Pendidikan Interpreter: Bidang Pekerjaan yang Masih Langka



Senin, 21 Maret 1983, KOMPAS
Oleh : Wuri Soedjatmiko
 
Sebuah saran yang sangat bagus dilontarkan oleh Direktur Pendidikan Menengah Umum (PMU), Dr Beny Suprapto (Kompas, 17 Januari 1983) bahwa lapangan kerja yang disediakan pemerintah yang kini masih belum banyak dimasuki adalah interpreter (penerjemah lisan). Padahal interpreter memang sangat dibutuhkan untuk pertemuan-pertemuan internasional, pemandu wisata, perundingan dagang internasional.
Pekerjaan tersebut juga kelihatan jelas prospeknya, baik secara finansial maupun kedudukan di mata masyarakat. Hanya mungkin sekali ada beberapa kesulitan yang perlu disoroti untuk memotivasi siswa SMA.
 
Pengajaran bahasa Inggris di SLTA 

Tidak disangkal, pengajaran bahasa Inggris di SMTA tidak dapat dikatakan berhasil. Ini terbukti dengan penguasaan bahasa Inggris yang rendah oleh mahasiswa jurusan nonInggris. Beberapa guru bahasa Inggris yang mengajar Aplikasi Bahasa Inggris sering mengeluh bahwa penguasaan yang elementary (dasar) saja belum tercapai. Jika masalahnya demikian, jelas siswa lulusan SMTA tidak akan berminat untuk melanjutkan pendidikannya menjadi interpreter. Bahasa Inggris itu sukar, membosankan.

Siapakah atau apakah yang harus dipersalahkan dalam kegagalan tersebut? Dasar bahasa Inggris dari SMP yang berbeda-beda karena siswa yang memasuki SMTA datang dari berbagai SMTP dan berbagai kota yang mutunya tidak sama. Guru yang mengajar di berbagai sekolah sekaligus tidak dapat kreatif dalam menggunakan teknik pengajaran atau pencarian alat bantu pengajaran dan materi.

Selain itu guru juga dihadapkan pada kelas-kelas yang besar. Pengajaran bahasa dapat berhasil apabila kelas hanya terdiri maksimal 25 siswa. Padahal kelas-kelas di SMTA yang paling kecil adalah 40 dan bahkan ada yang 80 siswa. Materi bahasa Inggris di SMTA juga dikatakan terlalu padat. Untuk menyelesaikan materi tersebut (demi EBTA), guru dipaksa untuk lebih menitikberatkan pengajaran pada pemahaman tata bahasa.
Nampaknya seluruh sistem harus ditinjau untuk memperbaiki pengajaran bahsa Inggris di SMTA. Tentu saja beberapa persen dari siswa SMTA berhasil juga memiliki penguasaan bahasa Inggris yang cukup memadai. Mereka inilah biasanya yang kemudian memasuki IKIP jurusan bahasa Inggris atau Sastra Inggris. Bagaimana kemungkinan mereka untuk memasuki pendidikan interpreter ?

Terjemahan lisan dan tertulis

Eugene Nida dalam The Science of Translation mengatakan bahwa terjemahan adalah masalah transfer makna. Dalam melakukan penterjemahan, seseorang sebenarnya melakukan analisa (tatabahasa, sistem bunyi dan kosa kata) terhadap apa yang dibaca atau didengarnya dan menjadi konsep dalam bahasa pertama (B1). Konsep B1 kemudian ditransferkan ke dalam konsep bahasa kedua (B2) dengan menggunakan analisa kebudayaan (K1 – K2), lingkungan, sosial-ekonomi, politik dan lain-lain. Konsep B2 ini kemudian harus disintesiskan (tatabahasa, kosa kata, sistem bunyi) menjadi pesan yang dapat dibaca atau didengar oleh pemakai B2.

Apabila seorang penterjemah hanya mengenal sistem linguistik dan tidak mengenal latar belakang kebudayaan, sosial-ekonomi, politik, lingkungan dan lain-lain, ia dapat menyebabkan kesalahpahaman yang serius. Humor di suatu bahasa dapat menjadi hal yang tabu dalam bahasa lain, misalnya.

Interpreter, bahasa lisan

Apabila bagi penterjemah disyaratkan untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap B1 dan B2 di latar belakang kedua bahasa, seorang interpreter dituntut untuk mempunyai kesanggupan bahasa lisan (menyimak dan wicara) dengan baik dalam kedua bahasa tersebut. Kemampuan inilah yang harus diajarkan secara intensif.

