Beberapa Kendala Selama Belajar Di Pasca Sarjana



Jawa Pos, Selasa PAHING 17 September 1985
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Tanggal 2 September yang lalu FPSI-IKIP Malang secara resmi membuka tahun perkuliahan bagi mahasiswa S2 (Magister pendidikan) dan S3 (doktor pendidikan) angkatan 1985-1986. Untuk kesekian kalinya, yaitu setiap penerimaan mahasiswa baru, Dekan FPS-IKIP Malang Prof. Dr. E. Sadtono melaporkan sejumlah mahasiswa yang terdaftar, yang lulus, yang belum lulus dan yang gagal. Kepada para mahasiswa baru diberikan peringatan khusus terhadap segala jenis kendala yang akan mereka hadapi selama menempuh pendidikan pasca sarjana. Peringatan itu bukan untuk menakut-nakuti mahasiswa, tetapi disusun berdasarkan pengalaman angkatan-angkatan sebelumnya. Para mahasiswa tidak saja diharapkan untuk bekerja keras selama studi, tetapi juga mempersiapkan diri terhadap kendala-kendala non-akademis yang mungkin lebih berat daripada yang akademis. Banyak pendapat mengatakan bahwa studi pasca sarjana di dalam negeri lebih sulit daripada di luar negeri adalah justru karena kendala-kendala ini.

Kendala Akademis

Dengan adanya tes masuk berupa tes intelegensia dan tes bahasa Inggris, para mahasiswa pasca sarjana seharusnya bebas dari kendala akademis. Mereka yang lulus tes intelegensia adalah sarjana-sarjana yang intelegensia atau kecerdasannya cukup tinggi untuk menyelesaikan studi di pasca sarjana. Yang lulus tes bahasa Inggris diharapkan tidak akan menemui kesulitan dalam membaca buku-buku teks dan buku-buku referensi yang tertulis dalam bahasa Inggris.

Tetapi kenyataannya tidaklah selalu semulus yang diharapkan. Banyaknya tugas baca (dalam bahasa Inggris) tetap menjadi keluhan. Kebiasaan membaca sambil menganalisis harus dilatihkan oleh mahasiswa sendiri dengan mendisiplinkan diri sendiri. Membaca buku berhalaman-halaman dan setiap hari tidaklah mudah. Mata yang tidak terlatih dan kemudian dipaksa untuk melihat deretan-deretan huruf akan menyebabkan si mahasiswa merasa mual dan sakit. Mungkin rasa mual itu dapat diibaratkan seseorang yang naik tangga berjalan dengan menatap terus pada garis-garis tangga yang bergerak. Ada mahasiswa yang segera dapat menyesuaikan diri, tetapi ada pula yang baru satu semester.

Dalam menempuh pendidikan pasca sarjana juga dituntut penunaian tugas-tugas yang tidak ringan. Setiap dosen menginginkan agar para mahasiswa bukan hanya memahami mata kuliahnya, tetapi sedapat mungkin mendalami materi secara menyeluruh. Kuliah kerja dan makalah adalah makanan sehari-hari. Siapa yang menunda tugas akan dikejar oleh tugas lain. Sifat menunda adalah musuh keberhasilan. Padahal dalam pendidikan sarjana sebelumnya atau dalam tugas mengajar sebelum belajar di pasca sarjana mereka tidak terbiasa menulis.

Kendala akademis yang terberat adalah pada saat kuliah-kuliah telah selesai dan mahasiswa harus bekerja mandiri untuk penelitian dan penulisan tesis. Kalau sebelumnya, yaitu pada saat berkuliah, “disiplin” mereka diawasi oleh catatan buku absen, kini derap kerja sangat bergantung pada diri sendiri. Tidak ada lagi dosen yang mengawasi, apakah ia meneliti atau membiarkan dirinya terbuai oleh penyakit menunda. Di samping itu, apabila ia pulang ke tempat bekerja (mengajar) ia berada jauh dari kampus. Suasana jauh kampus secara tidak disadarinya membuatnya “lupa” dan tanpa terasa semester demi semester berlalu sangat cepat.

