Kapan kita memiliki masyarakat pembaca?



Surabaya Post, Sabtu 17 Juli 1982
Oleh : Wuri Soejatmiko

Guru diharapkan lebih berperan

PENDAHULUAN

Hampir setiap pendidik mengeluhkan kekecewaan akan gairah membaca siswa dan mahasiswa kita. Hampir setiap pengamat sosial mengakui bahwa banyak anggota masyarakat kita tidak menggunakan saat-saat menanti, saat-saat melakukan perjalanan, untuk membaca. Seorang dua membeli surat kabar dan menyibukkan diri selama sepuluh hingga lima belas menit. Kemudian surat kabar tersebut berganti fungsi menjadi kipas di hari panas. Membaca di tempat umum masih sangat langka dikerjakan.

Bahkan membaca di ruang baca pun juga belum digemari. Ruang baca yang disediakan universitas pada umumnya hanya dikunjungi beberapa orang saja. Setiap harinya kelihatan kosong. Menurut data IKIP Surabaya tahun 1979 hanya 5,32 pCt mahasiswanya mengunjungi perpustakaan baik untuk membaca maupun meminjam buku. Data tahun 1981 dari unika Widya Mandala menyatakan bahwa hanya 2,93 pCt mahasiswanya yang datang mengunjungi perpustakaan untuk membaca atau meminjam buku. Sedangkan waktu terluang karena adanya jam-jam kosong masih lebih mengundang mahasiswa untuk mengobrol daripada membaca.

Padahal membaca merupakan cara utama untuk mendapatkan informasi. Informasi dalam bacaan dapat dibaca ulang terus hingga tercerna oleh pikiran pembaca. Buku sebagai sumber informasi juga masih terbilang jauh lebih murah daripada kaset rekaman, apalagi kaset video. Membaca sebagai salah satu cara mendapatkan informasi juga sudah merupakan hal yang umum. Pengumuman dibuat tertulis untuk ditempel atau dicetak di koran. Peraturan lalu lintas di jalan-jalan juga sudah disertai tulisan. Bahkan salah satu syarat untuk mendapatkan SIM adalah kemampuan membaca huruf latin.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

Beberapa faktor yang mempengaruhi gairah membaca adalah: (1) jenis bacaan; (2) lingkungan; (3) pengadaan buku. Menurut penyelidikan di AS (E.A 1975, XXIII: 254) para ahli menyimpulkan bahwa masyarakat terbanyak mau membaca apabila bacaannya dibuat menarik. Penyelidikan yang sama menyimpulkan bahwa anak perempuan membaca lebih banyak daripada anak laki-laki. Anak perempuan biasanya mau membaca buku anak laki-laki (petualangan, misteri) sedangkan anak laki-laki tidak mau membaca buku untuk anak gadis.

Lingkungan dapat diartikan orang tua maupun teman. Seorang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang suka dan banyak membaca akan dipacu untuk juga membaca banyak. Namun, apabila anak dalam lingkungan sama berteman dengan anak-anak sebayanya yang tidak suka membaca, lingkungan teman ini dapat merupakan faktor negatif bagi gairah membacanya. Hal ini disebabkan karena percakapan sehari-hari dengan teman-temannya tidak membuatnya membutuhkan bacaan atau bahan pembicaraan yang diambil dari sumber buku atau majalah atau surat kabar. Sebaliknya, anak yang suka bermain di rumah temannya yang gemar membaca -- meskipun di rumahnya tidak ada yang gemar membaca – akan terbangkitkan kesenangannya untuk membaca lewat meminjam buku temannya atau membaca di rumah teman tadi.
Pengadaan buku pada masa-masa ini sudah dapat dikatakan jauh lebih baik daripada tahun-tahun silam. Mungkin ada pembaca yang masih teringat betapa lima belas tahun yang lalu Kapal Logos, sebuah kapal misionaris berjualan berbagai macam buku, cukup mendatangkan peminat buku di kota Surabaya. Buku anak-anak dengan gambar warna-warni dari karton tebal, yang pada saat itu tidak ada dijual di toko buku, adalah contoh sederhana dari buku yang dibuat menarik.

Contoh yang lebih mengena adalah karangan ilmiah Slamet Soeseno yang diceritakan secara populer dan menarik.

Meskipun pengadaan buku sudah dapat dikatakan jauh lebih baik dari tahun-tahun yang lalu, harga buku masih terasakan agak mahal juga. Majalah Hai, Manja dan sebangsanya dijual kira-kira Rp 500,00 sedangkan buku jenis Lima Sekawan atau novel-novel berkisar Rp 1.500,00 hingga Rp 2.500,00. Buku-buku informatif (esai) paling murah harganya Rp 3.000,00. Ini berarti bahwa orang tua yang mempunyai tiga orang anak sekali ke toko buku akan mengeluarkan sedikitnya Rp 5.000,00 dan bisa juga mencapai Rp 10.000,00 lebih.nampaknya pergi ke toko buku memang masih merupakan suatu kemewahan. Sedikit cahaya terang bagi kegairahan membaca adalah adanya anak-anak yang duduk di bawah toko-toko buku untuk dapat membaca gratis di sana. Ini membuktikan bahwa perpustakaan sekolah dapat dipopulerkan kembali asalkan pengadaan buku menarik siswa dan sistem perpustakaannya terbuka (open access).

