Jawa Pos, Jum’at PAHING 30 Mei 1986
Oleh : Wuri Soejatmiko
Pembinaan Bahasa Indonesia TVRI tanggal 27 Mei
1986 sungguh menarik. Kalau pada kesempatan biasanya yang muncul adalah
tokoh-tokoh bahasa Indonesia, kali ini muncul Anton M. Moeliono yang tokoh
bahasa Indonesia dan Anton Hilman yang tokoh bahasa Inggris. Masalah yang
dibahas atau masalah dalam menerjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia.
Masalah terjemah-menerjemahkan memang merupakan
topik yang amat penting bagi Indonesia. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang
masuk ke Indonesia berasal dari negara Barat dituangkan dalam buku-buku bahasa
Inggris, padahal kemampuan membaca bahasa Inggris para mahasiswa dan banyak
sarjana belum memadai untuk memahami isi apalagi memanfaatkannya untuk menambah
pengetahuan serta mempelajari sendiri kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
itu. Karena itu terjemahan sebetulnya amat dibutuhkan. Buku-buku teknik dan
ekonomi memang sudah banyak diterjemahkan. Tetapi bagaimana mutunya? Ada yang
mengevaluasi bahwa keterbacaan buku-buku terjemahan itu lebih sulit daripada
buku aslinya. Sebuah contoh dari buku terjemahan yang tidak mencantumkan nama
penerjemahnya adalah saduran dari Forms & Functions 20 th Century Architecture,
Jilid I hal.V:
Teori-teori
psikologi mengenai seni telah amat banyak. Bermacam-macam seperti telah
beragamnya psikologi: karena telah terpecah ke dalam dua kamp yang
bertentangan-psikologist eksperimental dan fisiologis serta psikologis analitis—seperti
itulah estetika psikologis terpecah, beragam dari idea-idea pada teoritikus
yang mendapatkan satu-satunya penyebab keindahan di dalam gerakan-gerakan mata
yang sederhana dan mudah hingga teori-teori mereka yang seperti psikoanalist
mendapatkan rahasia keindahan di dalam kaitan-kaitan yang ada antara objek yang
disebut indah dan pengalaman dari masa bayi yang “terlupakan” atau terkubur.
Contoh lain diambil dari Perspektif untuk Para
Arsitek yang diterjemahkan oleh Ir. Sri Pare Eni dan diterbitkan oleh Penerbit
Erlangga, sebuah badan penerbitan yang banyak berjasa untuk penerbitan buku
terjemahan:
Perspektif
ini dengan sinar lihat di denah dan tampak samping yang menentukan lebarnya
gambar dan tingginya gambar, adalah umum dipakai dan mudah dimengerti. Karena
ia tidak sekali-kali menaruh keringanan-keringanan yang mungkin ada dan
pengawasan-pengawasan, ia jarang sekali dipergunakan dalam bentuk yang murni,
paling tinggi pada gambar objek yang sangat kompleks, misalnya tangga pilin.
(hal.29).
Terjemahan kedua mungkin dapat dimengerti oleh
mahasiswa arsitek melalui penjelasan dosen, tetapi terjemahan contoh pertama
sungguh bukan main. Paragaraf itu lebih merupakan susunan kata-kata bahasa
Indonesia, tetapi setiap penutur bahasa Indonesia pasti mengalami kesulitan
untuk memahaminya.
Kedua contoh tadi banyak menggunakan kata
ulang yang seperti disitir oleh Anton M. Moeliono sebagai akibat dari penanda
jamak bahasa Inggris pada karya aslinya.
Mengapa masalah kerancuan bahasa ini perlu
dilacak dan dibina oleh Pembinaan Bahasa Indonesia TVRI? Bukankah selayaknya
masyarakat kita sudah harus berterima kasih karena buku-buku terjemahan
tersebut banyak membantu para mahasiswa, terutama? Kelihatannya sepintas memang
demikian. Tetapi buku-buku terjemahan sejenis cukup banyak dan buku-buku teknik
serta ekonomi dipakai oleh ratusan bahkan ribuan atau puluhan ribu mahasiswa.
