dibuatnya.

Pengajaran membaca secara komunikatif, apabila dimulai dengan teks pendek-pendek, dengan tingkat kesulitan yang disesuaikan juga dapat diterapkan. Tetapi, yang paling penting dalam pengajaran komunikatif adalah teks bacaan haruslah informatif (yang mengandung unsur baru atau belum diketahui siswa) dan menarik. Untuk itu, guru dapat saja mencari sendiri materi bacaan dari surat kabar atau majalah berbahasa Inggris. Atau, pemilihan materi bacaan dapat juga diserahkan kepada siswa. Bagaimana dengan kesesuaian dengan GBPP dan buku paket (kalau ada) atau materi ujian? Justru di sini, letak persoalannya. Siswa bukanlah diajari membaca teks demi teks, tetapi diajari membaca yang dapat dikembangkannya sendiri. Hal ini diperoleh dengan memberinya bekal kemampuan untuk memahami bacaan, mencari kosa kata di kamus atau dari konteks bacaan, mendapatkan tema karangan melalui CBSA.

Yang agak kurang meyakinkan memang pengajaran gramatika yang dinomorduakan ketimbang kelancaran. Hal ini masih sulit dilaksanakan karena acuan ujian masih ke penguasaan gramatika. Lagipula, pengajaran bahasa asing di Indonesia dimulai di SMP (kepada anak 12 tahun ke atas) yang sudah mulai menggunakan cara berpikir deduktif. Apa yang dikatakan Dr. Grow mengenai orang dewasa belajar bahasa kedua mengalami proses yang sama dengan anak-anak belajar bahasa bahasa pertama sudah ditentang oleh para ahli pemerolehan bahasa kedua. Secara kognitif orang dewasa sudah dapat memanfaatkan gramatika dan tulisan, sedangkan anak belajar bahasa pertama bergantung pada masukan lisan dari orang tua atau pengasuhnya. Secara biologis, orang dewasa tidak memiliki kelenturan otot-otot di organ wicara seperti halnya anak-anak sehingga pasti terjadi aksen.

Sebenarnya tidak ada satu metode pengajaran yang paling baik. Setiap metode mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri. Pendekatan audio-lingual, dulu diunggulkan karena memberi siswa kemampuan untuk menirukan dialog-dialog yang diperlukannya dalam percakapan sehari-hari. Sekarang, pendekatan audio-lingual dikecam karena menirukan pola-pola yang dianggap menjemukan dan kurang bermakna. Pendekatan komunikatif masih baru dan kelemahannya mungkin baru akan diketahui setelah digunakan beberapa tahun. Kalau guru merasa lebih cocok menggunakan metode yang lama, yang sudah diketahuinya membawa hasil yang baik, sebaiknya juga tidak tergesa-gesa fanatik beralih ke pendekatan komunikatif.tetapi, mereka yang sneang inovasi, mungkin dapat mencobanya sesekali dan kalau sudah cocok menggunakannya dengan kreatif.