PERAN GURU

Jenis bacaan seringkali membuat seseorang mundur sebelum membaca. Karena itu tugas gurulah yang membimbing minat baca siswanya untuk selalu memberikan latar belakang sebelum mereka bersama-sama mendalami isi bacan (Holburt 1981:65). Misalnya dalam mengajar membaca untuk mendapatkan informasi yang utama (terpenting), dari informasi yang menyokong (detail) yang biasanya merupakan contoh, penjelasan, penjabaran, pembanding-kontras. Siswa yang tidak dapat membedakan informasi penting dari yang tidak penting akan segera lupa apa yang dibacanya dan karenanya tidak mengetahui apa faedahnya membaca.

Dalam mengajar membaca literatur ilmu sosial, guru harus membiasakan siswanya untuk setiap kali melihat definisi yang digunakan setiap penulis bagi istilah-istilah tertentu. Ini disebabkan karena masing-masing penulis sering mempunyai pendapat berbeda tentang “kebudayaan”, “lingkungan” masyarakat dan lain-lain.
Bacaan ilmu sosial pada umumnya berisi pendapat-pendapat dan pembaca boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat penulis, yang harus diperkuat dengan argumentasi. Namun setuju atau tidak, pendapat itu tidak dapat berbeda hitam dan putih. Sejarah tentang satu peperangan yang sama dapat mempunyai kisah yang berbeda. Karena itu dalam membimbing bacaan sejarah guru harus memberikan sedikitnya latar belakang penulis, pandangan-pandangan kebangsaan – politik penulis, kapan buku ditulis, kapan fakta-fakta didapat. “Pahlawan” dan “pengkhianat” dapat ditujukan pada satu orang tergantung siapa yang menyebutnya.

Hal yang perlu diberitahukan guru sebagai latar belakang apabila membimbing membaca biografi adalah (a) mengapa biografi tersebut ditulis; (b) bagaimana sikap penulis terhadap tokoh; (c) sumber-sumber tulisan. Hal ini disebabkan karena biografi itu sangat pribadi sifatnya.

Dalam memberikan tuntunan membaca fiksi guru dapat memberikan gambaran ringkas menurut susunan sebagai berikut: (1) PLOT atau ALUR yaitu jalan cerita menurut pengarang; (2) karakter, yang diperoleh dari deskripsi pengarang atau pembicaraan para tokoh; (3) diksi atau bahasa yang digunakan pengarang; (4) latar atau setting tempat dan waktu; (5) tema, yaitu inti cerita atau gagasan pokok cerita.

Mungkin mengajarkan membaca puisi adalah yang paling sulit. Guru harus mengajak siswanya meneliti kata-kata yang bermakna dan arti kias apa yang dilambangkannya, memperhatikan sejarah pengarang dan membandingkannya dengan karya-karya lain pengarang tersebut. Dari semua itu siswa diajak menghayati kemungkinan arti puisi tersebut.

Kemudian membaca ilmiah, kegiatan yang dianggap paling penting sebagai bekal pendidikan perguruan tinggi, meminta guru pembimbing siswa agar memperhatikan detail demi detail dan mengenali metode yang digunakan penulis. Metode deduktif atau induktifkah. Apabila menggunakan hipotesa, apakah hipotesa tersebut diterima atau ditolak. Apabila sejumlah data observasi yang digunakan pembaca harus kritis terhadap data-data tersebut. Cukup sahihkah?

Dengan memberikan latar belakang atau pengarahan-pengarahan tersebut menurut jenis bacaan diharapkan siswa tertarik atau siap terjun mendalami isi bacaan. Sebelumnya mungkin secara a priopri ia akan menganggapnya sukar atau “kering”. Membaca memerlukan jenjang, yaitu dari menarik ke bacaan yang lebih umum kemudian ke yang sukar. Kemajuan tingkatan bacaan seseorang tidak terasakan oleh si pembaca kalau sudah menjadi kebiasaan dan kebiasaan ini perlu dibimbing oleh guru atau orang tua yang berbakat menjadi guru sekaligus bagi anaknya.

SARAN

Kita melihat bahwa bangsa yang maju terdiri dari masyarakat pembaca semuanya. Dalam saat-saat menanti atau duduk di kereta api atau bis mereka selalu menyibukkan diri dengan membaca. Di AS bahkan anak mulai dari TK sudah dikenalkan pada cara mencari informasi dari buku. (Intisari, Juli 1982).

Apabila bangsa kita juga hendak menjadi bangsa yang maju kita juga harus menggalakkan kegemaran membaca. Seringkali orang tua rela memberikan uang seribu atau dua ribu kepada anaknya untuk membeli kue atau menyewa kaset video silat atau cerita roman. Padahal uang yang sama dapat digunakan untuk membeli buku. Hasilnya memang tidak akan nampak dalam sebulan dua bulan. Tapi pemupukan kegemaran membaca akan terasa setelah beberapa tahun. Guru yang membimbing siswanya dengan memberikan latar belakang berbeda-beda bagi setiap jenis bacaan juga tidak akan melihat panen di kelasnya. Namun sebenarnya ia menabur bibit-bibit bangsa yang unggul untuk menghasilkan buah pilihan di kelak kemudian hari.