Pendidikan Dan Ketenagakerjaan



Jawa Pos, Sabtu LEGI 15 Maret 1986
Oleh : Wuri Soedjatmiko

Efektivitas pendidikan di negara berkembang selalu dipertanyakan. Pendidikan diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah dunia ketiga : kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan di segala bidang. Pendidikan memang mencerdaskan bangsa. Anak usia sekolah menjadi melek huruf karena wajib belajar. Tetapi melek hurufnya anak-anak usia sekolah ini membuat mereka mengambil jarak dengan orang tua mereka yang tidak mendapat kesempatan belajar di masa lampau. Ini semua karena anak-anak itu dicerdaskan bidang kognitifnya, tetapi pemantapan nilai-nilai kurang mendapatkan perhatian. Budaya baru, budaya modern yang dipelajari anak-anak lewat sekolah, adalah budaya hak dan kewajiban. Namun “hak” lah terutama yang mereka perjuangkan dengan melupakan segi “kewajiban”.

Pendidikan juga memberikan dampak urbanisasi. John Simmons menggunakan istilah SIM (Surat Ijin Masuk) kota. Tanpa jelas tujuannya, anak lulus SD masuk SMP dan kemudian masuk SMA yang hanya ada di kota. Yang di desa ke kota kecil, dan yang di kota kecil ke kota besar. Mereka hanya ikut arus karena tidak ada yang membimbing mereka ke arah masa depan yang bermanfaat (bagi dirinya maupun pembangunan). Di kota terjadi pengangguran. Karena kalau dulunya persentase terbanyak ada di desa dan tidak bersekolah, bagian yang terbanyak sekarang adalah yang berpendidikan tanggung dan tinggal di kota.
Mereka yang berhasil mencapai pendidikan tinggi pun bukanlah tenaga kerja yang efisien. Investasi yang ditanam untuk pendidikan seorang sarjana selama lebih kurang 17 tahun tidak selalu dapat dipetik hasilnya. Sejumlah sarjana tidak bekerja secara efektif atau bekerja di bidang yang sama sekali bukan bidangnya. Hal ini berarti pemborosan selama lebih kurang lima tahun. Lulusan SMTA dari kota memilih bidang pertanian dan akhirnya menyesal karena “pertanian” sama sekali tidak menarik. Ada beberapa yang dapat menjadi dosen, beberapa lagi bekerja di pabrik pestisida dan selebihnya mendapatkan pekerjaan di bidang-bidang yang sama sekali baru. Dengan gelar kesarjanaannya ia masuk bank, perusahaan-perusahaan, sales, dan sebagainya. Ada pula yang sama sekali tidak bekerja, menjadi ibu rumah tangga dan membiarkan ilmunya larut karena waktu.

Yang terakhir ini, yaitu yang mendapat kesempatan memasuki dunia pendidikan tinggi inilah yang seharusnya menjadi penggerak dalam pembangunan nasional. Investasi yang ditanamkan untuk menjadikan seorang sarjana harus dilihat sebagai pengorbanan “mereka yang tidak memperoleh kesempatan” bagi “yang mendapat kesempatan belajar”. Karena itu perencanaan yang menyatu harus dibuat terhadap pendidikan dan ketenagakerjaan. Setiap lulusan SMTA harus yakin bahwa bidang studi yang dipilihnya adalah bidang yang menjadi kariernya di masa depan. Sebaliknya, lembaga pendidikan sebagai pengelola dan lembaga ketenagakerjaan sebagai pemakai juga harus memberikan kepastian bahwa lowongan tersedia bagi lulusan.

Individu Yang Berencana

Bimbingan karier seperti dikonsepkan dalam kurikulum 1984 merupakan suatu gagasan yang sangat tepat. Tetapi akan jauh lebih bermanfaat apabila bimbingan karier ini dapat memantau siswa sejak dari SD atau SMP.

Setiap siswa sebetulnya berhak untuk tahu atau diberitahu (karena ia belum dewasa untuk mengenal dirinya sendiri) akan bakat-bakat yang menonjol yang terdapat di dalam dirinya dan yang kemudian dapat dikembangkan menjadi suatu keahlian. Jika bakat ini diberitahukan menjelang saat pemilihan jurusan A1, A2, A3 atau A4 (kalau ada), siswa mungkin telah membuat kekeliruan dalam tekanan yang diberikan pada cara belajarnya. Tetapi apabila ia dibimbing sejak masuk SMP, ia dapat lebih memusatkan diri kepada bidang-bidang tertentu dan dapat mencapai prestasi yang diharapkan dapat menunjang belajarnya di perguruan tinggi (PT).

Pertama-tama siswa harus mengetahui manakah dari pemilihan yang paling umum yang lebih dikuasainya, yaitu : biologi/kimia; ilmu sosial (sejarah, geografi, pengetahuan umum); atau bahasa. Memang pembagian jurusan di SMP masih terlalu pagi, tetapi makin cepat siswa mengenal dirinya makin mantap ia berencana mengenal masa depannya.

Pemilahan kedua adalah apakah ilmu murni atau terapan yang hendak dimasukinya kelak. Apabila seorang siswa kuat berpikir abstrak, ia lebih cocok untuk ilmu murni sedangkan yang sebaliknya adalah untuk terapan. Siswa juga perlu diberitahu bahwa ilmu-ilmu murni mendidik penganalisis dan pemikir dan pekerjaan yang tersedia kelak adalah menjadi peneliti dan pengembang ilmu. Bidang ini tidak memberikan kepuasan materi tetapi kepuasan intelektual. 

