Jawa Pos, Selasa PON 2 Desember 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Pada suatu sore, dalam kesempatan berbicara
santai dengan beberapa ibu, ada seorang ibu yang terbilang angkatan tua berujar
sesuatu yang membuat saya terpana. Pada waktu itu, karena hari hujan, kami
berbicara mengenai selokan dan banjir yang terjadi di kampung kami. Tiba-tiba
ibu tersebut berkomentar, “Ah, di luar negeri pun sekarang sudah tidak bebas
banjir”. Kami semua mengangguk-angguk, dan terbayang oleh saya beberapa berita
tentang topan, gempa, dan banjir di beberapa negara seperti disiarkan TVRI.
Tetapi, ternyata saya keliru ketika ibu tersebut menyambung, “Lampung misalnya,
sekarang juga terkena banjir. Padahal, dulu mana ada?”
Konsep tentang “luar negeri” yang berbeda ini
mungkin karena ibu tersebut mengalami pendidikan di zaman sebelum perang,
sehingga konsep negeri (bukan negara), berarti batasan suku, pulau, kota, dan
bahkan ada juga yang mengartikannya batasan kampung. Ini saya amati dari ujaran
seorang dukun bayi yang begitu bangga menyatakan bahwa ia telah menolong
melahirkan, dan juga memijat, sampai ke luar negeri. Padahal maksudnya, ke luar
kampung Dinoyo tempat ia tinggal selama berpuluh tahun.
Hal lain yang masuk dalam pengamatan saya adalah
konsep tentang kata “Indonesia” sebagai bangsa. Banyak, ibu-ibu yang terbilang
angkatan tua, terutama dalam acara santai yang dihadiri baik oleh berbagai suku
dan kelompok keturunan, sering ada usaha untuk tidak saling menyinggung
perasaan. Karena itu, dipakailah istilah yang menghaluskan untuk menghindari
sebutan “Orang Jawa” dan “Orang Cina”. Istilah yang dipakai malah bangsa
Indonesia dan bangsa Tionghoa. Saya tahu bahwa telah terjadi fosilisasi makna
disini. Karena, kalau saya coba, secara bergurau menanyakan mengenai pemakaian
istilah tersebut, mereka tertawa. Memang tidak ada maksud lain...
Ternyata, fosilisasi tidak hanya terjadi pada
angkatan tua yang mengalami pendidikan zaman sebelum perang saja. Gejala ini
dapat saja terjadi pada kelompok yang masih terbilang angkatan muda, dari usia
30 tahunan. Misalnya saja, ada seorang teman berkuliah di FPS IKIP Malang juga
mempunyai ujaran yang sama dengan ibu-ibu kenalan saya itu.
Pada suatu hari, ia mempersoalkan kebenaran,
suatu hasil penelitian. Mungkinkah dekreolisasi karena pengajaran terjadi pada
orang Indonesia, artinya kalau dulunya suatu masyarakat menggunakan bahasa
pasaran, setelah mengalami pendidikan bahasa di sekolah kemudian beralih
memakai bahasa Indonesia standar? Saya kemudian memberikan contoh diri saya.
Pada waktu kecil, saya di rumah menggunakan bahasa Melayu Pasar. Setelah
bersekolah saya menggunakan bahasa Indonesia di kelas dan Melayu Pasar di luar
kelas. (Bahkan dulu, ada teman di IKIP Surabaya yang menertawakan saya karena
di kelas bahasa Indonesia saya paling baik, tetapi begitu di luar, bahasa saya
“bukan main”). Tetapi, setelah menjadi guru, ada motivasi dan sikap yang
sungguh-sungguh, sehingga saya berbahasa Indonesia dimana-mana (kecuali dalam
suasana akrab sekali). Teman saya tadi kemudian menyangkal, “Maksud saya apakah
orang Indonesia juga bisa?” Segera saya menyahut, “Apakah saya bukan orang
Indonesia?”, Seluruh kelas tertawa.
Teman saya tadi adalah orang Batak yang sulit
sekali mengucapkan bunyi “e” seperti dalam kata belajar. Menurut penjelasannya,
hal itu disebabkan oleh, di rumah orang tuanya mendidiknya dengan bahasa Batak.
Ia mengkhawatirkan bahwa anak-anaknya juga tidak bisa mengucapkan bunyi
tersebut. Ia memang sering ditertawakan sebagai contoh memfosil dalam ucapan.
Nyatanya dalam konsep atau makna pun ia mengalami gejala memfosil yang sama.
****
Memfosil memang merupakan gejala yang umum
dalam belajar bahasa, terutama bahasa kedua. Misalnya, seseorang yang dulunya
di rumah berbahasa daerah, dan belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di
sekolah, “warna” bahasa daerahnya kadang-kadang muncul. “Warna” tersebut dapat
berbentuk ucapan, struktur kalimat, atau kosa kata. Terutama kalau seseorang
belajar bahasa kedua setelah dewasa, bisa terjadi proses kemandegan, yang
kemudian diamati dengan fosilisasi tersebut.
