Jawa Pos, Selasa PON 28 Oktober 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko
Aku tak mau rumahku dikelilingi tembok dan
daun jendela-jendelaku ditutupi.
Aku tak mau budaya dari berbagai negara berhembus masuk rumahku sebebas-bebasnya.
Namun aku tak mau diriku dihembus pergi oleh yang mana pun.
Aku tak mau budaya dari berbagai negara berhembus masuk rumahku sebebas-bebasnya.
Namun aku tak mau diriku dihembus pergi oleh yang mana pun.
(Mahatma
Gandhi)
Demi tercapainya persatuan bangsa, pemimpin
besar bangsa India, Mahatma Gandhi menyuarakan pendapatnya bahwa ia tidak ingin
bersikap “picik” dengan menutup diri dari dunia luar. Ia membiarkan semua
budaya dari berbagai bangsa masuk, tetapi tidak satu pun budaya luar itu
diizinkannya membuat dirinya tercabut dari bangsanya, bangsa India.
Kita pun jauh-jauh, sebelum Hari Proklamasi
Kemerdekaan (atau tepatnya tujuh belas tahun sebelum rakyat kita, meskipun pada
saat itu banyak yang tidak paham dan hanya meniru-nirukan, memekikkan:
Merdeka!) telah mempunyai pemimpin-pemimpin yang menyuarakan persatuan dengan
Sumpah Pemuda; Satu bahasa, bahasa Indonesia – satu bangsa, bangsa Indonesia –
satu tanah air, tanah air Indonesia. Ketiganya memang telah terpenuhi sesuai
dengan Sumpah tahun 1928.
Namun, ada kenyataan lain yang masih
menggelitik kita pada hari peringatan Sumpah Pemuda tahun ini. Lima puluh tahun
setelah Polemik Kebudayaan (1935-1939) masih merupakan masalah “bagaimana
bentuk budaya Indonesia” dengan perdebatan antara modernisasi dan tradisi.
Dalam Temu Budaya yang lalu, Takdir masih mendengungkan suara kerasnya agar
kita menerjemahkan sebanyak-banyaknya karya Barat.
BUKAN
CUMA TARI-TARIAN DAN PAKAIAN
Kalau kita berbicara tentang budaya, imajinasi
kita sering tergoda oleh hal-hal yang konkret seperti pakaian daerah, tarian,
lagu-lagu atau peninggalan kebudayaan
lama. Itu semua adalah hasil dari kebudayaan. Juga bahasa merupakan produk
kebudayaan. Kebudayaan memang mempunyai makna yang sangat luas. Namun, makna
kebudayaan yang menyangkut kesatuan dan persatuan bangsa adalah “perilaku,
ide-ide dan nilai-nilai yang dianut suatu bangsa (yang membedakannya dengan
bangsa lain)”. Diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan berarti
tata cara pergaulan, kebiasaan, standar (kesuksesan, kecantikan, kecerdasan dan
lain-lain), nilai-nilai moral dan segala sesuatu yang dinilai “patut” dan
“tidak patut” oleh suatu kelompok (bangsa).
Lalu, apakah kita sudah mempunyai tata
pergaulan, standar, nilai-nilai moral yang dapat disebut Kebudayaan Indonesia?
Pertanyaan lain: bagaimana corak kebudayaan Indonesia itu? Tradisional atau
meninggalkan tradisi?
PUNCAK-PUNCAK
KEBUDAYAAN DAERAH
Kebudayaan Indonesia dirumuskan sebagai
“puncak-puncak kebudayaan daerah” apa pula maknanya?
Di sinilah sering terjadi salah paham. Suku
Madura mempunyai kebiasaan “membela nama keluarga” dengan carok. Ini dianggap sebagai puncak kebudayaan suku Madura. Dapatkan
kebudayaan daerah ini diangkat sebagai kebudayaan Indonesia?
“Membela nama keluarga” adalah suatu perbuatan
yang terpuji dan karenanya dapat diangkat sebagai kebudayaan nasional. Namun,
main hakim sendiri bertentangan dengan undang-undang negara yang berdasarkan
hukum. Bagian inilah yang tidak dapat diterima.
Dalam kebudayaan Jawa dikenal cara menghormat
“sungkem”, apakah ini disebut feodal? Bergantung pada siapa yang dihormati dan
siapa yang menghormati, serta kapan dilakukan. Apabila sungkem terjadi dalam
keluarga (anak atau cucu menghormati orang tua atau kakek-nenek) dan terjadi
pada kesempatan kesempatan bermakna (lebaran, HUT atau lama tidak jumpa),
perilaku ini mempunyai nilai tinggi. Lain halnya apabila perilaku ini terjadi
antara dua orang yang dipisahkan oleh lapisan (status) sosial atau ekonomi yang
bebeda (buruh majikan:miskin-kaya), yang terakhir ini tergolong feodal.
Karena itu, yang diangkat dari puncak-puncak
kebudayaan daerah menjadi kebudayaan nasional pertama-tama adalah makna dan
bukan ritual fisiknya; kedua, yang dapat diterima oleh akal sehat dan
persyaratan-persyaratan yang telah ada (hukum dan nilai serta norma yang
berlaku umum).
