Ledakan Lulusan SMA, terbatasnya tempat di PT dan kesempatan kerja: Perketat perencanaan!



Surabaya Post, Sabtu 31 Juli 1982
Oleh : Wuri Soedjatmiko

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini dorongan untuk memasuki SMA dan perguruan tinggi (PT) dirasakan makin mendesak-desak dan menuntut pemecahan. Terutama karena adanya anggapan yang merasuki masyarakat bahwa jalur pendidikan setelah SMP dengan sendirinya adalah SMA, tanpa memperdulikan apa tujuannya memasuki SMA dan pendidikan apa yang bakal ditempuhnya setelah lulus SMA. Demikian juga hasrat untuk memasuki perguruan tinggi banyak terdorong oleh anggapan bahwa PT adalah jalur yang dengan sendirinya tersedia bagi lulusan SMA. PT jurusan apa bukan masalahnya. Pokoknya yang penting adalah predikat mahasiswa.
Tentu saja tidak semua siswa memasuki SMA atau PT karena alasan yang membabi buta . banyak juga yang betul-betul merencanakan pendidikannya sesuai dengan cita-citanya. Namun, dari pengamatan menyeluruh secara umum dapat disimpulkan bahwa pada akhir tahun 1970-an dan permulaan 1980-an pola berpikir masyarakat telah banyak berubah dari praktis (sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an) ke alam mimpi. Dulu lulusan SMP banyak yang memilih sekolah kejuruan (STM, AA, Analis, SMEA, dll) karena sekolah ini singkat dan setelah itu tamatan sekolah kejuruan dapat mencari nafkah. Apabila kesempatan ada (cukup cerdas dan finansial memadai) lulusan sekolah kejuruan masih dapat melanjutkan ke PT. Ini berarti bahwa yang menyaring keinginan untuk melanjutkan ke PT atau tidak adalah siswa sendiri.

Sekitar tahun 1980 dikeluarkan prasyarat bagi lulusan sekolah kejuruan yang hendak memasuki PT, yaitu mempunyai rata-rata minimal tujuh atau pengalaman kerja sedikitnya dua tahun. Seandainya prasyarat tersebut tidak diumumkan secara terbuka, tidak akan timbul keresahan di antara siswa lulusan sekolah kejuruan. Namun, bagaimana pun juga pengumuman ini memberi efek tertentu. Lulusan SMP mulai menjauhi sekolah kejuruan. Siapa pula yang mau ditakar pendidikannya? Beralihlah alam pikiran praktis menjadi sesuatu yang tidak pasti tujuan dan bentuknya. Semua lulusan SMP berusaha diterima di SMA. Yang pandai memasuki sekolah-sekolah “favorit” sedangkan yang tidak dapat diterima di sekolah yang bermutu bersedia membayar mahal untuk dapat diterima di SMA yang kurang bermutu sekali pun. Jika tidak dapat diterima di SMA lebih baik tidak sekolah saja.

Terjadilah ledakan lulusan SMA. Mereka ini berusaha agar dapat diterima di PT. Jika dapat di PTN jika tidak di PTS. Kalau mungkin di jurusan atau fakultas yang dicita-citakan, jika tidak di mana pun asal berpredikat mahasiswa. Tidak mustahil ada juga calon mahasiswa yang berkuliah di PT tersebut.
Bagaimana dengan siswa-siswa lulusan SMA yang tidak mendapat tempat di PT? Pekerjaan apa yang tersedia bagi mereka? Cukupkah pelajaran ketrampilan bebas dan terikat yang mereka peroleh di SMA sebagai bekal bekerja? Dan bagaimana pula nasib mahasiswa-mahasiswa yang mendapat tempat di PT di jurusan yang tidak mereka minati? Jika mereka ini putus kuliah, dapatkah mereka menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang tersedia?

RELEVANSI SEKOLAH

Di sebuah desa yang hanya punya satu jalan aspalan sempit, yang penduduknya hidup hanya dari bertani, dan yang anak-anaknya masih bermain dengan otopet beroda kayu buatan sendiri, secara gotong royong: ada yang menarik ada yang mendorong dan ada yang naik secara bergantian, ada sekolah SD, SMP, ST Pertukangan dan sebuah SMA yang didirikan setahun sebelumnya. Mengapa SMA? Kemana lulusan SMA ini nanti akan melanjutkan sekolahnya? Dapatkah SMA ini menjaga mutu sedemikian sehingga lulusannya dapat diterima di PT? Mengapa pola berpikir kota ini dimasukkan ke desa? Tidakkah sebuah Sekolah Pertanian Menengah lebih diperlukan untuk mencerdaskan pemuda-pemudanya agar selain bercocok tanam dapat juga mengolah hasil atau memasarkannya? Apa artinya bercocok tanam apabila hasil panen ketela pohon sebakul hanya laku Rp 50,00? Padahal di kota harganya Rp 100,00 per kg.

