Jawa Pos, Jum’at LEGI 8 Mei 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Keberhasilan pembangunan Indonesia amat
bergantung pada keberhasilan kita memakmurkan bangsa, karena salah satu unsur
pembangunan adalah pembangunan manusia. Dipersempit lagi, pembangunan manusia
antara lain mencakup pembangunan ketenagakerjaan, yaitu bagaimana kita sanggup
memperkecil jumlah pengangguran dan efisiensi tenaga kerja yang ada.
Pengangguran dapat diklasifikasikan menjadi
dua kelompok. Yang pertama adalah pengangguran akibat tidak mampunya tenaga
kerja (yang kemudian di “PHK”-kan) menghadapi kemajuan teknologi, atau dengan
lain kata, keterampilan yang mereka punyai sudah ketinggalan zaman dan mereka
tergeser oleh tenaga kerja baru yang mempunyai keterampilan mutakhir. Yang
kedua adalah pengangguran akibat tidak mampunya pendidikan-latihan berpacu
dengan kemajuan teknologi. Biasanya kurikulum yang didesain berdasarkan
kebutuhan lapangan kerja sekarang tidak dapat menjanjikan lowongan kerja bagi
lulusannya. Pada saat siswa (yang dididik dengan kurikulum tersebut) lulus,
lapangan kerja tersebut sudah terisi dan kebutuhan akan tenaga kerja sudah
berubah. Misalnya, pada tahun 1980 dinyatakan adanya lowongan mandor bangunan
sejumlah 10.000 orang dan berbagai sekolah mendesain kurikulum yang menunjang
kebutuhan tersebut, yakni STM jurusan sipil sebanyak-banyaknya. Pada tahun
1983, lowongan tidak lagi 10.000 karena sebagian telah terisi dan persyaratan
untuk mandor juga ditingkatkan sehingga lulusan STM kalah bersaing dengan
mahasiswa fakultas teknik sipil atau insyinyur.
Efisiensi tenaa kerja biasanya dilakukan lewat
in-service training
(pendidikan-latihan dalam jabatan). Memang tidak ada lulusan yang siap pakai,
tetapi mereka harus siap latih. Artinya, kalau perusahaan harus melaksanakan
in-service training, hendaknya tidak melebihi waktu 3 bulan. Kalau waktu
pendidikan dalam jabatan terlalu lama, perusahaan akan merugi. (Mesin-mesin
atau perangkat keras yang canggih dari bermacam-macam merk membutuhkan tenaga
kerja untuk dididik-latih sebelum mengoperasikannya, karena setiap merk
mempunyai cara pengoperasian yang berbeda-beda).
Dapatkah pendidikan mengatasi masalah
ketenagakerjaan? Dan dapatkah wanita muda kita berperan dalam menyiapkan
ketenagakerjaan melalui pendidikan?
Lapangan
Kerja
Lapangan kerja dapat dibagi menjadi tiga
kelompok menurut perlu-tidaknya suatu proses pendidikan/latihan untuk
meraihnya. Ada lapangan kerja yang sama sekali tidak membutuhkan latihan,
misalnya, menarik becak, memungut barang bekas, (kaleng, puntung rokok,
plastik, kertas, dan lain-lain), kuli, kernet, bangunan, pembantu rumah tangga,
dan lain-lain. Mereka ini biasanya datang ke kota atas sponsor keluarga atau
teman atau calo tenaga kerja. Ada lapangan kerja yang diwarisi, yaitu magang
selama belum dewasa (petani, nelayan, tukang patri, tukang asah pisau, bengkel
dan lain-lain) atau yang memerlukan latihan singkat (nonformal) melalui magang
pada sebuah perusahaan atau mengikuti pendidikan luar sekolah dan
kursus-kursus. Ada pula lapangan kerja yang harus ditopang oleh pendidikan
formal dengan ijazah sebagai faktor penentu.
Lapangan kerja pertama, yang tidak membutuhkan
latihan tidak merupakan masalah bagi perencanaan ketenagakerjaan. Mereka tidak
menjalani latihan pra-jabatan dan kebutuhan akan tenaga kasar ini tampaknya
besar. Dapatlah dikatakan bahwa meskipun tidak ada planning dari para ahli atau
pemerintah, kelompok ini telah membuat studi kelayakan secara sederhana dan
tanpa metode maupun penelitian.
