Hubungan orang tua-anak dalam pergeseran nilai budaya

Surabaya Post, Sabtu, 25 September 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Seorang laki-laki tua yang telah meninggalkan keluarganya dan hidup di Negeri Belanda selama 30 tahun dan telah menikah lagi dan mempunyai 8 anak dari istrinya yang kedua telah mengeluarkan banyak uang karena mendengar bahwa ia mungkin dapat menemukan kembali anaknya yang di Indonesia. Setelah memakan waktu cukup lama akhirnya ditemukannya anaknya yang telah berkeluarga. Ia tidak hanya bertemu anaknya, tetapi juga menantu dan cucu-cucunya. Besar keinginannya untuk melewatkan hari tuanya bersama anak dan cucunya. Apa yang dicari laki-laki tua ini? Sebagai orang Timur ia teringat pada waktu kecil tinggal bersama ayah, ibu, kakek dan neneknya serumah. Ia teringat betapa hormatnya ayah – ibunya terhadap orang tua mereka. Kini sebagai orang tua ia merindukan apa yang tidak didapatnya di Barat, dunia individualistis yang meninjau segala sesuatu dari segi praktis. Rumah-rumah kecil yang dibangun di atas tanah yang sempit atau flat-flat tidak dapat menampung “keluarga besar”. Pilihan bagi orang-orang tua di Barat hanyalah hidup sendiri atau hidup bersama orang-orang tua lainnya di panti wreda usia.

MASA LAMPAU

Hubungan antara orangtua dengan anaknya di masa lampau bersifat otoriter. Orangtua berhak mengatakan TIDAK tanpa memberi alasan apa pun dan si anak wajib untuk mematuhinya tanpa memperhitungkan bagaimana perasaannnya sendiri pada waktu itu. Orangtua merasa berkewajiban untuk mengatur kehidupan anaknya menurut apa yang dianggapnya benar. Tidak ada anak yang berani membantah kebijaksanaan orangtuanya. Hubungan otoriter tersebut berlangsung hingga si anak menjadi dewasa dan berkeluarga hingga orangtua meninggal dunia dan si anak meneruskan sifat otoriter tersebut terhadap anak-cucunya. Memberontak adalah DURHAKA dan kewajiban anaknya untuk merawat orangtuanya di hari tua mereka. Tidak ada alternatif lain bagi hubungan orangtua dan anak bagi masyarakat Timur.

MASUKNYA INDIVIDUALISME BARAT

Di Barat hubungan antara orangtua dan anak mengalami perubahan sesuai dengan berpindahnya fungsi keluarga yang lama, yaitu keagamaan, pendidikan, ekonomi, proteksi, penunjang status, rekreasi kepada lembaga-lembaga sosial sesuai dengan kemajuan jaman dan perkembangan desa-kota (W.F. Ogburn, 1929). Orangtua tidak dapat mengharapkan bantuan anaknya yang sudah dewasa dalam mengelola pekerjaannya, karena anak mencari pekerjaan di kota. Secara ekonomis anak juga tidak lagi bergantung dari orangtua. Sekolah-sekolah juga mengambil alih fungsi mendidik orangtua dan sekaligus juga mengambil alih fungsi mendidik orangtua dan sekaligus juga memasukan ide-ide baru sehingga orangtua bukan lagi pihak yang seratus persen benar.

Setelah PD II, menurunnya usia kawin, banyak anak yang terlahir dan ibu-ibu muda yang pergi bekerja di luar rumah membuat orangtua muda tergantung kepada si Kakek dan Nenek. Namun hubungan ini terjalin hanya dalam bentuk pemberian bantuan oleh orangtua kepada anaknya yang sudah dewasa, saling berkunjung. Jadi urbanisasi, pergeseran budaya dusun, tidak mewarisnya pekerjaan orangtua dan naiknya upah masyarakat golongan menengah telah memperkokoh isolasi keluarga-nuklir (ayah, ibu dan anak-anak).
Pada tahun 1946 Benjamin McLane Spock-menulis buku yang membuatnya sangat terkenal yaitu The Common Sense Book of Baby and Child Care. Dalam buku tersebut ia mengemukakan teori pendidikan anak yang bertolak belakang dengan pendidikan tradisional dan menganjurkan adanya penghargaan timbal-balik antara orangtua dan anak. Ia juga banyak menulis artikel dalam majalah-majalah. Teorinya yang modern tersebut segera mendapat sambutan masyarakat yang haus akan segala sesuatu yang bersifat modern. Orangtua mengembangkan daya pikir anak yang kritis dengan memperbolehkan mereka mempertanyakan kebijaksanaan orangtuanya. Bila orangtua salah mereka bersedia meminta maaf. Karena manusia adalah individu yang tidak dapat diprogram seperti halnya komputer, terjadilah di sana sini ekeses kebebasan pendidikan sehingga beberapa tahun yang lalu Benjamin Spock mulai mempertanyakan apakah teori pendidikannya yang keliru. Anak balik memerintah orangtua. Kesadaran bahwa mereka tidak minta dilahirkan juga meniadakan tanggung jawab untuk merawat orangtua di hari tua mereka. Opini Barat menerima kenyataan tersebut. Banyak orangtua yang tidak mau hidup tergantung dari anak-anaknya yang telah dewasa. Apabila mereka tidak sanggup hidup sendiri, pada usia tertentu mereka mendaftarkan diri ke rumah atau panti wreda usia. Dasar pemikiran mereka ditopang oleh biaya penghidupan dan biaya pengobatan yang mahal. Seandainya mereka tidak masuk pada saat yang tepat, mereka tidak dapat diterima oleh panti-panti wreda usia dan hal ini akan menyulitkan bagi dirinya maupun anaknya. Pada akhir pekan atau hari libur anak-anaknya bergantian mengunjunginya atau mengajaknya berlibur sehingga hubungan keluarga tetap terjalin dengan menyenangkan tanpa saling merepotkan. Inilah pola berpikir Barat.

