Jawa Pos, Senin KLIWON 28 April 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Seorang ibu memperlihatkan wajah lesu dan
bingung. Beberapa waktu yang lalu anaknya yang sulung telah lulus SMA IPA.
Bukankah seharusnya ia beryukur dan menunjukkan wajah berseri-seri?
“Yah, tidak lulus susah, lulus juga susah”,
katanya.
“Bagaimana mungkin anak saya dapat bersaing dengan 635.000 peserta ujian SMTA tahun ini, belum lagi lulusan tahun-tahun sebelumnya, untuk memperoleh tempat di PT?”
“Cita-citanya apa?”, tanya saya.
“Itulah masalahnya. Anak-anak sekarang sepertinya tidak punya cita-cita. Mereka tidak mempunyai gambaran ingin menjadi apa kelak”.
“Yah.. apakah ibu pernah bertanya pekerjaan apa yang diinginkannya kelak?”
Ibu itu menatap saya, seolah menuduh saya
ceriwis. Sudah diberitahu bahwa anaknya tidak tahu akan menjadi apa kelak,
malah ditanya lagi pekerjaan apa yang diinginkan. Saya mendehem dan menyambung.
“Kalau ditanya ingin menjadi apa, jawabnya
bisa aja... ingin menjadi seperti orang kaya, seperti Bapak.. ingin menjadi
insyinyur tanpa perlu tahu apa bidangnya.. ingin menjadi dokter tetapi di
kota... atau ingin menjadi sarjana... dan sebagainya.. dan sebagainya... dan
sebagainya.
Bercita-cita
yang Realistis
Di masa lampau anak-anak memang tidak
mengalami konflik. Anak petani dididik untuk menjadi petani, anak nelayan kelak
juga mewarisi pekerjaan ayahnya sebagai nelayan. Anak perempuan lebih-lebih
tidak mempunyai pilihan lain, selain menjadi ibu rumah tangga. Keadaan seperti
ini memang statis, tetapi satu hal yang penting, anak-anak di masa lampau sadar
akan pekerjaan yang dikerjakannya setelah dewasa.
Masyarakat kemudian mengalami perubahan.
Petani tidak lagi menginginkan anaknya menjadi petani. Dari bayi anak ditimang
agar bersekolah yang pintar supaya menjadi orang yang lebih enak hidupnya
daripada ayahnya. Yang kurang mampu menanamkan angan-angan akan kemakmuran
dalam diri anak-anaknya. Seorang pedagang yang kaya, lain lagi. Dalam menimang
anaknya, ia selalu menekankan agar anaknya belajar dan menjadi orang yang
pintar agar tidak usah bekerja 15 jam sehari. Kalau pintar dan bekerja di
kantor, hidup bisa santai dan.. terpandang dalam masyarakat.
Pada waktu anak masuk TK, oleh gurunya pun, ia
diajar bersajak “Kalau saya besar, saya akan menjadi presiden”. Lho, dalam
empat tahundi seluruh tanah air hanya mungkin ada seorang presiden. Apakah
tepat mendidikkan angan-angan nonsens kepada anak.
Anak-anak diarahkan untuk mempunyai konsep
“menjadi...” tanpa diberikan suatu petunjuk yang operasional untuk mencapainya.
Tidak ada sekolah apa pun yang mendidik anak untuk menjadi orang kaya. Ada
banyak contoh orang kaya yang tidak melalui pendidikan formal. Demikian pula
dengan bekerja di kantor yang dikira oleh para pedagang sebagai suatu pekerjaan
yang santai, juga suatu pendapat yang keliru. Pekerja kantor yang berhasil, di
mana-mana merupakan pekerja yang tidak kenal waktu dan pantang lelah.
Bersekolah
untuk Bekerja
Dengan memiliki angan-angan “menjadi...” dapat
saja anak setelah lulus tidak bekerja. Konsep “menjadi” dab konsep “bekerja”
dapat berarti sama, menjadi wartawan. Menjadi dokter, karena pekerjaan yang
diacu sudah jelas. Tetapi bagaimana dengan “menjadi insyinyur?”. Pekerjaan
apakah yang diharapkan dari seorang insyinyur? Insyinyur apa? Insyinyur sipil
mempunyai tugas yang sama sekali berlainan dengan insyinyur mesin, apalagi
dengan insyinyur peternakan atau perikanan.
