Banyak anak dengan IQ tinggi gagal dalam studinya



Surabaya Post, Rabu 30 Juni 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Akhir-akhir ini tes inteligensia atau lebih dikenal dengan sebutan tes IQ (karena tes ini mengukur IQ seseorang) telah membudaya dalam masyarakat kita.  Banyak SD, SMP dan SMA telah menggunakan tes inteligensia ini sebagai tolok ukur penerimaan siswa baru. Juga dalam tes masuk program Pasca Sarjana dan Program Doktor baru-baru ini tes inteligensia digunakan di samping tes bahasa Inggris. Kabarnya, tes masuk perguruan tinggi (PP) tahun depan pun akan menggunakan tes inteligensia di samping tes yang sekarang digunakan.

Tes inteligensia ini bahkan juga sudah populer di kalangan orang tua siswa. Banyak dari mereka yang membawa anaknya ke psikolog untuk dites IQ-nya. Lalu di antara mereka timbullah percakapan tentang berapa IQ anak mereka itu.

TES INTELIGENSIA DAN MANFAATNYA

Tes inteligensia ini ditemukan kira-kira seratus tahun lalu dengan bentuk tes dan manfaatnya yang masih sederhana. Tes ini kemudian disempurnakan oleh sarjana ahli psikologi Perancis Alfred Binet yang bersama muridnya Theodore Simon menemukan tes yang dapat mengidentifikasi anak-anak lemah otak di kalangan anak-anak sekolah Perancis. Tes inteligensia yang kemudian dikenal dengan Binet-Simon ini kemudian disempurnakan oleh ahli psikologi Amerika Lewis M. Terman untuk digunakan mengetes orang dewasa dengan kecerdasan tinggi.

Istilah IQ (intelligence quotient) dikenalkan oleh ahli psikologi Jerman, Wilhelm Stern, di tahun 1912 sebagai angka perbandingan antara usia kecerdasan dengan usia kalender. Sebagai angka perbandingan digunakan pembatasan yaitu IQ anak atau orang kebanyakan adalah 100. Di bawah angka itu orang dikatakan lambat belajar, cukup lambat dan lemah sekali. Di atas angka normal tadi orang, dikatakan normal cerdas, superior dan sangat superior (BKP Madiun). Mengenai angka skala ini tes yang satu berbeda dengan yang lain. Misalnya sebuah tes mengatakan bahwa IQ 130 adalah sangat superior sedang tes yang lain menyebutkan bahwa angka di atas 160 baru sangat superior.karena itu skala ini tidak dapat dijadikan kebanggaan orang tua anak dalam omong-omong santai. Setiap tes memberikan batasan yang disertakan bersamaan dengan hasil tesnya.

Tes ini pada mulanya digunakan untuk mengetahui sebab-sebab anak yang sukar menangkap pelajaran di kelas dan untuk mengijinkan anak di bawah umur sekolah untuk memasuki SD. Sekarang tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan anak untuk mengikuti pelajaran di lembaga pendidikan tertentu. Misalnya apabila normal adalah batasan untuk pendidikan hingga SMA maka normal cerdas batasan bagi minimal bagi perguruan tinggi dan superior bagi pasca sarjana dan doktor. Sangat superior ditargetkan bagi inovator-inovator.

IQ HARUS DIIKUTI OLEH MINAT BELAJAR TINGGI

Penyelidikan akhir-akhir ini membuktikan bahwa IQ tinggi tidak menjamin keberhasilan belajar seorang anak. Banyak anak mulai SD hingga SMA dengan IQ superior atau sangat superior mendapat angka merah di rapornya. Hal ini tentu saja sangat melukai kebanggaan orang tua akan IQ anaknya yang diukur tinggi. Apalagi kalau pada kenyataan sehari-harinya ia sama sekali tidak dapat dikatakan bodoh.

Perbedaan antara IQ dan prestasi di kelas ini amat mungkin disebabkan karena bermacam-macamnya beban studi yang harus dipikirkan anak SD hingga SMA. Dalam lembaga pendidikan yang sangat umum dengan mata pelajaran yang terdiri dari berbagai bidang studi yang tidak saling menunjang itu, anak tidak dapat berkonsentrasi pada salah satu bidang yang betul-betul diminatinya. Ini apabila kita berbicara tentang minat primer. Minat sekunder biasanya ditimbulkan oleh lingkungan, pendidik, sarana pendidikan atau bidang kerja yang tersedia, dll. Sulitnya anak yang mempunyai IQ tinggi ini cenderung lebih peka daripada anak-anak normal. Guru yang tidak sesuai dengan kecepatan berpikirnya sangat membosankannya. Atau, ia bisa kelihatan lamban sekali karena pada saat “mendengarkan” pelajaran pikirannya sebenarnya melayang jauh ke depan.

Anak-anak ber-IQ superior ke atas juga cenderung “bisa segala”. Misalnya belajar musik ia juga dapat melakukannya dengan baik, melukis, memahat, IPA dan IPS dikuasainya dengan kemampuan yang sama. Justru karena itu ia bisa segala, pada umumnya ia cepat bosan pada yang satu untuk mencari kompensasi pada yang lain. Anak-anak jenis ini apabila tidak cepat diberi pengarahan akan menjadi anak yang gagal dalam hidupnya kelak. Berdasarkan IQ-nya seharusnya ia jenius. Tapi justru kepandaiannya akan segala membuatnya tidak pernah berprestasi dalam salah satu bidang secara amat menonjol.

Anak-anak dengan IQ tinggi yang tidak mempunyai ambisi atau mudah puas juga sering mengalami kegagalan dalam studinya. Justru karena ia mudah mendapatkan angka baik, ia belajar dengan santai. Baru setelah mendapat angka jelek ia belajar keras untuk mencari angka kompensasi. Apabila angka rata-rata sudah mencapai enam ia sudah puas dan menjadi santai kembali

PERLU PENGARAHAN

IQ tinggi ternyata bukan jaminan bagi orang tua agar anaknya berhasil dalam studi maupun hidupnya kelak. Banyak contoh anak-anak ber-IQ sangat superior yang tidak berprestasi meskipun tetap naik kelas setiap tahunnya. Anak-anak seperti ini membutuhkan bimbingan dari orang tua atau gurunya yang memahami masalahnya. Ia harus dibangkitkan minat primernya. Minat primer yang belum timbul ini belum disadari oleh anak tersebut tersembunyi di balik “bisa segala”nya. Baru setelah minat primer ini ditimbulkan, mudah sekali minat sekunder (ambisi, masa depan, guru, dan sebagainya) memacu kehendaknya untuk belajar. 

Menimbulkan minat prime yang tersembunyi ini memang sulit dengan sistem pendidikan SD hingga SMA yang sekarang. Apabila bukannya masalah anak serba bisa, adanya beberapa mata pelajaran yang tidak disuka dapat mempengaruhi belajarnya terhadap mata pelajaran yang lain.

Mungkin di sinilah letak manfaat tes inteligensia. Terhadap anak-anak yang mempunyai IQ sangat superior seharusnya diberikan perhatian dan pengarahan khusus. Mungkin biro psikologi dan biro konsultasi atau Bimbingan dan Konseling dibutuhkan bagi anak-anak ini. Jika tidak maka tenggelamlah anak-anak berbakat kita untuk menjadi orang-orang gagal atau frustasi dalam masyarakatnya.