Contoh tersebut menunjukkan bahwa ijin pendirian sebuah sekolah harus matang direncanakan dan dipertanyakan sudah cocokkah jenjang atau jenis sekolah tertentu dengan kemajuan penduduknya, keperluan mereka akan pendidikan. Janganlah sampai pendidikan hanya diadakan demi gengsi. Bahwa di desa Trawas, misalnya, ada sebuah SMA. Hindarkanlah sedapat mungkin mengalirnya pemuda desa ke kota karena kesalahan perencanaan pendidikan dan karena makin miskinnya desa.

Mengapa sampai terjadi skandal susu dengan Nestle di Pujon? Seandainya penduduk desa peternak susu perah ditatar bagaimana memelihara sapi perah yang dapat menghasilkan susu kualitas tinggi, seandainya di daerah tersebut ada sekolah peternakan menengah bagi pemuda-pemuda lulusan SMP bukankah rakyat desa tersebut tidak sampai merugi karena kurang pengetahuan? Manakah yang lebih sesuai untuk daerah tersebut sebuah SMA atau sebuah Sekolah Peternakan Menengah Atas? Setidaknya kita akan lebih berbangga dengan kenyataan bahwa pemuda-pemuda desa dapat memajukan desanya daripada apabila kita dapat mengatakan bahwa di setiap kecamatan sudah dapat didirikan sebuah SMA!

SENSUS KERJA

Mungkin sudah tiba saatnya bagi pemerintah untuk mengadakan sensus yang mencatat data mengenai lowongan pekerjaan yang ada di tiap desa dan tiap kota. Di kota, sensus dapat dilakukan di perusahaan, pabrik, kantor, bengkel, dsb. Tenaga kerja yang bagaimana yang diharapkan oleh pimpinan-pimpinan perusahaan, pabrik, kantor, bengkel, dll. Berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan setiap tahunnya sebagai tambahan sesuai dengan kenaikan produksi, atau dengan keluar masuknya pegawai. Pekerjaan apa yang dalam sepuluh tahun ini masih memberikan prospek baik bagi pemuda-pemuda kita. Dari sensus ini dapat dibuat rencana yang lebih teliti mengenai sekolah kejuruan yang lulusannya jelas-jelas bakal terpakai tenaganya.

VOCATIONAL GUIDANCE UNTUK KOTA

Masalah sekolah dan lowongan kerja di kota jauh lebih rumit lagi. Untuk menanggulangi masalah kota mungkin sudah tiba saatnya bimbingan dan Konseling bagian Vocational Guideance, yaitu BK yang bekerja di bidang lapangan pekerjaan, berperan. Penerangan-penerangan berupa tulisan di koran atau majalah tentang berbagai jurusan atau jenis pendidikan yang ada di Indonesia sangat diperlukan agar lulusan SMA mempunyai wawasan lebih luas. Pada masa ini banyak sekali lulusan SMA yang tidak tahu ke mana hendak melanjutkan pendidikannya selain ke teknik, kedokteran, ekonomi, farmasi. Bidang pekerjaan sebagai ahli gizi, pustakawan, ahli arkeologi dll, yang cukup menarik hanya dikenal sejumlah kecil siswa SMA karena kebetulan orang tuanya mempunyai pengetahuan tentang berbagai bidang pendidikan. Pemberian jasa berbentuk ceramah-ceramah di sekolah-sekolah dapat juga berfaedah memperlebar wawasan pengetahuan siswa SMA sehingga dapat mengenal bermacam-macam keahlian yang dapat berguna baginya dan dapat melakukan pilihan yang tepat.

Di samping itu petugas vocational guidance juga termasuk meneliti macam-macam cita-cita siswa SMA, yaitu pencatatan data setelah mereka mendapatkan berbagai penjelasan sehingga dapat diketahui dengan betul bidang studi yang diminati siswa. Data ini akan sangat berguna bagi Departemen P dan K dalam menentukan strategi dan perencanaan pemberian ijin pendirian sekolah dan PT.