Problematik Membaca dan Menulis Di Taman Kanak-kanak



Jawa Pos, Sabtu WAGE Maret 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Taman kanak-kanak (TK) tidak termasuk sekolah formal. Sebelum masuk SD, tidak terdapat keharusan bagi seorang anak untuk mempunyai “ijazah” TK dan karena itu pula siswa kelas satu SD ada yang mempunyai latar belakang TK dan ada yang tidak. Timbullah masalah yang cukup merepotkan para guru SD kelas satu. Dulu, siswa kelas satu yang tidak datang dari TK akan mengalami kesulitan menyesuaikan diri belajar dalam kelompok yang lebih besar dari kelompok keluarga yang “terlalu menyayanginya”. Jadi masalah anak yang tidak pernah duduk di TK adalah masalah sosialisasi.

Tetapi sejak beberapa tahun yang lalu TK juga mengajarkan membaca dan menulis. Bukan hanya kelas nol besar, kelas nol kecil pun juga mengajarkannya. Perkembangan terakhir ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa TK yang mengajarkannya dapat memperlihatkan bukti-bukti bahwa anak usia 4 dan 5 tahun dapat diajar membaca dan menulis tanpa kesulitan. Guru kelas 1 SD juga mengatakan sulit menghadapi siswa-siswa yang di TK tidak diajarkan membaca dan menulis. Para tokoh pendidikan dan guru TK yang kontra pengajaran membaca dan menulis di TK berpendapat bahwa anak-anak masa usia TK tidaklah boleh terlalu dituntut sehingga “takut sekolah”. Seharusnya TK hanya mengajarkan sosialisasi dan belajar sambil bermain dan bukan belajar dalam arti sesungguhnya. Siapakah diantara kedua kutub ini yang benar?

Perkembangan Pendidikan Prasekolah

Perhatian terhadap anak-anak usia prasekolah sebetulnya sudah ada sejak jaman Comenius pada abad ke-17. Tetapi pencetus ide sekolah TK yang gagasannya berlaku hingga masa kini adalah Frobel, seorang pengikut Pestalozzi, tokoh pembaharuan pendidikan pada masa itu. Frobel mendirikan sekolah untuk anak-anak kecil pada tahun 1837 dan pada tahun 1840 dinamakannya Kindergarten. Peran guru, menurut Frobel, adalah sebagai pendorong anak untuk mengembangkan diri sendiri, melakukan aktivitas diri dan memupuk kebutuhan anak akan aktivitas bersama. Dengan menggunakan bola dan lingkaran diajarkannya kepada anak simbol keutuhan alam.

Gagasan yang sama, yaitu bahwa anak usia TK mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri, dicetuskan juga oleh Maria Montessori, tokoh pendidikan Italia. Agar anak-anak dapat mengembangkan diri dengan baik, ia merancang sebuah model kelas yang mempunyai lingkungan yang menunjang, yaitu bangku-bangku ukuran anak-anak, berbagai materi belajar yang dapat merangsang perkembangan indera, hal-hal yang praktis dalam hidup dan intelektualisme (kognitif). Untuk yang terakhir ini disediakannya huruf-huruf dari kertas ampelas yang dapat diraba (oleh siswa), puzzle geometris warna-warni untuk mengasah ketrampilan problem solving (pemecahan masalah) dan manik-manik untuk berhitung. Baik Montessori maupun Frobel menghendaki belajar di TK haruslah merupakan suatu kegiatan “sambil bermain”.

Tetapi selain Frobel dan Montessori yang pengaruhnya terasa di mana-mana, terdapat juga pendapat bahwa TK atau Kindergarten bukanlah lembaga pendidikan tempat mengajarkan disiplin diri, aktualisasi diri dan pengenalan dunia di luar dirinya melalui permainan. Pada awal abad ke-19 di beberapa kota besar di AS terdapat anggapan bahwa anak yang masuk SD diharapkan sudah dapat menulis. Karena itu anak-anak usia prasekolah diajar di rumah atau dalam kelompok belajar yang mengundang guru wanita privat.

Kejutan peluncuran Sputnik oleh Soviet juga membuat masyarakat AS mempertinggi tuntutan mereka terhadap sekolah sebagai pendidikan formal yang mereka biayai lewat pajak. Tuntutan terhadap pendidikan formal ini akhirnya juga menekan pendidikan prasekolah. Mereka mulai mempertanyakan prinsip John Dewey tentang disiplin diri (hasil penelitian di laboratoriumnya). Pendidikan sains, matematika, dan bahasa asing sejak saat itu mulai masuk SD dan anak sebelum SD sudah harus mempunyai kemampuan membaca dan menulis.