Kendala Non-Akademis

Kendala Non-akademis inilah yang tidak dialami oleh mereka yang belajar di luar negeri. Bukannya mereka yang belajar di luar negeri mendapat fasilitas lebih baik. Bea siswa yang diperoleh mungkin sama nilainya (cukup untuk biaya hidup sambil berkuliah) tetapi yang di luar negeri tidak diganggu oleh hal-hal yang jika dikatakan “remeh” toh merupakan kendala yang sangat berarti karena setiap hal “remeh” toh merupakan kendala yang sangat berarti karena setiap hal “remeh” tadi dilihat dan dirasakan setiap hari.

Nafkah

Sudah bukan rahasia lagi bahwa sarjana kita lebih menggantungkan diri pada proyek-proyek, memberikan kursus atau bisnis lainnya. Dengan berkuliah lagi, apalagi di luar kota, bukan hanya tunjangan fungsional yang hilang karena tidak ada tugas mengajar, tetapi juga uang proyek, kursus atau bisnis lainnya ikut hilang pula. Hilangnya uang tambahan yangseringkali lebih besar dari gaji bulanan itu membuat goncang kehidupan keluarga. Jika keluarga yang ditinggal kurang mendukung, semangat belajar akan dibuat kacau oleh beban keuangan ini. Padahal ia pun tahu bahwa setelah kembali dari tugas belajar semua proyek dan bisnis sudah diambil oleh orang lain dan ia harus merintis kembali dari permulaan.

Keluarga

Pilihan yang berat adalah apakah keluarga akan diajak ke kota tempat belajar atau ditinggal. Dengan ikutnya keluarga, si mahasiswa tidak akan merasa kesepian. Diharapkan ia dapat berkonsentrasi penuh. Tetapi, mendatangkan keluarga berarti biaya. Lebih dari itu, ia setiap hari menghadapi masalah keluarga; anak sakit, ia harus mengantar ke dokter, ikut bergadang kalau karena sakitnya anak tidak dapat tidur, dan lebih-lebih ia tidak akan mungkin “tidak mau tahu” dan sibuk dengan tugas-tugas perkuliahan. Meskipun anak tidak sakit sekalipun, ia tidak dapat acuh apabila anaknya minta perhatiannya. Ia akan diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan kesungguhan dalam menjawab, atau pada waktu ia sibuk berkonsentrasi menulis makalah, tiba-tiba si anak menunjukkan ulangannya di sekolah. Dan banyak masalah yang membuat mahasiswa pasca sarjana yang membawa keluarga tidak bisa berkonsentrasi belajar.

Sebaliknya, apabila keluarga tidak diajak, ia harus pulang seminggu sekali atau dua minggu sekali, kecuali yang keluarganya di luar Jawa. Setiap pulang ke rumah, ia tidak dapat membebaskan diri dari “rasa libur”. Suasana yang akrab di rumah membuatnya melupakan semua tugas-tugas dan pada hari Senin pagi kembali berkuliah tanpa persiapan baca sama sekali. Dan akibat dari rasa atau suasana libur ini berlanjut hingga hari berikutnya, karena rasa letih dalam perjalanan bis atau naik kereta api tidak segera hilang hari itu juga. Kalau pulangnya tiap munggu, hal ini berarti ada beberapa mata kuliah (untuk hari Senin dan Selasa) yang tidak pernah dipersiapkan dengan baik.

Kesehatan

Kesehatan, fisik dan mental, harus baik. Jika badan kurang sehat, ditambah dengan belajar sampai tengah malam setiap hari, dapat diramalkan bahwa mahasiswa akan jatuh sakit. Padahal dengan jatuh sakit, tugas-tugas menumpuk dan membuat si mahasiswa minta ijin terminal atau cuti belajar. Kasus kegagalan karena sakit memang baru dilaporkan seorang. Tetapi sebaiknya mereka yang kurang sehat tidak memaksakan diri agar tidak bertambah sakit.

Kesehatan mental juga sangat diperlukan. Kesiapan mental untuk menjadi murid lagi sangat diperlukan. Tidak semua dosen berpandangan luas dan karena itu tidak jarang mahasiswa yang sudah tua-tua dan sudah pernah menduduki jabatan penting itu harus menelan kenyataan pahit. Ada dosen yang tidak mau dibantah, ada pula dosen yang suka menyalahkan tanpa memberikan (tidak mau atau tidak dapat) deskripsi yang jelas tentang kesalahan yang dibuat mahasiswa. Ada pula dosen yang setiap tatap muka memberikan “masalah”. Dan tidak mustahil bahwa mahasiswa pasca sarjana masih dituntut untuk menghafal kata demikian... jika mahasiswa tidak disiapkan sejak dari awal studi, dan jika mentalnya tidak kuat, dapat dipastikan bahwa di tengah-tengah studi ia akan mengalami depresi dan gagal.

