Surabaya Post, Rabu 10 November 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko
10 November tahun ini kita memperingati Hari
Pahlawan yang ke-37 kalinya. Untuk kesekian kalinya para siswa berpakaian
putih-putih mengikuti upacara dan diingatkan akan jasa maupun yang selamat
dalam membela kemerdekaan. Bagi siswa-siswa Surabaya, beberapa event bersejarah
dapat dihidupkan kembali pada saat ini. Peristiwa penyobekan warna biru dari
rood-wlt-blauw di Hotel Oranje, misalnya. Namun nilai apa yang dapat dipetik
oleh sekian puluh ribu siswa di Surabaya. Kesan apa yang terpotret dalam jiwa
siswa-siswa ini setelah upacara berakhir?
Pada saat pemuda-pemuda Indonesia dengan hati
was-was berusaha menjauhi jatuhnya bom-bom sekutu dan dengan mencoba menembaki
pesawat terbang musuh yang lewat di atasnya, para siswa yang sekarang mengikuti
upacara Hari Pahlawan hari ini belum lahir. Bagi para siswa ini Hari Pahlawan
adalah sejarah dan sejarah hanya sesuatu yang dipelajarinya di sekolah. Jika
siswa mendapat guru sejarah yang baik, ia akan memperoleh latar belakang dan
arti sejarah ini. Untuk apa para pahlawan kita berperang? Untuk apa segala
pertumpahan darah itu sehingga Pemerintah merasa perlu menetapkan satu hari
yaitu tanggal 10 November untuk menyucikannya? Namun malanglah siswa yang
mempunyai guru sejarah yang kurang berdedikasi. Baginya Hari Pahlawan dan 10
November 1945 hanya merupakan bahan hafalan belaka. Nah, yang terakhir inilah
yang menggugah hati kita.
Yang dihitung sebagai pahlawan memang bukan hanya mereka yang
berjasa dalam peperangan. Ada pahlawan dalam peperangan. Ada pahlawan dalam
ilmu pengetahuan; ada pahlawan dalam dunia sastra, seni; ada pahlawan-pahlawan
pemikir: pahlawan yang berjasa dalam memimpin negara. Pada hari ini Hari Pahlawan
kita memperingati Pahlawan yang telah mempertaruhkan hidupnya dalam
mempertahankan kemerdekaan kita. Apabila predikat pahlawan-pahlawan lainnya
mungkin masih dapat dimusyawarahkan. Pahlawan yang ini mutlak bagi kita semua.
Dan mereka ini harus hidup dalam jiwa siswa-siswa kita meskipun mereka belum
dilahirkan pada saat pejuang-pejuang itu beraksi.
****
Banyak artikel sejarah telah ditulis. Buku
sejarah juga mengabadikan peristiwa tersebut. Namun, bagi siswa-siswa terbanyak
artikel berat belum terjangkau. Belum ada motivasi mereka untuk memeras otak
mencerna tulisan yang berat-berat. Novel! Itulah bacaan remaja. Novel
sejarahlah yang dapat menolong para siswa menghayati arti peperangan membela
kemerdekaan tersebut.
Pada saat ini ada dua novel sejarah yang sudah
ditulis dengan gaya bahasa yang enak dan cerita yang sangat menarik, yang
bercerita tentang revolusi di Surabaya. Yang pertama terbitan tahun 1965
(cetakan pertama) yaitu Revolusi di Nusa
Damai karya K’tut Tantri, wanita Amerika yang terlibat sendiri dalam
pertempuran di Surabaya.
Buku kedua adalah Pita Merah di Lengan Kiri
karya Gatut Kusumo yang diterbitkan tahun kemarin. Gatut Kusumo adalah orang
TRIP dan arek-arek TRIP dapat dihidupkannya dengan gayanya yang tak ubah gaya
cerita lisannya, apabila anda mengenal penulisnya. Tetapi mengapa buku ini
belum terjamah siswa-siswa kita apabila ceritanya begitu menarik dan hidup?
Nampaknya tidak terlalu dibesar-besarkan
apabila kita mengasumsikan bahwa tebal,
judul dan gambar kulit buku tersebutlah yang “menakutkan” siswa untuk mulai membaca halaman pertamanya.
Selain itu, mungkin sekali bagi siswa terbanyak membaca buku yang bertemakan
“serius” dengan jumlah halaman yang besar kurang menarik. Lain halnya apabila buku
tersebut novel percintaan atau buku petualangan karanngan Enid Blyton (di jaman
dulu buku-buku Karl May).
Kecenderungan anak-anak seperti ini nampaknya
sudah dipecahkan di luar negeri. Misalnya buku-buku sastra yang berat
disederhanakan hingga tiga atau empat tingkatan hingga yang SD pun dapat
membacanya. Penerbit buku GRAMEDIA pun telah banyak menyederhanakan karya
sastra Barat seperti karya Jacob Grimm dalam buku Cerita Lima Benuanya. Buku-buku tersebut memang dapat memikat hati
anak-anak.
Demikian juga halnya buku-buku Revolusi di Nusa Damai dan Pita Merah di Lengan Kiri yang
seyogyanya dapat membantu siswa-siswa kita menghayati arti 10 November 1945.
Buku-buku tersebut dapat pula diterbitkan dalam versi anak-anak hingga anak SD
pun dapat pula ikut berbicara tentang kedua buku tersebut dan tentang 10
November di kotanya, Surabaya. Selain versi anak-anak, mungkin dapat pula
diterbitkan versi remaja. Keduanya tetap dalam prosa dan tidak menghilangkan
kisah-kisah yang manusiawi seperti yang diceritakan dalam Merah di Lengan Kiri: bahwa dalam perang yang dihadapi anak-anak
belasan tahun itu peluru baja yang tidak bisa disangkal dengan bambu kuning di
dada supaya kebal: bahwa mereka juga membutuhkan surat dan masih bersorak kalau
ransum datang. Pahlawan-pahlawan kita adalah manusia juga sama dengan mereka
siswa-siswi kita sekarang.
Hari pahlawan adalah cara kita mengenang dan
menghormati pahlawan kita. Namun hari itu tidak boleh selesai bersamaan dengan
berakhirnya upacaran dan bubarnya barisan.
Sudah tiba saatnya bagi kita semua untuk dapat
menghayati nilai-nilai secara lebih mendalam. Guru sejarah mengajarkannya lewat
pengajaran dan cerita tentang latar belakang sejarah. Sastrawan kita
mengajarkan nilai lewat karya sastranya. Dan kedua buku tersebut yang secara
kebetulan ditulis oleh tokoh-tokoh yang mengalami sendiri peristiwa bersejarah
tersebut dapat membantu banyak. Jika memang tingkatan buku tersebut belum
terjangkau oleh siswa kita, mengapa tidak diusahakan terbitan yang bahasanya
lebih sederhana, dan lebih tipis dari buku yang sama?
Tugas orang tua adalah memilihkan buku
anaknya. Namun kalausi anak disodori buku dan buku itu tidak cocok dengan
seleranya, bukankah buku tersebut tidak terjamah juga?
Mungkin ada yang bertanya, mengapa kita tidak
mengarang novel sejarah versi anak-anak yang baru saja. Pertama, kedua buku
tersebut adalah karya orang-orang yang mempunyai otoritas untuk bercerita
tentang jaman itu. Kedua, karya mereka memang sangat indah. Dan ketiga, edisi
sederhana atau versi anak-anak dan versi remaja dari sebuah karya besar merupakan
motivator pemula agar si siswa menyenangi karya aslinya.