Orangtua Indonesia dari lingkungan menengah ke atas juga dipengaruhi oleh pendidikan Spock sejak sekitar 25 tahun yang lalu. Orangtua memberikan kebebasan dialog dalam keluarga. Orangtua yang sekarang ini berusia sekitar limapuluh tahun ke bawah menyadari bahwa mereka tidak boleh menjadi beban anaknya. Mereka berpedoman akan bekerja sampai tua, hidup dalam rumah sendiri hingga ajal atau jika terpaksa tinggal dalam panti wreda usia kelak. Namun, kesiapan mental untuk hidup tidak tergantung dari anak ini berkembang juga dengan sikap memberontak dari otoriter orangtuanya sendiri yang sudah berusia tujuhpuluh tahunan lebih. Yang terakhir ini belum siap melepaskan proteksinya terhadap anaknya yang sudah setengah abad. Pergeseran budaya ternyata menimbulkan konflik batin dalam diri generasi tengah-tengah ini. Sebagai “anak” ia dididik agar patuh pada orangtua. Membuat orangtua marah adalah dosa. Ia tidak boleh tidak bertanggung jawab atas tempat tinggal, perawatan hari tua dan kebahagiaan orangtuanya. Di samping itu sebagai manusia yang sudah menerima pola berpikir Barat, ia memberontak apabila hidupnya yang sudah tua ini masih diatur oleh orangtuanya bagaimanapun hormatnya ia terhadap mereka. Jika ia perlu bekerja sampai malam dan orangtuanya berulang kali datang kepadanya menyuruh tidur hanya karena rasa sayang orangtua agar anaknya tidak sakit, haruskah ia berterima kasih atau merasa jengkel? Seandainya ia diet tetapi orangtuanya berulangkali membuatkan masakan yang lezat-lezat, manakah yang harus dipilihnya: kepentingan dirinya sendiri tapi mengecewakan orangtua atau mengorbankan diet dan menyenangkan orangtua? Apabila orangtua mencoba ikut menyelesaikan pertengkarannya dengan isterinya tapi malah memperuncing keadaan, di pihak siapa ia harus berdiri?

MASA MENDATANG

Pergeseran budaya ini dalam sepuluh atau duapuluh tahun mendatang bukan lagi merupakan masalah masyarakat golongan menengah ke atas. Pendidikan sudah menjangkau desa dan pemuda-pemuda desa sudah meninggalkan pekerjaan warisan orangtuanya mencari pekerjaan buruh bangunan, buruh industri dan pembantu rumah tangga. Mereka dipesona oleh kehidupan kota yang tidak mengijinkan mereka tergantung dari orang lain. Mereka akan mengajar anak-anak berpikir dengan pola kota. Mereka akan bekerja keras agar anak-anak mereka dapat bersekolah. Mereka berbuat semua itu tanpa pamrih dan tidak mengungkit-ungkit agar anak-anak membalas jasa di hari tua nanti. Pada saat yang bersamaan jiwa mereka juga berubah dengan melepaskan diri dari proteksi. Jika orangtua datang meminta uang untuk mengelola sawah mereka mulai mempertanyakan apakah menguntungkan atau tidak. Bukankah mereka masih membutuhkannya untuk menyekolahkan anak-anaknya dan membeli kebutuhan lainnya? Bolehkah ia mendahulukan kepentingan anak-istrinya atau haruskah ia menyuruh mereka mengalah demi suatu pekerjaan yang diketahuinya bakal merugi? Seandainya bayinya mencret dan oleh dokter diharuskanmakan bubur halus tetapi neneknya memaksa untuk mendulangnya dengan telur asin karena tradisinya demikian, harus pasrahkah ia menentukan sikap dengan risiko mengecewakan ibunya?

MASING-MASING MERASA BENAR

Pergeseran nilai budaya telah menyebabkan jurang pemisah antara golongan tua dan muda. Persoalannya, masing-masing berpegang teguh bahwa pendiriannya adalah mutlak benar. Orangtua yang saat ini berusia enampuluh ke atas tidak dapat menerima sikap anaknya yang menuntut kebebasan individu dalam segala tindakannya dengan tanggung jawab penuh pada dirinya. Si anak tua tidak mau mengerti bahwa orangtua menuntut “balas-jasa” karena begitulah aturan permainan yang dikenalnya. Orangtua dalam kesendiriannya seringkali kesepian dan ingin ada yang diajaknya omong-omong. Si anak dewasa terlalu sibuk hingga tidak dapat mendengarkan omongan orangtuanya yang mengisahkan jaman keemasannya. Namun pergeseran budaya justru menimbulkan konflik batin dalam dirinya. Antara kewajibannya sebagai individu – masa – kini dan anak yang berbakti tidak terdapat penyelesaian.

Sekarang yang mengalami pergeseran nilai budaya ini mungkin baru hubungan antara orangtua dan anak dari kalangan menengah ke atas. Sepuluh atau duapuluh tahun mendatang masalah ini akan menjadi masalah seluruh lapisan masyarakat. Tidak perlukah mulai sekarang dicarikan pendekatan bagi kedia pihak agar masalah tersebut tidak usah terjadi kelak? Mungkinkah kita mempersiapkan setiap orangtua agar menghadapi masa tuanya dengan nrimo dan turun tahta dari kekuasaannya sebagai ibu atau ayah dari anaknya yang sudah dewasa. Atau, mungkinkah kita menghimbau masyarakat untuk kembali ke pola pemikiran tradisional.