Pemilihan ketiga yaitu dari ilmu terapan, apakah ia akan bekerja di industri, perusahaan, keguruan atau mandiri. Beberapa fakultas atau program studi yang menopang karier di bidang industri adalah: teknik mesin, listrik, komputer, kimia, bangunan, teknologi pertanian, peternakan, perikanan. Di perusahaan: manajemen, akuntansi, administrasi. Untuk menjadi guru tempatnya IKIP dengan berbagai jurusan dan program studinya. Untuk bekerja mandiri atau sebagai konsultas: kedokteran, kedokteran gigi, kedokteran hewan, psikologi, hukum. Di samping itu adapula program studi yang sangat spesifik misalnya, perbankan, kewartawanan, dalam negeri, hubungan internasional.

Pemilahan keempat adalah dengan memikirkan kekuatan finansial, waktu dan kesanggupan intelektual. Jika diperkirakan studi S1 terlalu lama dan terlalu mahal apakah ia akan memilih program diploma ataukah dari sejak lulus SMP memilih SMTA kejuruan. Jika menurut penelusuran bimbingan karier siswa tidak akan “sanggup” menyelesaikan studi di PT, sebaiknya sejak SMP ia diarahkan untuk memilih SMTA kejuruan.

Lembaga Pengelola dan Ketenagakerjaan

Kedua lembaga ini tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Misalnya, fakultas pertanian mempunyai berbagai jurusan: agronomi, teknologi industri, ekonomi dan lain-lain. Pekerjaan yang menanti lulusan perlu diinformasikan kepada siswa-siswa SMP dan SMA sehingga kesiapan memasuki suatu fakultas dan jurusan dapat direncanakan sebagai bagian hidup dan pada akhirnya sebagai bagian pendidikan sepanjang hayatnya.
Yang perlu diinformasikan kepada siswa SMP dan SMA bukan hanya pekerjaan yang bakal dikerjakan oleh lulusan sebuah program studi, tetapi adakah lowongan tersedia kalau kelak ia sebagai orang dewasa memerlukan pekerjaan tersebut untuk menghidupi keluarganya.

Hal ini penting karena merupakan motivator utama bagi seorang yang belajar. Banyak sarjana yang meninggalkan bidang studinya karena bidang tersebut ternyata tidak dapat menjamin kehidupannya bersama keluarganya. Seorang master dalam penerbangan lulusan AS bekerja sebagai direktur bank pasar, seorang doktor kimia lulusan Jerman menjadi direktur kimia dengan produksi sederhana.

Salah informasi dapat berakibat membanjirnya siswa belajar suatu bidang (komputer, misalnya) tetapi setelah lulus tidak dapat diterapkan karena komputerisasi masih terlalu atau karena jumlah lulusan terlalu banyak. Sistem seleksi, yang top mengalahkan yang rata-rata, akhirnya menimbulkan pengangguran intelektual yang akibatnya jauh lebih rawan.

Tidak Mendapat Tempat

Tetapi banyak kasus membuktikan bahwa siswa tidak mendapat tempat sesuai dengan rencana semula, karena tempat di PTN terbatas. Apakah dengan demikian si siswa harus memilih bidang studi seadanya atau yang langka sehingga ia mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diterima ?
Pemilihan yang asal-asal inilah awal mula pemborosan. Ada mahasiswa antropologi yang tidak tahu bahwa ia akan mempelajari anatomi tubuh dan dikiranya antropologi sama dengan bahasa Indonesia. Ada mahasiswa yang masuk ekonomi tetapi pada akhirnya bosan menghadapi angka-angka melulu. Dan ada yang masuk arsitektur tetapi sama sekali tidak dapat menggambar apalagi berkreasi imajinatif.

Jika di PTN tidak diterima, seharusnya siswa tersebut mendaftarkan diri ke PTS dengan program studi yang sama. Jika bimbingan karier berlangsung dari SMP dan dilaksanakan dengan pemantauan yang betul, mestinya cara belajar siswa telah terarah. PTS tidak selalu berarti studi mahal. Mahasiswa yang mampu akan menutup biaya mahasiswa yang kurang mampu dan mahasiswa yang kurang mampu dapat memperoleh beasiswa.

Penutup

Pendidikan itu investasi jangka panjang yang mahal. Apabila dilihat dari puluhan juta yang dihabiskan seorang sarjana selama belajar, dan hanya dilihat gaji yang diterimanya setelah lulus, pasti tak berimbang. Kalau hanya memperhitungkan keuntungan material, mungkin investasi di bidang usaha akan jauh lebih menguntungkan. Tetapi pendidikan adalah upaya untuk membentuk bangsa yang cerdas yang kecerdasannya harus pula dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa di segala bidang. Dan ini hanya dapat dicapai apabila perencanaan pendidikan dan ketenagakerjaan terintegrasi. Pendidikan dirintis melalui bimbingan karier kepada individu sedini mungkin dan melalui penataan lembaga pendidikan serta informasi yang memadai tentang perencanaan ketenagakerjaan atau lowongan yang disediakan setelah mahasiswa-mahasiswa lulus. Hanya dengan perencanaan ini pemborosan di kedua bidang tersebut dapat diatasi. Siswa, konselor bimbingan karier, lembaga PT, lembaga ketenagakerjaan,  merupakan empat komponen yang saling berinteraksi sebagai suatu sistem yang menyatu dalam sistem yang lebih besar lagi yaitu pembangunan nasional.