Masyarakat yang sadar bahasa dan guru bahasa,
sering menyalahkan orang-orang yang tidak dapat mengucapkan “kan” di suku
terakhir: seperti dalam “mengharapkan”. Padahal, hal tersebut adalah proses
fosilisasi yang tidak dapat dihindari, suatu proses psikologis dalam belajar
bahasa. Ibu saya yang juga mendapat pendidikan sebelum perang (pendidikan
bahasa Belanda) dapat membaca surat kabar, majalah, dan semua artikel politik
(yang oleh anak muda disebut kering). Tetapi, dalam ucapan ada gejala
fosilisasi yang tidak dapat dibetulkannya meskipun dikehendakinya. Dulu, ibu
saya belajar Kalimantan sebagai Borneo. Seseorang kalau membaca “kalimanten”.
Juga semua “kan” yang berfungsi sebagai akhiran akan diucapkan “ken”, tetapi ia
dapat mengucapkan “bukan” dengan betul.
Gejala memfosil lain yang saya amati adalah
penggunaan kata “daripada” yang berarti “dari”, misalnya dalam kalimat “Bukti
daripada kesalahan itu tidak jelas”. Mestinya, kata “daripada” hanya digunakan
dalam perbandingan, seperti dalam kalimat “Suwarni lebih pandai daripada
adiknya”. Tetapi, penggunaan kata “daripada” yang salah kaprah ini bukan hanya
problem orang-orang angkatan tua “melulu”. Anak-anak muda pun, seperti
terdengar pada waktu mereka berbicara dalam wawancara di TVRI, juga
memperlihatkan gejala yang sama.
Fosilisasi terjadi dalam ucapan, struktur,
kosa kata, maupun makna. Adakah yang dapat dilakukan terhadap fosilisasi?
Fosilisasi, menurut teori, dapat terjadi
karena 3 hal, yaitu faktor interaksi, faktor sosial-psikologis, dan faktor
biologis.
Dalam berinteraksi, seseorang yang belajar
bahasa kedua akan mendapatkan umpan balik kognitif dan afektif. Yang kognitif
bersentuhan dengan pemahaman. Jadi, kalau umpan balik tidak dipahami,
fosilisasi terjadi. Misalnya, konsep “luar negeri” yang meskipun diberi umpan
balik oleh lawan bicara, kalau umpan balik tersebut tidak dipahami atau tidak
diterimanya, makna tersebut sukar tercabut. Umpan balik afektif berkenaan
dengan bagaimana pembicara memandang dirinya dan orang lain. Kalau seorang
pembicara tidak acuh terhadap umpan balik yang diberikan oleh lawan bicaranya
fosilisasi terjadi.
Faktor sosial-psikologis berpengaruh terhadap
fosilisasi seseorang apabila tidak ada motivasi dalam dirinya untuk diterima
oleh masyarakat sekitarnya. Selama komunikasinya dipahami dan tidak ada sikap
negatif dari masyarakat sekitarnya terhadap ucapan atau makna atau struktur
yang menyimpang yang digunakannya, dalam diri pembicara terjadi kemandegan yang
disebut fosilisasi itu. Lain halnya dengan teman saya yang Batak yang merasa
terganggu dengan olok-olok teman-temannya, karena ia tidak dapat mengucapkan
“e”. Motivasi membuatnya sekuat tenaga belajar mengucapkan “e” dalam berbicara.
Ia, sekarang sedang dalam proses menuju defoilisasi.
Faktor biologis – dan susunan saraf – biasanya
dihubungkan dengan otak manusia. Dikatakan bahwa setiap individu mempunyai masa
kritis atau fleksibilitas dalam memperoleh bahasa. Kalau masa kritis ini
terlampaui (Lenneberg menyebutnya sekitar 12-14 tahun), individu tersebut
mencapai kemantapan dalam “bahasa antara” yang dikatakan bahasa ibu bukan,
bahasa pasaran pun bukan; bahasa individu adalah “khas” sebagai bahasa
pembelajar. Menurut teori ini, fosilisasi adalah permanen dan defosilisasi
tidak mungkin terjadi.
Tetapi, kedua teori lainnya justru berpendapat
bahwa fosilisasi itu tidak permanen. Motivasi, misalnya, sangat berpengaruh
untuk menyebabkan seseorang menjalani proses defosilisasi. Misalnya, banyak
orang mengucapkan “puhun”, “cuntuh” dan bukannya “pohon” dan “contoh” seperti
dalam bunyi “golok”. Selama tidak ada umpan balik afektif yang membuat dirinya
“aneh” oleh orang lain, dan selama ia tidak memperhatikan masukan atau koreksi
orang lain, tidak akan ada perubahan dalam ucapan tersebut. Bukankah
mengucapkan “puhun” atau “pohon” sama-sama dimengerti?
Namun sebaliknya, bahasa Indonesia sendiri
sekarang masih dalam proses berkembang dan belum mantap. Suatu bentuk bahasa
standar masih dicari, sehingga memang sulit untuk individu atau pemakai bahasa
mendapatkan umpan balik maupun membentuk sikap atau mempunyai motivasi untuk
mencapai bentuk bahasa yang “baik dan benar” karena bentuk itu sendiri belumlah
mantap. Keadaan dan situasi, hingga saat ini belum menunjang bagi pemakai
bahasa untuk merasa perlu keluar dari fosilisasi masing-masing.