“Menjadi
sarjana” adalah konsep yang jauh lebih luas lagi. Lingkupnya bukan hanya
“sarjana apa” tetapi apakah seorang lulusan sudah boleh puas dan berhenti
belajar setelah menjadi sarjana. Bahkan yang terburuk, apakah menjadi srjana
suatu tujuan akhir dan setelah itu boleh tidak mengabdikan ilmunya?
Lulusan
SMTA dan Pekerjaan
Anak-anak kita memang dari kecil tidak dibiasakan
memilih. Mereka selalu diberi oleh orang tua mereka. Pakaian, sepatu, tas
sekolah, mainan.. semuanya disediakan untuk mereka. Demikian pun sekolah. SD,
otomatis melanjutkan ke SMP dan SMP ke SMA. Tidak melanjutkan berarti “malu
kepada teman” dan bersekolah adalah suatu kerutinan yang dengan sendirinya
harus mereka lewati. Paling-paling mereka memilih SMA tertentu, tetapi itu pun
karena teman-temannya juga bersekolah di sana.
Kebiasaan tergantung kepada orang tua inilah
yang membuat anak tidak mempunyai cita-cita. Dan pada saat lulus SMA dan bidang
studi yang tersedia begitu banyak, yang mana satu harus mereka pilih untuk masa
depan, mereka bingung. Lebih-lebih mereka bukan berpikir menggunakan konsep
“pekerjaan”, tetapi menjadi “sarjana”. Dengan konsep yang terakhir ini lulusan
SMTA terbentur ke sana-sini, mendaftar kemana-mana, ke PTN dengan jurusan yang
beraneka ragam atau ke PTS dengan pilihan yang kadang berlainan. Kalau
mendaftar ke PTN, yang mereka cari adalah bidang studi kering yang memberikan
peluang untuk diterima. Kalau mendaftar ke PTS, PTS favorit dan jurusan yang
mempunyai status paling tinggi itulah yang hendak diraih. Itulah gambaran
lulusan-lulusan SMTA kita hingga saat ini, paling tidak.
Peran
Orang Tua
Anak yang sudah terbiasa disuapi dan
mendapatkan segala sesuatunya “tahu ada”, memang sekali lagi masih memerlukan
uluran tangan orang tua dalam menentukan pilihannya untuk ke PT. Namun sekali
ini, orang tua tidak boleh salah lagi. Dalam membimbing anak, orang tua
seyogyanya tidak lagi bertanya “mau masuk jurusan apa” atau “mau ke PTN atau
PTS” tetapi secara tegas bertanya kepada anak “pekerjaan apa yang mereka
harapkan akan mereka jadikan nafkah di masa depan”.
Pekerjaan itu dapat dipilah-pilih antara
pekerjaan di dalam kantor vs di luar kantor, pekerjaan yang teoritis vs
praktis, di kota vs di desa, dan kemudian memilih pula bidang yang sesuai
dengan minat, bakat dan ketrampilan yang dikuasainya.
Bagaimana kalaubidang pekerjaan yang dipilih
akan menjadi tumpuan masa depanny itu tidak dapat dimasukinya? Setiap orang
harus memilih, dan memperjuangkan pilihannya. Adakah lebih baik bagi seorang
lulusan SMTA untuk tidak memasuki suatu jurusan yang tidak diminatinya,
kemudian belajar keras selama satu tahun untuk mencapai cita-citanya, daripada
ikut arus, belajar tanpa tujuan dan setelah lulus juga tidak menjadi apa-apa.
Orang yang membiasakan diri ikut arus, pada waktu dewasa pun tidak akan menjadi
orang yang berguna bagi masyarakat. Hidupnya akan selalu dibayangi kompromi...
tidak gagal tetapi juga tidak berhasil.