Di Australia pun tuntutan yang tinggi ini berlaku. Sekali dalam seminggu anak TK di Australia diajak ke perpustakaan. Mereka dilepas untuk membaca dan kemudian meminjam satu atau dua buku untuk dibawa pulang. Adalah kewajiban orang tuanya untuk membacakan buku tersebut baginya. Dan anak TK di Australia memang juga sudah pandai membaca dan menulis semuanya.

Di Indonesia pun anak TK sudah diajarkan membaca dan menulis. Metodenya yang bermacam-macam. Ada yang sambil bermain, tetapi tidak sedikit yang menggunakan metode belajar membaca dan menulis seperti yang digunakan di SD, yaitu dengan menyalin (ngeblad) di atas kertas tipis. Metode yang terakhir ini sebetulnya tidak dapat dianjurkan. Anak-anak kelas nol kecil atau nol besar mendapat tugas rumah membuat onde-onde atau garis tongkat sehalaman penuh. Selain monoton, tugas tersebut juga melelahkan.

Depdikbud juga tidak menganjurkan cara seperti itu. Di masa lalu bahkan pelajaran membaca dan menulis di TK dilarang. Pada saat ini, sebuah TK Kristen di Salatiga menjadi salah satu TK perintis (pilot project) Depdikbud. Setiap anak diberi kantong-kantong berisi potongan kalimat, kata dan suku kata, serta huruf. Pada mulanya anak tidak dituntut untuk mengerti. Mereka hanya dirangsang untuk melihat persamaan antara apa yang ditulis guru di papan (dan gambarnya) dengan gambar atau tulisan di kantongnya.

Kemampuan seperti ini memang dapat dikerjakan oleh anak usia 4-5 tahun. Piaget menyebut anak-anak usia ini termasuk tahap pra operasional. Mereka dapat melihat bentuk, warna, dan jumlah yang terdapat dalam sebuah kartu atau gambar, karena itu mereka pun dapat mengambil gamabr yang sama dengan yang dilihatnya (dan diambil dari kantongnya). Misalnya, guru menempelkan gambar si didi dengan tulisan : “ini si didi”. Semuanya ditulis dalam huruf kecil dan yang dipilih adalah suku-suku terbuka. Langkah berikutnya guru menyuruh siswa mengambil dari kantong gambar si didi dan tulisan yang sama “ini si didi”. Kemudian setelah semua siswa berhasil menemukannya, guru menempelkan di papan potongan-potongan “i”, “ni”, “si”, “di”, “di, dan menyuruh siswa mengambil potongan tersebut satu per satu. Begitulah seterusnya. Kelihatannya mudah, tetapi kesabaran dan ketelitian guru sangat diharapkan. Pada awalnya pasti banyak gambar atau kartu yang tercecer atau rusak atau “masuk tas siswa”.

Metode lain untuk mengajar TK yang hampir sama dengan metode di atas adalah “Desa Huruf” karangan Drs. Soewadji, Direktur Pusat Pengembangan Pendidikan Kristen Salatiga, bersama seorang tokoh pendidikan Belanda Ani Keuper-Makkink. Persamaan kedua metode tersebut terletak pada “Metode SAS atau Struktur Analisis Sintesis” dan cara presentasinya. Bedanya, “Desa Huruf” sekaligus menyajikan suku terbuka dan suku tertutup, seperti “nenas” untuk mengajarkan “N” dan “itik” untuk mengajarkan “I”. gambar-gambar yang dipakai juga sulit diterapkan untuk anak kota karena gambar “bapak” dan “ibu” adalah gambar bapak tani dan ibu menggendong bakul. Mungkin penelitian masih diperlukan untuk melihat kesesuaian peraga yang dipakai.

Beberapa Teori Belajar

Belajar mencapai hasil maksimal apabila diberikan (diterima siswa) pada masa pekanya. Montessori beranggapan bahwa anak usia 4-5 tahun memiliki masa peka bagi belajar bahasa sehingga juga peka untuk belajar membaca dan menulis. Montessori menggunakan kertas ampelas untuk menghubungkan masa peka belajar bahasa dengan masa peka sensori atau belajar lewat meraba. Ia berkukuh bahwa anak yang telah mempunyai kemampuan membaca dan menulis (kemampuan menulis dahulu sebelum membaca) pada usia 4-5 tahun akan lebih bergairah terhadap buku-buku ketimbang anak-anak yang belajar membaca dan menulis setelah usia 6-7 tahun.