Kalau terjemahan seperti ini dibiarkan sama halnya kita “mengajarkan bahasa
Indonesia yang tidak baik dan tidak benar” kepada calon-calon sarjana kita.
Kalau buku-buku tersebut dibiarkan digunakan oleh beberapa generasi, sama
halnya kita mengajarkan “Bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar”
kepada bangsa Indonesia karena kaum cendekiawan yang menggunakan bahasa
Indonesia yang salah tersebut akan sangat berpengaruh kepada angkatan di
bawahnya dan kepada bawahan-bawahannya di perusahaan dan mahasiswanya kalau ia
menjadi dosen kelak.
Hal lain yang menarik perhatian dari siaran
pembinaan bahasa Indonesia yang setengah jam itu adalah pernyataan Anton Hilman
bahwa menurut pengalamannya siswa atau mahasiswanya seringkali menulis “many
friend” (seharusnya many friends) yang disebabkan oleh kerancuan bahasa
Indonesia yang tidak menggunakan penanda jamak (mor-fem jamak). Kalau hal ini
benar maka keadaan siswa-siswa kita sungguh menyedihkan. Dalam bahasa Indonesia
mereka kerancuan bahasa Inggris dan dalam berbahasa Inggris mereka kerancuan
bahasa Indonesia. Mungkinkah hal ini?
Dalam teori analisis kontrastif,
kesalahan-kesalahan dalam belajar bahasa kedua memang dijelaskan sebagai
kerancuan dari bahasa pertama. Karena itu, menurut teori ini,
kesalahan-kesalahan siswa dalam belajar bahasa Inggris seharusnya telah dapat
diprediksi melalui analisis bahasa Indonesia, yaitu, tata bahasa yang berbeda
dalam kedua bahasa akan menimbulkan kesulitan bagi siswa bahasa kedua.
Teori ini kemudian disanggah oleh Teori
Kesilapan karena membuat kesalahan dalam belajar adalah suatu kewajaran dan
siswa dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Dalam belajar bahasa
pertama pun siswa membuat tak terhingga banyaknya kesalahan. Dan apabila
dianalisis, kesalahan yang dicontohkan dalam pembinaan yang dicontohkan dalam
pembinaan bahasa Indonesia di TVRI tidak mustahil merupakan kesalahan karena
strategi belajar (yaitu belajar gramatika melulu).
Terutama kalau ditinjau dengan menggunakan hipotesa monitor dari Krashen, mestinya
kesalahan-kesalahan, tersebut terjadi karena siswa belum mantap kemampuannya
untuk memonitor yang mungkin saja disebabkan oleh kesalahan dalam pengajaran
bahasa Inggris sendiri (siswa kurang memperoleh masukan yang dipahaminya berupa
contoh atau model guru).
Jika dilihat dari kedudukan bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris yang berbeda dan tujuan pengajaran yang juga sama sekali
berlainan; bahasa Indonesia adalah nasional dan bahasa pengantar di sekolah dan
di kesempatan formal lainnya, sedangkan bahasa Inggris hanya untuk membaca
buku-buku referensi atau buku teks dan
kedua bahasa tersebut diajarkan secara terpisah dan tidak pernah digunakan
bersama-sama sebagaimana halnya bahasa Indonesia dan bahasa Daerah, misalnya,
kemungkinan kerancuan tersebut kecil sekali.
Jeleknya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
siswa-siswa atau mahasiswa Indonesia tidak dapat dijelaskan dari saling
kerancuan. Pengajaran kedua bahasa itulah yang harus ditingkatkan. Sedangkan
karya terjemahan, jika tidak dibina, di masa akan datang akan merupakan sebab
degenerasi bahasa nasional kita.