Lapangan kerja yang ketiga, yang memerlukan
pendidikan formal, belum terasakan sebagai masalah. Seandainya, lapangan kerja
mereka penuh, mereka dapat mendesak lapangan kerja yang membutuhkan prasyarat
lebih rendah. Misalnya, lulusan SMTA dulunya bekerja di kantor. Karena tidak adanya
lowongan di kantor-kantor, lulusan SMTA sekarang ini mulai mendesak lapangan
kerja yang dulunya hanya diperlukan pendidikan SMTP yaitu sebagai pramuniaga di
toserba.
Lapangan kerja yang perlu mendapatkan
perhatian besar adalah yang kedua, yaitu memerlukan pendidikan latihan
prajabatan atau magang. Perencanaan yang keliru mengakibatkan latihan yang
tidak bermanfaat, karena sifat latihan yang memberikan keterampilan khusus. Di
sinilah para pemuda kita, baik sebagai tenaga kerja sendiri maupun sebagai pengarah/perencanaan
ketenagakerjaan, sangat berperan. Misalnya, industri di Jatim (TVRI, 1 Mei
1986) dapat menyerap 10 juta tenaga kerja. Mereka adalah kelompok kedua ini dan
terdiri atas kaum muda.
Menyiapkan
Lapangan Kerja Lewat Pendidikan
Lapangan kerja kelompok kedua itu tidak dapat
disiapkan lewat pendidikan konvensional. SD yang memberikan informasi umum
(bukan keterampilan) ternyata “tanggung” sifatnya. Apabila mereka lulus SD dan
selama sembilan tahun tidak mempergunakannya, semua pengetahuan itu akan
musnah. Dan pendidikan dasar di SD ini memang pada kenyataannya tidak begitu
berpengaruh, kecuali keterampilan menulis dan berhitung dan sedikit membaca.
Kalau begitu, bagaimana pendidikan untuk menyiapkan mereka sebelum memasuki
lapangan kerja ? tidak diperlukan SD bagi mereka?
SD yang konvensional memang tidak. SD kita
sekarang lebih menyiapkan lulusannya
untuk melanjutkan ke SMP dan bukan ke lapangan kerja. Lalu bagaimana pendidikan
untuk kelompok ini?
Pendidikan sepanjang hayat dengan kurikulum
untuk “pekerjaan” adalah jawabannya. Dengan konsep pendidikan sepanjang hayat,
J.E. Olford menawarkan suatu kurikulum yang :
1. Memberikan kesempatan siswa untuk mengajukan pertanyaan;
2. Memberikan siswa untuk bersikap kreatif dan bertanggung jawab secara
perorangan;
3. Memungkinkan penilaian kerja siswa berdasarkan perkembangan
masing-masing secara individual;
4. Memberikan kemungkinan spesialisasi yang individual sifatnya;
5. Memberikan kemungkinan terhadap pengembangan dan pengakuan bakat yang
berbeda-beda.
K.W. Schaie malah memperluas konsep ini dengan
menggariskan tujuan “menghindarkan orang tua ‘berkarat’ dalam pengertian
meremajakan budaya dan teknologi kaum tua”. Caranya yaitu selalu melibatkan
kaum tua dan muda dalam interaksi belajar bersama.
Dengan konsep kurikulum ini, yang muda belajar
dari yang tua dan yang tua belajar dari yang muda. Dalam bidang pekerjaan yang
senior belajar inovasi dari junior (yang baru mentas dari pendidikan) dan yang
junior belajar dari pengalaman senior.
Wanita
Muda Indonesia
Wanita muda Indonesia tidak terlepas dari
latar belakang keluarga dan masyarakatnya. Ada yang masih mengambil pola
berpikir tradisional (dan bahkan feodal). Mereka ini tidak berinisiatif dan
“manut” pada pendapat yang ada; manut pada pendapat orang tua, manut pada pendapat
kaum pria, manut kepada pendapat kaum tua dan tunduk pada yang berkuasa. Mereka
tidak mempunyai pendapat sendiri. Setuju atau tidak setuju... senyum melulu.