Plaget membagiperkembangan anak menjadi 4 tahapan. Tahap pertama adalah tahap sensori motor yaitu sejak lahir hingga usia 2 tahun. Ini terlihat dari gerakan refleks mengisap begitu lahir, mengisap jari pada waktu berusia beberapa bulan, merangkak dan membawa semua benda yang dapat digapainya ke dalam mulutnya. Tahap berikutnya adalah tahap praoperasional (usia 2 hingga 6 tahun). Pada masa ini anak belajar kata-kata dan diperkirakan anak usia 5 tahun telah mempunyai kemampuan berbicara dengan bahasa seperti yang digunakan orang dewasa. Cara berpikirnya masih linier. Misalnya, ia dapat menjumlahkan (dengan jari atau alat peraga lain) “2+3=5”. Anak usia tersebut juga seringkali memberikan jawaban yang didengarnya terakhir, seperti: 

“Ani mau es krim atau kue?,
 jawabnya “kue”
“Ani mau kue atau es krim?”
jawabnya: “es krim”.

Anak usia ini, menurut Piaget juga telah mengenal warna, bentuk dan jumlah. Tetapi kalau ia dihadapkan berbagai bentuk dan diminta untuk mengelompokkan menurut bentuk-bentuk itu, atau menurut warna-warna, ia belum sanggup. Dua tahap berikutnya adalah pengoperasian konkret (7-11 tahun) dan berpikir formal (11 tahun hingga dewasa).

Penutup

Perbedaan pendapat para pendidik mengenai membaca dan menulis di TK memang patut mendapatkan perhatian. Kepala sekolah TK sendiri menghadapi kesulitan. Di satu pihak masyarakat menuntut pendidikan yang tinggi untuk anak-anaknya yang bersekolah di TK. Kalau anak tetangga bersekolah di TK tertentu diajar membaca dan menulis, sedangkan anaknya tidak, ia akan protes kepada kepala sekolah TK anaknya. Tetapi tidak sedikit juga terdapat protes dan gerutu masyarakat karena anak-anaknya setiap hendak berangkat sekolah selalu mogok dan merasa sakit atau mual-mual. Beberapa orang tua mengaku terpaksa mengambilkan les privat bagi anaknya agar bisa mengejar “ketinggalan” dari teman-temannya.

Kalau dilihat teori-teori pendidikan yang melandasi perkembangan mental anak, anak-anak usia prasekolah sensitif terhadap bahasa dan karenanya dapat diajar membaca dan menulis. Pada usia prasekolah ini anak-anak baru belajar melalui trial and error. Mereka belum siap untuk suatu tugas yang sistematis.
Anak-anak usia prasekolah juga berada dalam tahap pra operasional. Sebuah percobaan oleh Inhelder dan Sinclair menunjukkan kebenaran pendapat Plaget. Sejumlah anak usia 4-5 tahun diperlihatkan sepuluh batang lidi yang panjangnya tidak sama. Batang lidi tersebut disusun dari pendek ke yang paling panjang. Seminggu kemudian anak-anak tersebut disuruh menyusun seperti yang mereka lihat sebelumnya. Mereka bukannya menyusun dari pendek ke yang paling panjang, tetapi mencari yang sama panjangnya dan membagi sepuluh lidi tersebut menjadi dua atau tiga kelompok. Enam bulan kemudian mereka diberi sepuluh lidi itu lagi. Ada kemajuan bahwa mereka menyusun lidi tersebut mendekati susunan dari pendek ke yang paling panjang. Padahal semestinya diharapkan anak-anak itu telah melupakan apa yang mereka lihat enam bulan sebelumnya.

Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan mental anak memang dapat diramalkan sesuai dengan usianya.
Jadi permasalahan membaca dan menulisdi TK bukannya “bolehkah kedua mata pelajaran itu diajarkan”, tetapi metode apa yang boleh dipakai untuk mengajarkannya. Jika kita memakai metode belajar sambil menulis pasti akan berguna. Bahkan Montessori mengatakan tidak ada keuntungannya yaitu anak lebih bergairah membaca di kemudian harinya. Tetapi, tentu saja mengajarkan membaca dan menulis sistem bermain-main memang jauh lebih sulit daripada mengajarkannya dengan sistem di SD. Lebih-lebih guru dituntut untuk kretif dan tanggap terhadap reaksi murid. Bukan “membaca/menulis” tetapi metodenyalah yang harus mendapatkan perhatian utama. Dengan demikian TK sekaligus dapat menjawab kedua tuntutan masyarakat, yaitu “Anak-anak TK belajar membaca dan menulis tanpa harus mogok atau sakit sebelum berangkat sekolah”.

Tantangan berikutnya adalah haruskah TK menjadi bagian dari pendidikan formal? Sudah sanggupkah pemerintah, didampingi swasta, menyelenggarakan pendidikan Taman Kanak-kanak untuk semua anak usia prasekolah?