Seorang guru di sekolah internasional mengatakan, seorang anak yang sama sekali tidak mengenal bahasa Inggris dapat berbicara, membaca, menulis dan mendengar kalimat-kalimat sederhana dalam bahasa Inggris dalam waktu sedikitnya enam bulan.

Banyak keuntungan yang dipunyai anak semacam ini. Pertama, karena usianya yang masih muda ia berada dalam situasi peka belajar bahasa sehingga bunyi-bunyi bahasa kedua (bahasa Inggris) dapat diucapkannya dengan betul. Kedua, ia dipaksa untuk berbicara bahasa Inggris sepanjang waktu sekolah, setiap hari bahkan setiap menit, dengan teman maupun gurunya. Ketiga, jumlah siswa yang mengikuti pendidikan intensif tersebut biasanya dua atau tiga orang. Sebagai perbandingan dapat dilihat kemampuan berbahasa lisan mahasiswa dan lulusan IKIP jurusan bahasa Inggris masih kurang memuaskan, meskipun telah mendapat pendidikan selama empat tahun.

Apabila dari tadi, dibicarakan tentang B2 yaitu bahasa Inggris bukannya hendak mengabaikan bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa Indonesia siswa SMTA juga diasumsikan kurang memuaskan. Hal ini dapat ditelusuri dari makalah-makalah yang kemudian mereka buat setelah memasuki perguruan tinggi. Padahal menterjemahkan lisan maupun tertulis, seperti dikatakan, adalah masalah B1 dan B2. Memahami bahasa Inggris dengan baik tetapi miskin pemahaman bahasa Indonesianya juga akan membuahkan terjemahan yang kurang bermutu.

Pelaksanaan: faktor meramal

Jika penguasaan kedua bahasa, baik linguistik maupun kultural sudah memuaskan, masih ada persoalan lain yang harus dikuasai seorang interpreter, yaitu kemampuan untuk meramal apa yang seterusnya akan diucapkan pembicara begitu interpreter mendengar ujung kalimat. Meramal tersebut harus meliput pengetahuan akan suasana politik (dalam urusan kenegaraan), politik dagang (di bidang usaha) atau pengetahuan umum yang sangat luas.

Untuk menjadi interpreter seseorang harus dilatih berpikir cepat, beralih kode secara otomatis dan setidak-tidaknya mempunyai intelegensia yang tinggi. Yang terlatih tetapi kurang cerdas tidak akan dapat melakukan pekerjaan meramal, menganalisa, mengalihkodekan dalam waktu yang relatif singkat pembicaraan-pembicaraan yang seringkali tidak mudah. Cerdas dan memiliki kemampuan bahasa yang baik (B1 dan B2) tetapi tidak terlatih juga sama saja akibatnya.

Jangka panjang

Pendidikan interpreter memang seharusnya dirintis dimana-mana. Prospeknya sangat cemerlang. Tetapi jelas pendidikan tersebut tidak dapat dilakukan secara singkat macam kursus-kursus. Kurikulum yang jelas dan teratur harus disusun, antara lain berapa proporsia, bahasa Inggris, pengetahuan umum, kebudayaan (pemahaman antarbudaya) dan praktek lapangan. Mungkin dalam pendidikan tersebut juga perlu diadakan spesialisasi pada tingkat sarjana. Misalnya interpreter politik, interpreter ekonomi, anthropologi, arkeologi, dan lain-lain menurut kebutuhan yang menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan kenegaraan dalam perencanaan minimal 10 tahun.

Alih kredit mungkin sekali dapat diberikan pada calon yang telah fasih B1 dan B2 atau di lain pihak pada calon yang sebelumnya telah mengikuti pendidikan keahlian (ekonomi, sospol, dan lain-lain).
Yang jelas pendidikan enterpreter bukan pendidikan jangka pendek apabila inputnya lulusan SMTA. Bahkan disarankan agar salah satu syarat penerimaan adalah tes intelegensia. Interpreter nampaknya bukan pendidikan yang mudah. Hal itu pula yang mungkin menyebabkan lapangan kerja ini masih langka.

*Dra Wuri Sudjatmiko adalah lulusan jurusan Bahasa Inggris IKIP Sanata Dharma dan kini peserta program Pasca Sarjana IKIP Malang.