Selain tidak berinisiatif, mereka juga pasrah pada nasib. Gagal sekali saja
sudah merupakan kartu mati bagi mereka. Bahkan ada yang sebelum mencoba sudah
mundur karena takut gagal.
Di kutub lain ada wanita muda Indonesia, yang
karena pendidikan di rumah atau lingkungan atau sekolah mempunyai inisiatif
yang tinggi. Selain mereka ini memang “terlahir pemimpin”, kesempatan memang
ada. Mereka ini terlahir dalam keluarga yang membiasakan anak-anaknya untuk
memilih memutuskan sesuatu serta mempertanggungjawabkan keputusannya. Atau
mereka bersekolah yang tidak konvensional. PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan)
adalah salah satu sekolah yang membiasakan siswanya kreatif mencari sendiri
informasi dan baru bertanya setelah menemui jalan buntu. Wanita muda kelompok
ini merupakan pemimpin dalam gerakan yang dapat memajukan kaumnya.
Di tengah-tengah terdapat kelompok kompromis.
Kelompok ini kut dalam organisasi-organisasi sosial, ikut dalam pergerakan,
tetapi tidak sebagai pemimpin. Mereka biasanya adalah anggota yang kurang
berperan secara aktif.
Peran
Wanita Muda Indonesia
Untuk menyukseskan pembangunan nasional,
wanita muda Indonesia tampaknya tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menyukseskan pendidikan tenaga kerja kelompok kedua atau kelompok yang
memerlukan pendidikan prajabatan yang singkat. Wanita muda Indonesia tidak
dapat lagi berperan secara setengah-setengah dengan mengumpulkan dana atau
memberikan pelayanan yang sifatnya lebih “memberikan ikan daripada kailnya”.
Dana, bantuan dan apa saja itu sifatnya sementara dan kalau dimakan atau
dipakai dalam waktu amat singkat akan habis. Tetapi menyediakan keterampilan,
apalagi keterampilan yang bisa dikembangkan sebagai akibat belajar sepanjang
hayat, akan memberikan bekal bagi angkatan kerja selama ia dapat bekerja dan
juga setelah pensiun nantinya. Hasil dari pendidikan cara ini akan selalu
mengembangkan diri sesuai dengan situasi.
Penutup
Wanita muda Indonesia sebenarnya dapat
bercermin pada Ibu Negara kita, Ibu Tien Soeharto. Sebagai seorang wanita yang
meskipun tidak muda, tetapi jiwanya tetap muda, beliau telah melahirkan
pemikiran-pemikiran kreatif yang amat berguna bagi bangsa. Salah satunya adalah
apa yang sekarang dinikmati wanita muda kita, yaitu Undang-undang Perkawinan.
Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dulu banyak ditentang,
nyatanya berhasil memberikan gambaran tentang Nusantara dalam keliling satu
malam, dan lain-lain... dan lain-lain.
Dalam hubungannya dengan usaha wanita muda
Indonesia untuk menyiapkan tenaga kerja lewat pendidikan, wanita muda kita
sudah waktunya menjadi kelompok yang berinisiatif tinggi, kreatif dan dapat
mengambil keputusan. Dengan kemampuan ini, wanita muda kita dapat menjadi
tenaga kerja yang selalu dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan dan pembangunan. Sebagai pendidik yang
melatih tenaga kerja pun, mereka dapat memulai menerapkan pendidikan sepanjang
hayat kepada calon tenaga kerja yang dididik.
Mengapa wanita muda? Wanita sebetulnya adalah
juga ibu-ibu bagi setiap orang yang membutuhkan bantuan. Muda mempunyai
kelebihan yaitu daya adaptasinya terhadap inovasi tinggi. Karena itu beban pembangunan
bangsa sehubungan dengan pembangunan manusia dibebankan kepada kaum wanita
muda.
Kepustakaan:
- Abdullah, Taufik (ed), Pemuda dan Perubahan Sosial.
Jakarta: LP3ES, 1985 (cetakan ke-3).
- Crospley, A.J. Lifelong Education, Oxford: Pergamon Press, 1977.
- John Simmons (ed). The Education Dilemma, Oxford: Pergamon Press, 1980.
- Suryochondro, Sukanti, Potret Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1984.
Sumber ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/438326976213658600/?lp=true