STEREOTIOP
DAN PRASANGKA
Kita juga sering terjebak oleh stereotip atau
anggapan gebyah uyah terhadap segala
sesuatu yang tradisional. Misalnya, tradisional identik dengan malas, pasrah,
nrima, tidak maju, dan lain-lain.
Dengan sendirinya kita kemudian berpikir bahwa
bangsa Indonesia yang modern haruslah bertentangan dengan semua sifat-sifat
tradisional atau “marilah kita tinggalkan semua yang bersifat tradisional”.
Tentu saja sifat-sifat malas, pasrah, nrima
dan sebagainya adalah sifat-sifat yang buruk yang tidak seharusnya menjadi
ciri-ciri bangsa yang sedang membangun. Sifat-sifat yang negatif ini memang
harus dibuang jauh-jauh.
Tetapi ada pula ciri-ciri tradisional yang
dapat dipertahankan. Misalnya keharmonisan atau keselarasan, yaitu setiap orang
berusaha menjaga perasaan orang lain. Kalau seseorang diberkati dengan
kecerdasan lebih tinggi, ia tidak perlu sombong dan mengejek yang bodoh.
Keharmonisan menuntutnya membantu yang lemah. Meskipun demikian tidak berarti
bahwa ia tidak boleh bersaing dengan teman-teman yang sama kuatnya untuk
menjadi si nomor wahid.
Menjaga keharmonisan juga tidak boleh disalahartikan
dengan “memberitahu” jawaban dalam tes” atau “membagi rata rezeki tidak halal”.
Orang yang “nrima” ada juga yang baik,
bergantung pada konteksnya. Seorang istri yang tidak menuntut suaminya untuk
memberinya uang belanja lebih banyak, adalah istri yang nrima. Tetapi ia bisa
saja berusaha dengan jalan bekerja sendiri, suatu perilaku yang penuh semangat.
Nrima di sini bersifat positif. (Mungkin hanya “malas” yang tidak ada segi
positifnya).
Modernisasi juga dapat berperan sebagai pisau
bermata dua. Ciri-ciri manusia modern adalah kerja keras, bersaing, individual,
efisien, efektif, mendiri. Kerja keras yang keterlaluan akan merupakan masalah
bagi keluarga atau tetangganya. Misalnya, malam-malam masih bekerja dan
pekerjaannya menimbulkan suara bising, tentunya ia mengganggu keluarga dan
tetangga. Efisien dalam tenaga, waktu, uang dapat disebut baik tetapi oleh
orang lain dapat saja disebut materialistis atau kikir atau tidak ramah.
Kalau kita sudah memberikan penilaian negatif
terhadap tradisionalisme atau modernisasi, kita bukan hanya membuat stereotip,
tetapi kita sudah berprasangka. Prasangka inilah yang kemudian membuat kita
tidak bisa melihat segi-segi positif dari yang tradisional maupun yang modern.
MANUSIA
PEMBANGUNAN
Karya Barat diterjemahkan sebanyak-banyaknya
seperti disarankan Takdir Alisyahbana? Karya Barat yang mana, kita juga harus
selektif meskipun Barat identik dengan kemajuan dan manusia Indonesia yang
sedang membangun membutuhkan masukan ide-ide yang maju.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, tingkatan pembaca dan materi yang hendak diterjemahkan. Selama ini
bangsa kita tidak dilatih untuk berpikir kritis. Padahal ilmuwan Barat sangat
bebas mengemukakan ide-ide yang sering bertolak belakang satu sama lain. Karena
itu kesiapan pembaca haruslah sejalan dengan jenis buku yang disodorkan kepada
pembaca. Yang lebih dulu harus diubah adalah budaya belajar dari pasif
(tergantung pada suapan guru) menjadi aktif (belajar mandiri).
Kedua, masa penerjemahan dan tahun penerbitan
buku apabila buku yang diterjemahkan sudah lebih dari lima tahun dan waktu
menerjemahkan dan menerbitkan juga masih memerlukan dua tiga tahun, adakah
informasi yang diberikan buku tersebut masih sahih?
Ketiga, apabila siswa dan mahasiswa kita
membaca karya Barat yang sama sekali berlainan dengan falsafah Indonesia,
padahal pengenalan terhadap falsafah baru tersebut terjadi bukan sebagai proses
belajar tahap demi tahap, tidakkah mereka akanmengalami lebih berat dari orang
Barat dalam cara berpikir?
Manusia Indonesia Pembangunan haruslah
mempunyai ciri-ciri manusia modern, yaitu mandiri, kerja keras, bersaing,
efisien dan sebagainya. Nilai-nilai itu dimasukkan melalui pendidikan dengan
mempertimbangkan bahwa ia tetap manusia modern yang hidup di Indonesia: ia
terbilang bangsa Indonesia yang memanfaatkan semua ciri-ciri terbaik dari
budaya daerah (yang tradisional) dan memanfaatkan yang terbaik dari budaya
maju.
Apa yang dirumuskan oleh Mahatma Gandhi dalam
puisinya memang betul. Kita harus mengambil manfaat budaya dari berbagai
bangsa. Biarkan mereka masuk, tetapi jangan izinkan diri kita tercabut dari
akar Indonesia. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Budaya ....