Dosen pun Manusia

Menurut teori-teori mengajar memang dosen itu harus melepaskan diri dari segala bias “suka dan tidak suka”. Tetapi karena dosen pun manusia belaka, tidak dapatlah dia diharuskan untuk membebaskan diri dari bias tadi. Karena itu impresi pertama adalah sangat penting. Hasil dari tugas-tugas dan ulangan-ulangan yang pertama-tama memberikan gambaran mati bagi mahasiswa. Kalau kesan pertama sudah jelek, seringkali sangat sulit untuk mengubah kesan tersebut.

Selain itu setiap dosen mempunyai selera masing-masing. Ada dosen yang menyukai penelitian yang sifatnya kuantitatif yang pembuktian-pembuktiannya baru meyakinkan kalau disertai statistik. Sebaliknya, ada pula dosen yang kurang yakin pada kehebatan statistik dan lebih menyukai penelitian kualitatif. Mahasiswa harus pandai-pandai meneropong selera para dosen sehingga tidak mengalami konflik karena terjepit oleh selera dosen pembimbing dan penguji yang berbeda-beda.

Dosen Bukan Sumber Informasi Satu-Satunya

Sejak Jenjang S1 seharusnya mahasiswa dipersiapkan bahwa dosen bukanlah narasumber satu-satunya. Bahwa informasi yang dibawakan dosen bisa saja keliru dan mahasiswa harus secara kritis menganalisis informasi yang diterimanya.

Meskipun sudah dewasa, tidak dapat disangkal bahwa mahasiswa seringkali masih bersorak kalau dosen tidak masuk dan untuk sejenak terbebas dari tugas yang menghimpit. Padahal dosen tidak hadir bukanlah alasan bagi mahasiswa untuk bersantai. Diskusi antar mahasiswa atau belajar sendiri harus merupakan kebiasaan yang mendarah daging untuk mencapai keberhasilan.

Dosen pun tidak semuanya pandai mengajar. Ada yang monoton dan terus “berbisik-bisik” sekalipun ada gempa bumi di kelas. Ada pula dosen yang hanya menimbulkan kebingungan setiap ia masuk kelas, ini pun akan merupakan kendala yang harus dipersiapkan bagi mahasiswa baru, bahwa dari tatap muka yang sangat minimal itupun harus dapat digali sesuatu.

Penutup

Baik kendala akademis maupun non akademis sangat berperan bagi keberhasilan belajar di Pasca Sarjana. Kendala akademis yang paling berat adalah pada saat mahasiswa selesai berkuliah tatap muka dan mandiri dalam mengadakan studi kepustakaan, meneliti dan menulis tesis. Kerangka kerja tersebut hanya si mahasiswa sendiri yang menentukan. Juga hal ini dapat dikatakan merupakan tolok ukur apakah ia akan berhasil atau tidak. Belajar di kelas bukanlah masalah bagi mahasiswa yang pandai, tetapi mendisiplinkan diri adalah suatu sikap yang harus dipunyai untuk berhasil.

Kendala non-akademis seringkali tidak terpecahkan karena tidak terlihat oleh para pembimbing dan harus dipecahkan oleh mahasiswa sendiri. Dapat disarankan agar pasca sarjana mempekerjakan seorang psikolog untuk membantu mereka yang mempunyai masalah non-akademis itu. Paling tidak mahasiswa baru telah dipersiapkan dengan kemungkinan terbenturnya dengan kendala-kendala tersebut.

Hasrat untuk memasuki pendidikan pasca sarjana kelihatan meningkat. Mahasiswa S2 baru untuk tahun 1985-1986 berjumlah hampir dua kali lipat tahun sebelumnya. Mungkin tahun depan minat belajar di pasca sarjana akan lebih meningkat lagi. Sambil FPS berbenah diri, mereka yang hendak mendaftarkan untuk tahun-tahun mendatang juga harus siap menghadapi segala kendala yang ada dan mungkin yang bakal ikut atau yang menempuh pendidikan mahal ini harus berhasil dan bukannya depresi dan gagal ....